BukBer

"Bagaimana kalau kita BukBer di tempat yang tidak biasa?"

TRANSINDONESIA.co | Jauh sebelum Ramadan tiba, organisasi tempatku berhimpun telah menyiapkan serangkaian program sosial untuk mengisi bulan suci ini. Kami menyebutnya Festival Ramadan 1446 H, sebuah upaya sederhana tapi penuh makna untuk menjadikan Ramadan lebih dari sekadar puasa dan ibadah pribadi—tetapi juga kebersamaan, kepedulian, dan berbagi.

Di antara semua program, ada satu yang paling khas: Buka Puasa Bersama (BukBer). Sebuah tradisi yang tampaknya sederhana, hanya sekadar duduk bersama menyantap hidangan saat azan magrib berkumandang. Tetapi dalam kesederhanaannya, tersimpan makna yang dalam.

Sejak awal perencanaan, panitia sudah mendiskusikan di mana BukBer akan diadakan. Apakah di masjid besar di pusat kota, di aula balai warga, atau cukup di halaman rumah salah satu anggota? Tetapi aku—dan beberapa yang lain—menginginkan sesuatu yang berbeda.

“Bagaimana kalau kita BukBer di tempat yang tidak biasa?” tanyaku dalam rapat kecil.

“Maksudmu?” Ketua panitia menoleh.

“Di panti asuhan, di kolong jembatan, di rumah-rumah warga yang tak pernah terjamah acara seperti ini.”

Ruangan mendadak hening. Ada yang mengangguk pelan, ada yang tampak berpikir, dan ada pula yang terlihat ragu.

“Tapi… kalau di tempat-tempat seperti itu, kita bisa menjangkau banyak orang?” Seorang teman mengangkat tangan.

“Bukan soal jumlah,” jawabku. “Tapi soal siapa yang kita temui, dan bagaimana kita berbagi dengan mereka.”

Akhirnya, program BukBer kami bukan hanya sekadar acara makan bersama di satu tempat, tetapi berubah menjadi perjalanan. Setiap harinya, selama Ramadan, kami membawa hidangan berbuka ke tempat-tempat yang jarang merasakannya dengan layak.

Di panti asuhan, kami bertemu dengan anak-anak yang matanya berbinar saat menerima sekotak nasi dan sebotol air mineral. Di kolong jembatan, kami melihat para pekerja serabutan yang duduk bersila di atas terpal lusuh, menerima takjil dengan senyum lelah tapi penuh syukur. Di rumah-rumah kecil di gang sempit, kami mendengar kisah tentang seorang ibu yang sudah lama tidak makan bersama keluarganya karena harus bekerja hingga larut malam.

Di momen-momen itulah, aku mengerti: BukBer bukan tentang makan bersama, tetapi tentang berbagi kebersamaan.

Malam terakhir Ramadan, kami berkumpul di masjid untuk evaluasi. Ketua panitia bertanya, “Dari semua tempat yang kita kunjungi, mana yang paling berkesan?”

Aku mengangkat tangan. “Di rumah seorang nenek di ujung gang sempit. Dia tak punya siapa-siapa, hanya ditemani tumpukan buku tua. Saat kami datang dan mengajaknya berbuka bersama, dia menangis. Katanya, ini pertama kalinya dalam lima tahun terakhir dia makan dengan orang lain.”

Hening. Semua terdiam.

Seorang teman yang awalnya ragu dengan ide ini menghela napas pelan. “Tahun depan… kita harus lakukan ini lagi.”

Aku tersenyum. Ya, tahun depan, dan tahun-tahun berikutnya. Karena BukBer bukan sekadar tradisi, tetapi perjalanan menemukan makna berbagi. (Din&Ai)

 

Sumber: ICMI/Syafruddin

Share