The Political Economy of Trump’s Tariffs on China: Power, Protectionism, and Global Repercussions (2018)

TRANSINDONESIA.co | Dunia terkejut saat tiba-tiba President Amerika terpilih Donald Trump, membuat keputusan untuk menaikkan bea import terhadap barang-barang dari China, Canada dan Meksiko,meski untuk Canada dan meksiko kebijakan itu ditangguhkan selama 30 hari menunggu negosiasi lebih lanjut.

Keputusan Trump ini bukan yang pertama kali, di mana pada tahun 2018 trump juga membuat keputusan sama yang menandai perang dagang antara Amerika dan China. Pada artikel ini saya belum membahas keputusan Trump di tahun 2025, melainkan membahas keputusan beliau di tahun 2018. Saya berharap dengan melihat situasi 2018 Indonesia bisa melihat peluang yang terlewatkan akibat keputusan Presiden Amerika ini di 2018.

Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memberlakukan tarif impor terhadap barang-barang China pada 2018 menandai titik balik dalam hubungan ekonomi politik global. Kebijakan ini, yang menjadi bagian dari strategi “America First”, tidak hanya mencerminkan pergeseran paradigma dari liberalisasi perdagangan ke proteksionisme, tetapi juga mengungkap dinamika kekuatan, kepentingan domestik, dan persaingan geopolitik AS-China. Artikel ini menganalisis kebijakan tarif Trump melalui lensa ekonomi politik internasional, mengevaluasi motivasi, implikasi, serta dampaknya terhadap tatanan global.

Latar Belakang: Proteksionisme dalam Bingkai “America First”

Trump menjadikan defisit perdagangan AS-China (yang mencapai $375 miliar pada 2017) sebagai justifikasi utama tarif. Melalui “Section 301 of the Trade Act of 1974”, AS memberlakukan tarif hingga 25% pada impor senilai $250 miliar dari China, dengan tuduhan praktik perdagangan tidak adil, seperti pencurian kekayaan intelektual, subsidi negara, dan transfer teknologi paksa. Kebijakan ini mendapat dukungan dari basis politik Trump—buruh industri di “Rust Belt” yang terdislokasi oleh globalisasi—namun menuai kritik dari kalangan bisnis dan sekutu AS yang bergantung pada rantai pasok China.
Analisis Ekonomi: Biaya dan Manfaat yang Kontroversial

Secara ekonomi, tarif bertujuan untuk:
• Melindungi Industri Domestik : Membuat produk China lebih mahal, sehingga merangsang produksi dalam negeri (misal, baja dan aluminium).
• Mengurangi Defisit Perdagangan : Menekan impor dan mendorong ekspor AS melalui tekanan negosiasi.
• Mengoreksi Ketidakseimbangan Struktural : Memaksa China menghentikan praktik perdagangan “tidak adil”.

Namun, efeknya justru kontraproduktif:
Retaliasi China : Beijing memberlakukan tarif balasan pada ekspor AS seperti kedelai dan mobil, melukai petani dan produsen AS.

Inflasi Biaya Produksi : Perusahaan AS yang bergantung pada komponen China (seperti elektronik) menghadapi kenaikan biaya, yang berujung pada kenaikan harga konsumen.
Ketidakpastian Pasar : Volatilitas saham global dan penurunan investasi akibat perang dagang.

Menurut “Peterson Institute for International Economics (2019)”, tarif Trump mengurangi pendapatan rumah tangga AS rata-rata $800 per tahun dan gagal menekan defisit perdagangan secara signifikan.

Motivasi Politik: Populisme dan Geopolitik

Di balik narasi ekonomi, keputusan Trump didorong oleh faktor politik:
1. Populisme Ekonomi : Tarif adalah simbol komitmen Trump pada basis pemilih kelas pekerja yang merasa dikhianati oleh “outsourcing” dan globalisasi.
2. Kartu Geopolitik**: Menggunakan tekanan ekonomi untuk melemahkan posisi China sebagai pesaing strategis AS, terutama dalam teknologi (contoh: sanksi pada Huawei dan *semikonduktor*).
3. Legitimasi Diplomasi Kekerasan : Trump mempopulerkan pendekatan “transactional diplomacy”, di mana tarif menjadi alat untuk memaksa konsesi dalam perjanjian (seperti “Phase One Deal” 2020).

Perspektif Teori Ekonomi Politik Internasional
• Realisme : Tarif mencerminkan persaingan kekuasaan AS-China. AS menggunakan kekuatan ekonomi untuk mempertahankan hegemoni, sementara China merespons dengan strategi “dual circulation” untuk mengurangi ketergantungan pada Barat.
• Liberalisme Institusional : Kegagalan WTO dalam mengadili sengketa AS-China menunjukkan lemahnya multilateralisme. Trump lebih memilih jalur unilateral, merusak tatanan perdagangan berbasis aturan.
• Marxisme Struktural : Tarif adalah gejala dari kontradiksi kapitalisme global—persaingan antarnegara kapitalis untuk mengontrol rantai nilai dan surplus ekonomi. —

Dampak Global: Fragmentasi dan Reshoring
Perang dagang AS-China memicu tiga tren global :
• Deglobalisasi : Perusahaan multinasional memindahkan rantai pasok dari China ke Vietnam, Meksiko, atau India (reshoring).
• Fragmentasi Sistem Perdagangan : Munculnya blok ekonomi yang bersaing (AS vs. China) mengikis sistem Bretton Woods.
• Eskalasi Teknologi : Perang di bidang “artificial intelligence”, 5G, dan *semikonduktor* mempercepat *decoupling* teknologi.

Peluang bagi Indonesia

1. Pindahnya Rantai Pasok (Reshoring)
a. Deskripsi: Dengan banyak perusahaan multinasional yang memindahkan rantai pasok dari China ke negara lain seperti Vietnam, Meksiko, dan India, Indonesia dapat menjadi alternatif menarik bagi perusahaan-perusahaan tersebut.
b. Peluang :Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah dan pasar domestik yang besar, sehingga dapat menarik investasi asing yang ingin diversifikasi lokasi produksi.

2. Peningkatan Ekspor ke AS.
a. Deskripsi :Kebijakan tarif yang diterapkan oleh AS terhadap produk China dapat menciptakan celah bagi produk Indonesia untuk memasuki pasar AS.
b. Peluang :Indonesia dapat meningkatkan ekspor produk-produk seperti tekstil, elektronik, dan produk pertanian ke AS, mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh produk China.

3. Diversifikasi Pasar
a. Deskripsi: Ketegangan antara AS dan China mendorong negara-negara untuk mencari pasar alternatif.
b. Peluang: Indonesia dapat memperkuat hubungan perdagangan dengan negara-negara lain, termasuk negara-negara ASEAN dan Eropa, untuk mengurangi ketergantungan pada pasar China.

4. Pengembangan Sektor Teknologi
a. Deskripsi: Dengan meningkatnya ketegangan di bidang teknologi, Indonesia memiliki kesempatan untuk mengembangkan sektor teknologi dan inovasi.
b. Peluang: Investasi dalam teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta pengembangan start-up dapat menarik perhatian investor asing yang mencari lokasi alternatif untuk berinvestasi.

5. Kerjasama Regional.
a. Deskripsi: Dalam konteks fragmentasi sistem perdagangan global, Indonesia dapat memanfaatkan posisi strategisnya di ASEAN.
b. Peluang: Memperkuat kerjasama ekonomi di tingkat regional dapat membantu Indonesia untuk menjadi pusat perdagangan dan investasi di Asia Tenggara.

6. Peningkatan Investasi Infrastruktur.
a. Deskripsi: Untuk menarik lebih banyak investasi asing, Indonesia perlu meningkatkan infrastruktur.
b. Peluang: Proyek infrastruktur yang lebih baik akan mendukung pertumbuhan ekonomi dan menarik lebih banyak investor yang ingin beroperasi di Indonesia.

Kesimpulan: Warisan yang Ambivalen
Kebijakan tarif Trump adalah refleksi dari ketegangan abadi antara proteksionisme dan globalisasi. Meski gagal mencapai tujuan ekonomi makro, kebijakan ini berhasil menempatkan isu perdagangan adil dan keamanan nasional dalam agenda global. Namun, warisannya adalah dunia yang lebih terfragmentasi, di mana kekuatan ekonomi digunakan sebagai senjata geopolitik—sebuah preseden yang terus membayangi era Biden.

Indonesia memiliki banyak peluang untuk memanfaatkan situasi politik dan ekonomi global yang dipicu oleh kebijakan proteksionisme. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat memperkuat posisinya di pasar global dan meningkatkan pertumbuhan ekonominya.

Melalui diversifikasi pasar, pengembangan sektor teknologi, dan kerjasama regional, Indonesia dapat mengoptimalkan potensi yang ada dan menghadapi tantangan yang muncul dari dinamika global.

Referensi

– Autor, D. et al. (2020). “The Impact of the 2018 Trade War on U.S. Prices and Welfare”. NBER.
– Mastanduno, M. (2019). *Liberal Illusions in the US-China Trade War*. International Security.
– WTO Report (2021). *Trade Policy Review: United States*.

Share