PPN Jasa QRIS Ditanggung Merchant Bukan Konsumen
TRANSINDONESIA.co | Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan bahwa pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa layanan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dibebankan kepada pemilik outlet atau merchant, bukan kepada masyarakat atau konsumen.
“Artinya, tarif PPN pada transaksi QRIS akan ditanggung oleh merchant, bukan konsumen seperti yang selama ini disalahpahami oleh masyarakat,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti dikutip dalam keterangannya, Selasa (24/12/2024).
Dijelaskan, bahwa dalam transaksi QRIS, PPN dikenakan pada Merchant Discount Rate (MDR). MDR adalah biaya yang dibebankan kepada merchant atas setiap transaksi yang dilakukan melalui kartu kredit atau debit, termasuk juga QRIS.
“Jadi sebenarnya yang menjadi dasar untuk dilakukannya pembayaran QRIS itu, termasuk jasa transaksi digital tadi, itu adalah yang disebut dengan MDR,” katanya.
Dwi mengungkapkan, hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2022, sehingga pengenaan PPN pada biaya MDR QRIS bukanlah obyek pajak baru yang akan dikenakan mulai 1 Januari 2025.
Untuk diketahui, biaya MDR QRIS yang dikenakan pada merchant untuk transaksi di atas Rp 500.000 adalah 0,3 persen. Namun untuk transaksi di bawah Rp 500.000 tidak dikenakan biaya alias gratis.
Dwi menegaskan, selama ini pengenaan PPN pada biaya MDR QRIS tidak menyebabkan kenaikan harga barang yang dijual, karena tiap merchant pasti sudah memperhitungkan biaya MDR ini ke dalam harga barang yang mereka jual.
Alhasil, konsumen atau masyarakat bisa membayar harga yang sama, baik dengan metode pembayaran tunai maupun QRIS.
“Jadi beli gorengan pakai QRIS maupun pakai cash akan sama harganya,” ujarnya.
Untuk lebih mudah memahami, dia mencontohkan bahwa Pablo membeli TV seharga Rp 5.000.000. Atas pembelian tersebut, dikenakan PPN sebesar Rp 550.000, sehingga total harga yang harus dibayarkan oleh Pablo sebesar Rp 5.550.000.
Atas pembelian TV tersebut, jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Pablo tidak berbeda, baik ketika menggunakan QRIS maupun menggunakan cara pembayaran lainnya.
Namun, dia tidak dapat memastikan apakah dengan adanya kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 akan mengakibatkan kenaikan harga barang atau tidak.
Pasalnya, hal tersebut menjadi wewenang masing-masing merchant karena mereka lah yang menanggung kenaikan PPN.
“Apa ada jaminan (harga barang tidak naik)? Ya (DJP) enggak bisa jamin,” ujarnya.
Dia juga tidak dapat memastikan apakah nantinya biaya MDR yang ditanggung merchant juga akan naik mengikuti kenaikan tarif PPN, karena penentuan biaya MDR bukan wewenang DJP.
“Kalau itu adalah biaya jasa, yang menentukan bukan DJP, itu adalah provider masing-masing. Jadi saya tidak tahu. Provider itu ya penyedia jasanya. Jadi saya tidak bisa memberikan komentar juga,” katanya.
Masih Digodok
Sementara mengenai barang dan jasa mewah yang akan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen mulai 1 Januari 2025, hingga kini masih digodok Dirjen Pajak.
Termasuk di dalamnya, menggodok kriteria barang kebutuhan pokok premium serta jasa kesehatan dan jasa pendidikan premium yang akan dikenakan PPN 12 persen.
“Selama aturan berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini belum rampung, maka barang dan jasa mewah tersebut masih belum akan dikenakan PPN 12 persen,” kata Dewi.
Pasalnya, sampai saat ini belum ada aturan yang mewajibkan barang dan jasa mewah kena PPN. Bahkan barang kebutuhan pokok premium, jasa pendidikan premium, dan jasa kesehatan premium merupakan jenis barang dan jasa yang dibebaskan dari pungutan PPN. [met]