Ketika Gen-Z Boedoet Memahami Bung Hatta
TRANSINDONESIA.co | Ketika Perpustakaan SMAN 1 Jakarta direbranding pada 31 Januari 2024 lalu dengan mengimbuhkan nama Hatta di depannya, tentunya ada sebuah harapan besar yang coba dilambungkan. Paling tidak, dengan hadirnya nama besar Hatta tidak sekedar jadi pajangan semata. Harus ada Value yang hadir sesudahnya.
Alhamdulilahnya, jawaban itu pun hadir, berjarak 9 bulan kemudian. Sebuah buku karya siswa-siswi SMAN 1 Jakarta yang masuk dalam kategori Gen-Z diluncurkan dan berjudul BUNG HATTA di MATA GEN-Z pada Senin (28/10) yang menghadirkan salah satu putri Bung Hatta, Gemala Hatta yang ditemani oleh beberapa eksponen pemerhati kebangsaan termasuk juga hadirnya salah seorang putri Mohammad Roem( tokoh yang sangat terkenal dengan perjanjian Roem-Royen), dan alumni lintas angkatan juga hadir.
18 siswa-siswi dari kelas XI dan XII berkolaborasi menghasilkan karya yang cukup bermutu untuk ukuran anak GEN-Z bahkan boleh dibilang membanggakan.
Adika Zainuddin Praptama siswa kelas XI-1 menggebrak dengan judul tulisan KrisIs Demokrasi.
Sebagai pemuda yang memiliki privilage, Hatta bisa menikmati fasilitas belajar di luar negeri, sementara banyak rakyat di sekitarnya miskin, bahkan untuk sekedar menikmati berpendidikan pun jadi sebuah barang langka. Hatta dengan penuh kesadaran mengenyampingkan kepentingan diri pribadinya namun fokus pada upaya perjuangan menuju kemerdekaan. Namun kemerdekaan bukan tujuan akhirnya, melainkan jadi sebuah jembatan melalui alur demokrasi politik dan demokrasi sosial menuju masyarakat adil makmur dan lestari.
Hatta menolak demokrasi yang bertumpu pada kepentingan feodal, meski Indonesia pernah melewati sejarah kepemimpinan raja-raja. Dia pun menolak demokrasi yang bertumpu pada dominasi kepentingan satu golongan agama yang menindas golongan agama lainnya seperti pernah terjadi di Abad Pertengahan ketika Eropa terlibat dalam peperangan antar agama. Ketika paham individualisme dianggap penting untuk melepaskan jiwa manusia dari kungkungan buatan manusia seperti feodalisme dan dominasi agama, selain itu individualisme juga penting untuk menumbuhkan daya cipta manusia hingga ujungnya lahirlah revolusi industri.
Hatta pun menolak ketika demokrasi bertumpu pada individualisme karena kaum pemodal adalah pihak yang paling tanggap memanfaatkan kondisi ini. Dalam demokrasi kapitalis yang hadir dengan pemodal di belakangnya, terbuka jalan terjadinya exploitation de l’homme par l’homme eksploitasi manusia atas manusia lainnya. Petani kecil dieksploitasi oleh para tuan-tuan tanah, yang lemah dieksploitasi yang kuat.
Hatta menginginkan demokrasi yang mengoreksi kekurangan itu. Hak politik harus berada di tangan rakyat yang secara sadar bisa mengembangkan hak demokrasinya dan perlu dihadirkan kekuatan penyeimbang, mencegah dominasi kaum kapitalis. Perlu upaya maksimal untuk diberikan kebebasan berserikat dan berorganisasi. Sebagai kekuatan penyeimbang bagi kekuatan pemodal dan kelompok bersenjata. Hingga perlu dijamin kebebasan untuk menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan.
Sementara, Jeriska Magnolia Holanda siswi kelas XI-3 mencermati tentang Bung Hatta Pembangun Fondasi Kemandirian Ekonomi. Seperti quote bagus darinya, “Koperasi, seutas harapan di tengah kepiluan. Gelora menjadi proses awal dari pencapaian kesuksesan yang beliau kejar. Melepas belenggu ketidakadilan, melawan kapitalisme dengan semangat kolektif yang menggebu-gebu. Di dalam pikirannya terukir jalan demi jalan menuju kesejahteraan untuk tanah air. Mengenal lebih dalam tentang fondasi perekonomian bangsa menjadi suatu kehormatan bagiku untuk dirimu, Bung Hatta”.
Buah pikiran Hatta akan Koperasi adalah Perekonomian sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Karena koperasi tidak ada pertentangan antara majikan dan buruh karena yang terlibat di dalamnya adalah para anggotanya. Semua bertanggungjawab atas keberlangsungan keberadaan unit usaha itu. Makmur koperasi maka makmurlah semuanya, rusak koperasi maka rusaklah semuanya.
Lain lagi amatan yang dilakukan oleh Stephanie Kasmali dari kelas XII-4. Begitu cintanya Hatta akan buku menarik perhatiannya dengan judul tulisan “Sosok Pemimpin Bestari Yang Abadi”. Bahkan saat akan diasingkan ke Digoel ada kurang lebih 16 peti buku yang dibawanya. Ada quote penting Hatta akan buku, “Aku rela dipenjara asal bersama buku. Dengan buku aku bisa bebas”. Lebih lanjut Hatta menambahkan lagi dengan quote yang lainnya, “Membaca tanpa merenungkan adalah bagikan makan tanpa dicerna”.
Satu lagi yang khas dari Bung Hatta, masih menurut Stephanie, “Beliau tidak gila harta, tahta bahkan wanita”.
Lebih lanjut Phanie (panggilan akrabnya) mengisahkan, “Untuk membeli buku, meski dia lahir dari keluarga yang berkecukupan, dia menabung dari uang jajannya yang sebesar 1 Gobang (25 sen) perhari, setelah terkumpul, barulah buku yang dia idamkan bisa dibeli”.
Saat berkunjung ke Irian Jaya pada 1970 (saat sudah tidak lagi jadi Wapres), turun dari pesawat sebuah amplop disodorkan pada beliau sebagai uang saku. Beliau tidak mau menerimanya, saat kunjungan ke tempat pengasingannya dulu yang dikenal sebagai Tanah Merah, uang amplop itu dibagikan kepada masyarakat setempat, “Ini uang dari Rakyat dan kembali kepada rakyat”.
Hal yang sama kurang lebih terjadi pada 1971. Saat berobat ke negeri Belanda, sepulangnya ke tanah air ada sisa uang dan seketaris pribadinya, Wangsa diperintahkan untuk mengembalikannya kepada Sekretariat Negara. Saat itu Wangsa menjadi bahan tertawaan orang-orang di Setneg karena pengembalian sisa uang perjalanan itu. Tergambar jelas, bersih dan jujurnya beliau bahkan hingga usia senjanya.
Phanie begitu gamblang menyeritakan tentang sosok Bung Hatta dan itu menarik. Karena sosok Phanie dan Jenni adalah perwakilan siswa Boedoet yang berwajah oriental. Ketika ditanya tentang itu mereka berdua mengemukakan argumennya, “Sebagai orang Indonesia, kekaguman kami pada beliau (Hatta) tidak dibuat-buat. Ada yang orang hebat yang pernah lahir di bumi pertiwi itu. Teladan yang diwarisi oleh beliau seakan jadi penerang jalan kami untuk kehidupan kami ke depan khususnya Gen-Z”.
Di akhir tulisan, Syaumi Myeshianie Santoso asal kelas XII-4 mengutip kalimat terkenal Bung Hatta.
“Perjuanganku melawan penjajah lebih mudah. Tidak seperti kalian nanti. Perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan bangsa sendiri”.
Syaumi tentunya akan bisa membayangkan, ketika Bung Hatta masih hidup di jaman kini, hatinya tentu pedih melihat bayang-bayang kelam korupsi dan ketidakadilan. Tentunya di tengah-tengah sisa tenaga yang beliau punya akan memanggil para putra putri negeri ini untuk kembali pada jalan yang lurus jalan yang penuh pengorbanan dan keikhlasan.
Putri kedua Hatta, Gemala Hatta, menitipkan pesan, “Kembangkan minat baca pada Gen Z agar nantinya mereka bisa menelaah sejarah para pendiri bangsa ini dengan jernih dan berimbang. Tidak seperti kenyataan yang saya dapati beberapa waktu lalu. Ada seorang wartawan yang masuk dalam Gen-Z yang dalam paradigma dia, Proklamator itu hanyalah sosok Sukarno semata. Padahal Proklamator itu adalah Dwi Tunggal, Sukarno-Hatta”.
Acara tersebut dihadiri oleh berbagai kalangan, Komite SMAN 1 Jakarta diwakili sang Ketua Chairal Tanjung dan beberapa jajarannya, sementara hadir putri Mr Moh Roem dan juga beberapa aktivis LSM yang bergerak di bidang kebangsaan, juga beberapa orang tua dari para penulis itu pun hadir untuk tidak bisa menyembunyikan rasa bangga mereka atas karya anaknya. Sementara, Bu Fauro selaku kepala sekolah berhasil secara apik mengemas acaranya itu menjadi momen yang cukup berkelas dengan dihadiri utusan dari Dinas Pendidikan DKI serta mantan Kadis Pendidikan dan Kadis Olahraga, Rationo.
Gen-Z Boedoet berupaya memahami siapa sebenarnya Hatta lewat tulisan yang mereka buat dengan prespektif masing-masing, namun tetap tidak lepas dari patron Kejujuran dan Integritas yang melekat pada diri Hatta. Bahwa ada beberapa pengetahuan lebih yang dikuasai oleh generasi tahun 80an yang tentunya mendapatkan info-info bernas (saat itu) langsung dari orang-orang tua mereka yang hidup sejaman dengan Hatta, tidak dimiliki oleh Gen-Z.
Satu yang kita tunggu, dari Gen-Z Boedoet nantinya. Bahwa semangat belajarnya Hatta hingga ke negeri Belanda mampu menggerakkan semangat juang para siswa Boedoet untuk bertarung memperebutkan kursi pendidikan tinggi di mancanegara. Jika itu tercapai, tuntaslah hadirnya Perpustakaan Hatta SMAN 1 Jakarta menjadi sumber inspirasi bagi Siswa Boedoet. [miz]