TRANSINDONESIA.co| By: Muhammad Joni
Jangan bilang gemar berbagi, Kemenkes menduga perundungan, tetapi mengapa Program Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (UNDIP) yang dihentikan? Padahal PPDS tidak bersalah. PPDS tidak dapat diminta tanggungjawab hukum. PPDS bukan pelaku.
Tersebab itu, tidak berdasar Kemenkes menghentikan proses belajar dan layanan PPDS Anestesi UNDIP (vide Surat Kemenkes Nomor TK.02.02/D/44137/2024, Hal: Pemberhentian Program Anestesi Universitas Diponegoro di RSUP Dr. Kariadi, 14 Agustus 2024).
Apakah sudah diperiksa dasar layanan medis anestesi itu? Bagaimana klausule kerjasama? Bukankah kepentingan publik, diutamakan. Ombudsman RI (ORI) patut dan absah diminta investigasi dengan prakarsa sendiri. Mengapa? Berikut ini alasan juncto ulasannya.
Pertama: Tidak ada wewenang Kemenkes hentikan program PPDS Anestesi UNDIP di RS Dr. Kariadi –yang terikat perjanjian kerjasama. Apalagi tanpa alasan yang sah, tindakan sepihak, dan menihilkan evaluasi bersama.
Kedua: Program PPDS Anestesi itu adalah program kerjasama antara dua instansi pemerintah. Program adalah program, bukan pelaku. PPDS Anestesi UNDIP tidak dapat dipersalahkan. Layanan publik tindakan medis itu penting, terkait langsung hak kesehatan dan keselamatan pasien, maka tidak bijak dihentikan walau berdalih hanya sementara.
Ketiga: Kemenkes tergesa-gesa dan keliru mendalilkan dugaan perundungan sebagai penyebab (kausalitas) bunuh diri salah satu peserta didik. Padahal dugaan perundungan saja belum terbukti. Wajib diuji dengan prinsip kausalitas langsung; direct causal assesment. Terlebih lagi klaim bunuh diri dr. ARL itu tuduhan yang jauh dari kebenaran hukum.
Bahkan klaim itu kemudian dibantah orangtua korban yang diwartakan meluas melalui media.
Keempat: Tidak ada dasar sah Kemenkes menghentikan PPDS Anestesi tersebut. Penghentian itu sewenang-wenang. Tindakan pejabat publik merugikan kepentingan publik. Apalagi program PPDS FK UNDIP dan RS Dr. Kariadi itu kerjasama dua kementerian yang dibutuhkan masyarakat, pasien, dan seluruh mahasiswa/ residen peserta PPDS Anestesi.
Kelima: Surat Kemenkes itu tidak sesuai prosedur kerjasama program. Dekan Fakultas Kedokteran UNDIP itu jabatan, bukan pemegang Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktik (SIP). Jabatan Dekan Fakultas Kedokteran tidak identik profesi dokter. Jangan gebyah uyah. Lagi pula belum ada amar yang yang dijatuhkan.
Apalagi dugaan perundungan masih dalam penyelidikan, klaim terjadi bunuh diri belum terbukti. Sebab itu, surat Kemenkes itu cacat formil, prematur, dan kuat dugaan maladministrasi; sehingga beralasan dicabut.
Keberlanjutan PPDS Anestesi UNDIP dan layanan klinis anestesi pada Rumah Sakit Pendidikan itu kepentingan publik, dibutuhkan masyarakat luas, terlebih pasien yang antri jadwal operasi, dan residen/ peserta PPDS.
Bijaksana jika segera pulihkan PPDS Anestesi UNDIP di RS Kariadi. Mendesak, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) segera melakukan investigasi atas prakarsa sendiri, walaupun belum/ tidak menerima pengaduan langsung masyarakat. Salam sehat!
(Muhammad Joni, SH.MH., Ketua Perhimpunan Profesi Hukum dan Kesehatan Indonesia, jonitanamaslaw@gmail.com)