“Hukum, Penegakan Hukum dan Keadilan”: Era Postruth Proxy War Leadership Digital dan E Policing
TRANSINDONESIA.co | Hukum, Issue, Opini dan Politik Hukum adalah produk bersama, sebagai bagian sebuah peradaban dalam menata kehidupan social.
Hukum esensinya adalah, sejumlah aturan-aturan untuk memanusiakan manusia, sehingga dalam menangani berbagai konflik secara beradab maupun untuk menata, melindungi dan melayani di masa kini maupun masa yang akan datang. Aturan-aturan yang tertulis dalam undang-undang atau peraturan-peraturan tidaklah bisa mencakup lini.
Selalu ada celah hukum. Celah-celah inilah yang sering dimanfaatkan dalam politik, maupun kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok melalui opini dan issue. Tatkala hukum dicemari dengan opini dan issue, hukum sudah terkontaminasi menjadi ajang adu power dan menjadi budak kekuasaan, kepentingan yang tentu saja mengabaikan manusia dan kemanusiaan. Semua itu, akibat dari adanya kesempatan-kesempatan melakukan kejahatan, maupun pelanggaran sehingga munculah niat sebagai produk keserakahan atau sebagai upaya mempertahankan hidup. Dikatakan keserakahan karena bukan demi mempertahankan hidup.
Dalam memahami hal-hal yang bukan menjadi bagian dari kemanusiaan. Adapun untuk dapat mempertahankan hidup dan kehidupan diperlukan spirit menumbuh kembangkan dan meningkatkan kualitas hidup bagi banyak orang.
Dapat juga dimaknai apa yang dilakukannya berkaitan dengan upaya-upaya memberikan jaminan dan perlindungan HAM. Opini dan issue muncul dalam penegakan hukum sering dilakukan demi kepentingan-kepentingan tertentu.
Menegakan hukum bukan sebagai ajang balas dendam, bukan untuk kepentingan-kepentingan politik atau mencari jabatan, juga bukan demi mendapatkan sesuatu bagi kepentingan pribadi atau kelompok.
Opini public dan issue yang dihembuskan bisa juga menjadi pembunuhan karakter dalam pengadilan social dan pengadilan oleh media. Terlebih apabila opini dan issue tidak benar dikaitkan dengan hal-hal yang primordial maka akan cepat sekali menyulut kebencian. Penegakan hukum hilang keadilannya, akan mudah dijadikan alat atau lahan bagi kaum-kaum oportunis dalam mencapai keinginan dan memenuhi kepentingan-kepentingannya.
Opini public dan issue diwadahi melalui media sebagai sarana penghakiman dan sebagai alat pembunuhan karakter “trial by the press” akan jadi model yang dikembangkan.
Selama penegakan hukum digunakan semata-mata memberikan efek jera, maka hukum akan digunakan sebagai pembunuhan karakter dan ajang balas dendam. Maka celah-celah inilah yang akan dimanfaatkan bagi banyak kepentingan dengan mengatasnamakan hukum.
Hukum semestinya menjadi bagian dari peradaban yang dipahami dalam prinsip-prinsip untuk : 1. Menyelesaikan konflik secara beradab, 2. Mencegah agar jangan terjadi konflik yang lebih luas, 3. Memberikan pelayanan kepada korban dan pencari keadilan, 4. Adanya kepastian hukum, dan 5. Edukasi. Itu semua diharapkan produk penegakan hukum juga bermanfaat untuk : a. Pencegahan, b. Perbaikan, c. Peningkatan kualitas pelayanan kepada public, dan d. Pembangunan.
Para penegak hukum wajib menyadari dengan penuh rasa tanggung jawab dan disiplin bahwa tugas dan tanggung jawab selain menegakan hukum juga untuk menegakan keadilan. Maknanya adalah penegakan hukum dalam menegakan hukum wajib memberikan jaminan dan perlindungan HAM, dilakukan secara professional dan fair. Tidak melakukan gerakan-gerakan membangun opini public maupun menyebarkan hasil penyelidikan atau penyidikannya kepada public sebelum ada putusan hakim yang menyatakan bersalah.
Penegak hukum dalam menegakan hukum boleh saja mencari atau mendapatkan dukungan dari para pemangku kepentingan. Namun bukan untuk pribadi atau kelompok-kelompoknya, melainkan institusi dan perjuangan dalam menegakan hukum dan keadilan. Bukan pula untuk memaksakan dan membangun opini public atau menebar issue-issue kebencian. Saat ini semakin terlihat, siapa yang rajin menggalang dukungan, melakukan pencitraan-pencitraan dan sering tampil bak selebritis ? apakah inilah sang DALANG ??? atau sekedar aktor ciptaan sang DALANG ?
Belajar dan Menjadi Pembelajar di Era Digital
” Belajar dan menjadi pembelajar merupakan moralitas untuk membangun hidup dan kehidupan yang lebih baik demi semakin manusiawinya manusia”
Belajar bisa dari mana saja, dari apa saja dan dari siapa saja bahkan di mana saja. Belajar tidak sebatas di ruang kelas yang berisi tembok tembok pembelenggu kemerdekaan berpikir atau guru guru yang menakut nakuti yang melemahkan sehingga tidak lagi menjadi pemberani. Tatkala belajar didoktrin dan dijejali berbagai hal tanpa memahami kemanfaatannya maka sebenarnya itu sekedar menghabiskan jam belar.
” non scolae set vitae discismus” belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup”
Tori merupakan kampuan mengabstraksikan dalam menemukan hakekat atau inti akan sesuatu dengan menghubung hubungkan antara konsep konsep yang merupakan prinsip prinsip yang mendasar dan berlaku umum untuk menjelaskan sesuatu fenomena. Teori tatkala memiliki kekuatan dan kesahihan, memiliki power dan menjadi ikon. Namun bukan disakralkal atau didewakan sehingga para orang hanya memghafal bahkan membanggakan menggunakan teori ini itu seakan sebagai pengecer teori dan lupa bahwa sejatinya tepri sebagai acuan atau kerangka berpikir akademisnya. Teori merupakan suatu karya cipta penemunya bisa berdasar pengalamannya bisa juga dari hasil risetnya atau hasil dari konstruksi berpikirnya dengan menggunakan atau mengkritisi teori teori yang terdahulu. Teori dapat dipahami sebagai hakekat hubungan antara konsep konsep yang merupakan prinsip prinsip yang mendasar dan berlaku umum untuk menjelaskan atau menerangkan suatu fenomena. Berpikir teoritis merupakan berpikir yang abstrak atau imajinatif yang mampu menemukan prinsip mendasar yang berlaku umum bukan pragmatis.
Teori bukan dihafal bukan sebatas dijejer jejer atau dipajang namun digunakan untuk menjelaskan apa makna di balik suatu gejala atau fakta. Tatkala tanpa kemampuan imajinasi maka teori sebatas dihafal dan tidak akan dapat mengurai dalam konstruksi/ kerangkanya atau dekonstruksinya. Tatkala teori dihafalkan atau tidak dijadikan kerangka berpikir atau mengkonstruksi maka teori itu akan tumpul atau flat atau datar saja. Tidak akan mampu menjadi sarana menyelami kedalaman atau membongkar labirin atas suatu fenomena. Bahkan kadang malah membelenggu akibat dihafal atau semacam kewajiban saja. Tatkala menulis atau membuat kajian atas sesuatu apabila sudah menempel teori ini itu di mana mana seolah olah sudah benar.
Teori merupakan produk berpikir abstrak yang merupakan prinsip prinsip yang mendasar dan berlaku umum semestinya digunakan sebagai pisau analisis atas fenomena atau sesuatu yang sedang dikaji. Dengan teori diharapkan mampu memahami makna di balik fenomena dengan sudut pandang atau pendekatan yang bervariasi untuk menemukan kebaruan. Berpikir teoritis ini selain mengabstraksikan juga memerlukan imajinasi dalam membuat konstruksi baru atas kajiannya. Tatkala teori mampu diurai dan digunakan sebagai konstruksi baru atau dimanfaatkan untuk mengurai dan membangun maka teori akan memerdekakan dan tidak membelenggu.
Era digital dan dampaknya pada pendidikan dan pengajaran secara virtual akan berdampak luas bagi pendidikan dan lembaga lembaganya. Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran di era digital seakan digeser dengan cara cara virtual atau bisa belajar di mana saja. Apakah kehadiran AI (artifivial intilligence) dapat menjamin kualitas atau hasil didik seperti yang diharapkan? Tentu bisa, tatkala pola pendidikan dibangun atas dasar keutamaannya. Tatkala keutamaan tidak ditemukan dan dilakukan tambal sulam atau sebatas memenuhi target jam pelajaran sejatinya merusak peradaban.
Penyelenggaraan belajar mengajar pada lembaga pendidikan, guru sebagai pilarnya namun bukan pemegang ilmu satu satunya. Sistem pengajaran melalui model dan konteks literasi sehingga secara virtual maupun aktual tetap mampu menstimuli para siswa atau siapa saja yang mengikutinya akan tercerahkan dan mampu merubah mind set nya. Pola pembelajarannya berubah dari aktual ke virtual dan membranding para siswa sehingga bukan sebatas apa bagaimana dan mengapa melainkan mampu membangun menjadi siapa. Beberapa hal yang dapat dibangun atau setidaknya dapat diterapkan di masa transisi menghadapi perubahan besar kehadiran AI dapa lembaga pendidikan setidaknya melalui
1. Membangun sistem literasi
2. Melakukan pembelajaran melalui dialog secara proaktif dan problem solving
3. Keutamaan ilmu yang dipelajari dijadikan core value dan standar keberhasilannya
4. Lembaga pendidikan mampu berwibawa dan menunjukkan kualitasnya dalam penyelenggaraan pendidikan atau proses belajar dengan baik dan benar
5. Para dosen atau Guru guru mampu mengikuti perubahan yang begitu cepat, memposisikan sebagai pilar lembaga pendidikan yang berkualitas dan memiliki kompetensi akademik serta mampu memotivasi mahasiswa berani kreatif serta menjadi ikon kecerdasan atau keahlian
6. Fasilitas pendidikan membuat sistem back office, application berbasis AI dan net work berbasis IoT yang mampu memberikan dukungan pendidikan secara virtual dalam model literasi ada sistem dialog peradaban dan branding memanfaatkan media dan jejaringnya.
7. Para siswa atau peserta didik dimotivasi dan dilati belajar dengan cara berpikir kreatif inovatif problem solving dan visioner
8. Proses belajar mengajar yang berbasis pada :
a. keilmuan,
b. pemahamanan dan pengembangan teori dan konsep,
c. studi kasus ,
d. problem solving, yang dikembangkan dalam pemikiran kebaruan sebagai pembaruan
9. Forum diskusi sebagai basis dialog peradaban bagi pengembangan ilmu pengetahuan
10. Penerbitan untuk menampung karya para dosen atau guru dan siswa /peserta secara elektronik atau cara konvensional
11. Jurnal ilmiah
12. Kerjasama dalam maupun luar negeri untuk kegiatan akademik : penelitian ilmiah, debat publik, bedah buku, bhakti masyarakat dll
13. Ada ikatan alumni
14. Aktif dlm kegiatan-kegiatan forum akademis nasional maupun internasional bench mark seminar work shop dan studi nasional dan internasional
15. Ada publikasi pengajarannya ke media sehingga dapat dijadikan referensi dan literasi
16. Menjadi anggota forum atau asosiasi akademik nasional maupun internasional
Era digital, era media. Media seakan menguasai jalur jalur komunikasi dan informasi walau sarat distorsi, entah besar atau kecil. Distorsi ini yang dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, pada umumnya yang berkaitan dengan sumber daya. Apalagi budaya dalam birokrasi masih kental model primordial dan pendekatan personal. Distorsi ini juga terjadi pada pembelajaran di lembaga pendidikan. Apalagi “broker” merambah dan memanfaatkan “era post truth” untuk menggoreng, membully bahkan membranding yang keliru. Pembenaran pembenaran akan semakin kental bahkan mampu menggerus kebenaran. Masalah kekuasaan dan penguasaan sumberdaya akan semakin marak dan proxy war menjadi pilihan. Siapa berbuat apa hingga punya apa menjadi ajang saling serang.
Dunia virtual kini menjadi ruang yang memiliki warganet ( netizen). Mereka hidup dalam sistem sistem virtual dalam pendukung aktivitas aktual sehari harinya. Dalam sistem sistem pendukung menggantungkan applikasi yang berbasis pada AI dan Iot. Warga net sibuk atau disibukan berbagai aktifitas dalam dunia virtual. Smart phone / gadget seakan tidak boleh lepas dari kehidupannya dari bangun tidur hingga saat akan tidur. Era digital menggeser banyak kebiasaan lama memasuki tataran baru.
Di dalam pendidikanpun dunia virtual mulai merambah. Lagi lagi isu primordialisme masih kuat dan rasionalisme dikalahkan. Pendekatan personal dijembatani makelar broker atau vendor yang mampu membahagiakan ndoro ndoro. Mereka memanfaatkan peluang mediasi. Di era digital para broker akan memanfaatkan melalui netizen membangun buzer, membangun jejaring dan memanfaatkan data maupun fakta untuk pembenaran. Siapa yang dianggap menjadi penghalang atau duri dalam daging akan dilumat.
Isu yang ditabur memang menarik bahkan seakan penuh pencerahan walau faktanya penyesatan.
Keutamaan bagi lembaga pendidikan ini menjadi penting dan untuk apa hasil didiknya digunakan dalam hidup dan kehidupan yang sejatinya juga bagi pembangunan dan pemeliharaan peradaban.
Peradaban di era digital akan ditandai dengan sistem yang berbasis teknologi. Seni budaya merupakan suatu tanda olah rasa bagi persemaian tumbuh berkembangnya suatu peradaban, muncul digital art yang mampu menembus ruang waktu seolah melibas segala sesuatu yang tersekat ruang dan waktu. Apa saja bisa diperoleh dengan cepat dan berada di genggaman tangan. Kekuatan iinternet of thing dengan artificial intellegence seolah meruntuhkan gaya lama yang tradisional manual dan parsial.
Tatkala lembaga pendidikan masih ala feodal dan dilakukan pola parsial konvensional tentu akan dilibas. Proses pembelajaran dan hasil didik tidak akan mampu mendobrak atau menghasilkan sesuatu yang bisa dikatakan kontemporer atau kekinian. Timbul pertanyaan bagaimana pembelajaran dan memfungsikan lembaga pendidikan agar terus mampu bertahan hidup tumbuh dan berkembang di era digital? Lembaga pendidikan dengan pembelajarsnnya mau tidak mau dibongkar dari zona nyamannya sebagai suatu solusi sosial agar mampu menjadi ikon peradaban dsn mendapatkan tempat dalam kehidupan sosial. Tatkala kehidupan sosial sebagian beralih ke balik layar dan kebersamaan beralih dalam tata kehidupan virtual maka segala sesuatu yang hard diganti yang soft, tidak sebatas yang tangible tetapi juga yang untangible.
Dalam tata kelola politik sosial budaya kemasyarakatan yang waras maka lembaga pendidikan akan mendapat ruang yang layak untuk menjadi persemaiannya agar terus hidup tumbuh dan berkembang. Tatkala lembaga pendidikan dan proses pembelajarannya terabaikan atau dalam tekanan atau pendiskriminasian apalagi dikerjakan sebatas tambal sulam yamg administratif saja, maka dapat dikatakan rontoknya suatu peradaban dan hancurnya suatu kedaulatan bangsa. Segala sesuatu yang kintra produktif meraja lela, keutamaan tidak ditemukan kebendaan menjadi yang utama jiwa dan kemanusiaan akan dinomorsekiankan atau malah dibelenggu diperdaya bagai robot semata.
Era Post Truth, Solidaritas dan Potensi Konflik
Konflik sosial pada umumnya karena perebutan sumber daya atau perebutan pendistribusian sumber daya. Bisa juga dikarenakan masalah harga diri. Suatu konflik terjadi sebenarnya merupakan puncak gunung es. Permasalahan permasalahan yang sudah menumpuk dan tinggal menunggu ada triger untuk meledaknannya. Permasalahan yang tidak terselesaikan akan menimbulkan kekecewaan hingga kemarahan walaupun masih dapat dipendam. Namun itu di omongkan terus ke mana mana dan bagi orang yang tidak pernah mengalamipun bisa ikut menceriterakan. Dari mulut ke mulut ditambah tambahi dan saling memiliki penafsir berbeda dari faktanya. Ini gosip. Semakin digosok semakin sip. Gosip ini tatkala berlapis lapis dan terus menerus dilakukan ini akan menjadi labeling. Pemberian label ini bisa untuk perorangan bisa untuk kelompok. Tatkala labeling ini terus dihembuskan seolah olah mjd kebenaran maka akan menjadi kebencian.
Apa yang dilakukan di atas ini sangat mudah memicu konflik sosial tatkala dikaitkan atau dihubung hubungkan dengan primordial. Primordial merupakan hal yang utama dan pertama bisa sara bisa juga komunitas atau kelompok kelompok kategorial. Di dalam primordial emosional, spiritual diutamakan dan kadang mengabaikan rasionalitas. Pokok e atau dengan semangat siap membantu mengeroyok atau balas dendam dan menyerbu. Kelompok primordial tatkala sudah saling melabel saling membenci dari konflik perorangan pun bisa terjadi. Primordial dipilih atau digunakan karena untuk mendapatkan legitimasi walau hanya pada pembenaran bukan kebenaran. Apalagi kebenaran yang tidak berbasis hal hal yang hakiki hanya berdasarkan populasi. Kambing tatkala diteriaki orang banyak sebagai anjing bisa saja semua meyakini itu anjing.
Di dalam masyarakat yang majemuk primordialisme sangat mudah untuk memecah belah atau mengadu domba satu sama lain. Antar suku antar ras antar agama antar kelompok menjadi basis solidaritas pokok e yaang sebenarnya pekok e. Rasionalitasnya koprol dibuang. Yang ada dikepalanya hanyalah hajar serbu hancurkan mereka musuh menghina kita. Spirit premanisme muncul walau kembali dengan keroyokkan dan pengkambinghitaman. Siapa yang lemah disalahkan dan ditumbalkan. Tatkala kelompok primordial ini sudah menjadi crowd maka akan muncul gerakkan anarkisme ealaupun hanya dengan bullshit dikeroyok si a dan si b atau mengarang kejadian seolah teraniaya. Sifat orang orang yang cengeng mudah di berdayakan untuk membakar amarah. Sikap ksatria rela digantung diganti nalar koprol, mereka saat itu seakan penuh jiwa yang heroik walaupun melakukan hal hal yang di luar nalar. Otaknya seakan dibekukan dicocok hidungnya diseret untuk mengamini anarkisme. Kesadaran kolektif sudah tidak mampu lagi dikendalikan. Seakan orang mabuk ia lupa dengan dirinya dan sadar menyesal dibelakang hari.
Era post truth ini sebenarnya sudah dilakukan sejak jaman dahulu walaupun tidak separah di era digital dengan media sosialnya. Menghasut memecah belah untuk saling membenci. Kita bisa belajar dari pemberontakan mulai dari ken arok, hingga penyerbuan tentara China ke Kediri, pengusiran pasukkan Kubilaikan, pemberontakkan jaman Majapahit, masa kolonialisme, masa pra kemerdekaan hingga masa kini terus saja ada. Primordialisme menjadi pilihan apalagi kalau sudah mengatasnamakan apa saja apalagi yang berkaitan dengan harga diri ini mudah memicu konflik. Kadang kala pelakunya bisa dari orang gila. Tatkala diperiksa dinyatakan gila. Ini putus mata rantainya. Konflik sosial ini by design walaupun kadang tanpa kesengajaan. Bullshit di era postruth seolah kebenaran walaupun sarat trik intrik pembenaran. Memang ujung ujungnya juga kekuasaan penguasaan pendominasian sumber daya.
Masyarakat majemuk memerlukan adanya suatu pencerdasan hingga nalar atau logikanya tidak mudah dikoprolkan. Paradigma multikulturalisme ini mungkin mampu merasukkan kebanggaan akan kebhinekaan. Patriotisme cinta bangga akan bangsa dan negara tatkala bukan pd solidaritas semu apalagi dg berbagai hal yang menjurus kepada premanisme. Kekuatan massa khususnya bagi masyarakat suatu bangsa dan negara layak untuk dijaga atau ditumbuh kembangkan kekayaan seni budayanya dalam konteks karakter bangsa bagi hidup tumbuh dan berkembangnya. Multikulturalisme ini menjadi kekuatan bagi pelestarian kebhinekaan dan mencerdaskan untuk memberdayakan melestarikan salah satunya melalui masyarakat sadar wisata. Kesadaran akan wilayahnya orang orangnya suku bangsa bahasa dan seni budayanya menjadi aumber daya baru. Penanaman cinta bangsa bukan lagi doktrin namun penumbuhkembangam nalar dan daya logika waras. Lagi lagi ujung nya memang politik sehat waras lah yang mampu menjaga dan membawa suatu bangsa maju dan sejahtera
Di era digital seakan media menjadi arena baru pada dunia virtual yang menjadi disrupsi. Tatkala tidak siap bermedia maka dslam memanfaatkan media berdampak pada COI ( conflick of interest ). Memberdayakan media yang semestunya mendukung produktifitas dan meningkatkan kualitas hidup bisa bisa menjadi sesuatu yang kontra produktif. Apalagi ini di era post truth, media seakan menjadi market place yang dapat digunakan sebagai ajang untuk mempengaruhi bahkan membangun opini publik melalui berita hoax yang memviralkan pembenaran agar dianggap sebagai kebenaran. Saling hujat saling serang seakan dunia virtual tidak membutuhkan keteraturan. Netizen pun semestinya dibangun bagi kemajuan suatu peradaban.
Rekayasa sosial dalam ranah virtual secara by design dapat digunakan dslam kepentingan apa saja. Boleh dikatakan kaum milenial paham dan menggunakan media sosial. Apa yang di sampaikan bisa langsung di share ke berbagai penjuru dunia atau secara global dalam hitungan detik. Dunia tanpa batas ruang dan waktu. Apa saja kapan saja dsn siapa saja bisa. Media menjadi power on hand yang dapat membantu atau sebaliknya dalam berbagai aktivitas manusia dalam berbagai gatra kehidupan. Idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan, hukum, pertahanan. Berbagai isu mudah dan cepat dihembuskan. Media sosial banyak menggeser tatanan kehidupan dari cara konvensional bergeser ke arah yang kekinian. Tatkala konten yang didesign untuk kepentingan tertentu atau kelompok tertentu maka akan menjadi potensi konflik dan kontra produktif.
Pilar dengan berbagai sendi kehidupansebagai simbol kedaulatan dan peradaban bangsa dapat digerus . Sehingga, sumber daya utama dan penting bagi kedaulatan dan daya tahan bangsa dapat diganggu hingga diambil alih. Oleh sebab itu di dalam memanage media setidaknya dilakukan untuk:
1. Memberitakan yang baik dan benar
2. Sesuai dengan fakta tidak mengada ada dan tidak direkayasa
3. Memberikan jaminan dan perlindungan HAM
4. Berpihak pada kemanusiaan supremasi hukum transparan akuntabel, informatif komunikatif dan mudah diakses
5. Menginspirasi, memotivasi dan memberi solusi serta mengedukasi
6. Membuat counter issue secara akademis dan yuridis atas sesuatu yang menjadi dampak era post truth terutama yang berkaitan dengan hoax
7. Menghibur, fun dan tetap pada norma norma etika dan moralitas
Dsb
Era post truth era yang memberdayakan data dan informasi sebagai sarana yang membuat opini publik, emosi massa terombang ambing dengan berbagai hoaxnya. Data dan informasi saling diaduk aduk antara fakta dengan pembenaran dan kebohongan diolah sedemikian rupa seolah olah merupakan kebenaran yang terus diviralkan sehingga membuat orang lainbterpengaruh emosibatau opininya bahkan yang membuat dan yang menyebarkannyapun meyakini sebagai kebenaran. Hal itu terjadi karena terus menerus disampaikan seolah olah sesuatu yg salahpun menjadi benar. Apa yang terjadi bukanlah tiba tiba melainkan ada maksud dan tujuan tertentu. Paling tidak ada kepentingan kepentingan terutama politik atau untuk penguasaan sumber daya.
Data dan informasi mudah menjadi sasaran para designer jahat apabila tidak ada standar pengamanan. Di era digital data dan informasi menjadi kekuatan siapa lengkap siapa cepat dialah yang menguasai. Pembenaran yang terus diulang ulang dengan berbagai kemasan kebohongannya akan menjadi inspirasi yang negatif dalam otak bahkan hati nurani. Bagi siapa saja yang membacanya hingga rela memviralkannya ke jejaringnya mempercepat laju penyebaran issue yang dibuat. Tanpa berpikir panjang apalagi sudah ada unsur labeling dan kebencian ini akan semakin cepat penyebarannya.
Era post truth merupakan, penumpulan daya nalar yang memancing emosi dan memperuncing kebencian. Logika tidak lagi diutamakan yang diutamakan dan dikedepankan masalah emosional spiritual. Kemasan primordial akan menjadi gelora membara. Tanpa pikir panjang peradilan sosial sudah dilakukan. Saling menuduh saling menyalahkan saling menghina saling mengobok obok jiwa hingga harga diri. Tanpa sebutir peluru keluar dari moncong laras senjata perang dapat dimulai. Hal hal yang kontra produktif dan berbagai pembodohan menggelora di mana mana. Sesal tiada guna. Biasanya sadar setelah hancur berantakkan. Hal ini tanpa sadar setiap saat trs melanda.
Literasi dan berbagai upaya melalui coaching menjadi pilihan untuk menanamkan spirit kemanusiaan pencerdasan kehidupan bangsa dan tetap menjaga kewarasan daya nalar dengan lebih mudah dan lebih murah. Standar data dan informasi dibangun untuk adanya data centre yang dapat dijadikan acuan masyarakat, sehingga setiap informasi dan data yang diperoleh tidak asal telan atau asal share. Harapannya masyarakat mau membaca mau mencari standar media yg mjd rujukkan. Informasi yang ditabur biasanya bertahap bahkan dikemas seakan ilmiah bahkan mengatasnamakan tokoh tokoh yang menjadi ikon atau role model. Dari literasi dan standar media data dan informasi akan mjd salah satu pilar bagi acuan data dan informasi hoax. Selain itu counter issue juga dilakukan. Gerakan intelejen membuat cerdas dan memotivasi publik di semua lini dengan berbagai kemasannya untuk mencerdaskan dan menjaga keteraturan sosial ubtuk tetap waras dalam berbagai gerusan dan gempuran nalar.
Era digital, era media. Media menguasai jalur jalur komunikasi dan informasi. Komunikasi dan informasi melalui media ada distorsi entah besar atau kecil. Distorsi ini yang dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, pada umumnya yang berkaitan dengan sumber daya. Apalagi budaya dalam birokrasi masih kental model primordial dan pemdekatan personal. Apa yang terjadi ? Lagi lagi broker dan pemanfaatan era post truth untuk memggoreng, membully bahkan membranding. Isu dan kabar burung dalam pergosipan akan marak terjadi. Pembenaran pembenaran akan semakin kental bahkan mampu menggerus kebenaran. Masalah kekuasaan dan penguasaan sumberdaya akan semakin marak dan proxy war menjadi pilihan. Siapa berbuat apa hingga punya apa menjadi ajang saling serang.
Dunia virtual kini menjadi ruang yang memiliki warganet ( netizen). Mereka hidup dalam sistem sistem virtual dalam pendukung aktivitas aktual sehari harinya. Dalam sistem sistem pendukung menggantungkan applikasi yang berbasis pada AI (artificial intelligence ) dan Iot ( internet of thing ). Warga net sibuk atau disibukan berbagai aktifitas dalam dunia virtual. Smart phone / gadget seakan tidak boleh lepas dari kehidupannya dari bangun tidur hingga saat akan tidur. Era digital menggeser banyak kebiasaan lama memasuki tataran baru.
Di dalam birokrasi kehadiran AI melalui dunia virtual mulai merambah dan merubah banyak bidang pekerjaan. Secara aktual isu primordialisme masih kuat dan rasionalisme dikalahkan. Pendekatan personal dijembatani makelar broker atau vendor yang mampu membahagiakan ndoro ndoro. Mereka memanfaatkan peluang mediasi. Di era digital para broker akan memanfaatkan melalui netizen membangun buzer, membangun jejaring dan memanfaatkan data maupun fakta untuk pembenaran. Siapa yang dianggap menjadi penghalang atau duri dalam daging akan dilumat. Isu yang ditabur memang menarik bahkan seakan penuh pencerahan walau faktanya penyesatan.
Mengapa Digital Leadership dan E Policing harus disiapkan ?
Di era digital dengan kehadiran Artificial Intellegence (AI) begitu pesat perkembangannya. AI bisa digunakan untuk berbagai aktifitas dan kegiatan manusia bahkan pekerjaan manusiapun bisa digantikan dengan AI. Kalau AI bisa digunakan untuk hal baik bagaimana dengan sebaliknya? Mungkinkah AI ditangan orang orang jahat bisa digunakan sebagai kejahatan baru atau sesuatu yang sama sekali belum terpikirkan penanganannya. Kita semua sadar tidak ada suatu kejahatan kalau belum ada aturannya. Hukum tertinggal dari perubahan yang begitu cepat.
Electronic policing sebagai model pemolisian di era digital, dengan diawaki oleh petugas polisi siber (cyber cops) untuk melayani publik maupun mengatasi hal hal yang kontra produktif akibat dampak dari era vuca (volatility, unpredictable, complexity, ambiguity). Tatkala polisi dan pemolisiannya tertinggal daei perubahan maka tidak akan mampu mengatasi permasalah permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Ini akan sangat berdampak luas terutama hilang atau turunnya gingkat kepercayaan masyarakat.
E Policing yang pilarnya pada back office sebagai operation room, dan sentra pelayanan publik ini perlu dibangun dengan dukungan application yang berbasis pada AI untuk inputing data, analaisa data dan bisa menghasilkan produk dalam algoritma yang berupa info grafis, info statistik maupun info virtual lainnya yang bisa digunakan untuk : memprediksi, mengantisipasi, memecahkan masalah atau membongkar kerja AI yang kontra produktif. Yang dapat diakses real time, on time dan any time. Algoritma ini yang menjadi acuan pada kualitas kinerja pemolisian.
Untuk mampu mengimplementasikan E policing perlu adanya digital leadership (DL) atau pemimpin di era digital. Pemimpin di era digital memiliki model kepemimpinan yang kebijakannya mendukung untuk mewujudkan E policing yang mampu memberikan pelayanan prima kepolisian dan mendukung SPBE.
DL mau tidak mau harus memikirkan bagaimana mampu membangun aplikasi aplikasi yang berbasis AI untuk :
1.Recognize
2.Maping
3.Analyse
4.Produk dalam bentuk algoritma
5.Networking
6.Counter issue
7.Media policing
8.Pengembangan intelejen
9.Emergency maupun Contigency policing
10.Quick response
11.Index Safety and Security
12.Mengembangkan model model pemolisian yang berbasis wilayah, fungsi maupun dampak masalah
13.Menyiapkan SDM yang profesional, cerdas, bermoral dan modern
14.Menangani hoax yang menjadi senjata di era post truth ataupun serangan buzer
15.Menata keteraturan sosial di dunia virtual
16.Menangani cyber crime yang berkaitan dengan idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dsb
17.Menghadapi proxy war
18.Melindungi aset aset bangsa
19.Menjamin keamanan harta benda, jiwa raga dari citizen maupun netizen
20.Memikirkan model policing untuk mengatasi point 1 sd 19
Masih banyak hal yang menjadi tugas tanggung jawab dan fungsi dari para pemimpin di era digital. (cdl)
Tegal Parang 010924