Ilmu itu Sunatullah, Fardhu Lawan ‘Genocide’ Kolegium

TRANSINDONESIA.co |Saya bukan dokter. Juga, bukan ilmuwan kedokteran. Amba hanya praktisi hukum pengguna ilmu. Dengan ilmu menjaga otentisitas-cum-validitas (ocv) praktik penerapan ilmu. Menjaga ocv-nya, itu panggilan, berkah, “rizki”, dan kehormatan.

Hemat amba, waktu dulu mengaji di madrasah jamaiyah mahmudiyah kota Tanjungpura, diajarkan bahwa: ilmu adalah sunnatullah. Tersebab ilmu itu jujur dan tulus. Pengampu ilmu yang menjaga dan mengembangkannya adalah ……….. Silakan teman FB-ers memberi jawaban dalam kolom komentar yang tersedia. Agar posting ini dialogis dan interaktif. Pemilik komentar yang menarik amba beri hadiah buku ini: ‘Jejak Advokasi Satu IDI – Rumah Besar Profesi Kedokteran’.

Kolegium itu wadah para pengampu ilmu. Kolegium itu lembaga ilmiah yang bersifat universal. Disebut sebagai academic body, sesuai pertimbangan hukum Putusan MK No.10/PUU-XV/2017.

Ilmu adalah ilmu. Keberlakuan ilmu tanpa batasan negara pun status sosial. Ilmu beda dengan penerapan ilmu. Ilmuwan kedokteran beda dengan praktisi kedokteran. Hukum gravitasi berlaku dimana saja. Tak peduli dipakai negara apa. Ilmu bedah ya ilmu bedah. Pembedahan perlu anestesi. Bukan karena punya ilmu kebal.

Ilmu itu soal benar atau salah. Ilmu bukan soal baik atau buruk. Ilmu itu kebenaran ilmiah berbasis evidance, mandiri, tanpa conflict of interest. Ilmu terikat dengan kebenaran ilmu. Ilmu tidak terikat perintah politik. Penggunaan ilmu yang salah, jangan ilmu yang jadi terdakwa.

Ilmu tak boleh diubah dengan perintah Menteri atau keputusan politik. Aneh dan salah besar jika beleids ikhwal ilmu yang dihasilkan kolegium bisa diubah-ubah Menteri Kesehatan dengan wewenang Pasal 707 PP 28/2024. Itu norma yang tidak valid (invalid), tidak logis, represif dan otoriterian. Jika ilmu itu sunnatullah, apa nama fiqihnya nekat melawan ilmu? Siapa berani mengubah sunnatullah?

Majelis Pembaca, ikhtiar kolegium eksisting sebagai pengampu ilmu yang menjaga dan memajukan ilmu, patut dilabel amaliah utama. Patut diketahui, kolegium-kolegium eksisting itu bekerja dalam sunyi. Berbakti tidak digaji ‘on payrool’. Dan, nihil fasilitasi negara. Saya terharu.

Tanpa alasan sahih menihilkan kolegium, siapa yang t e r l a l u ? Ijinkan saya menulis diksi ‘Kolegium’ dengan ‘K’ huruf besar sejak paragraf ini. Sebab Kolegium bukan kolegium yang mutan karena intervensi penguasa.

Saat ini ada dan berkembang 38 Kolegium kedokteran. Belum lagi Kolegium kedokteran gigi, bahkan Kolegium bidan, perawat, apoteker, dan jamak profesi tenaga kesehatan.

Padahal, disadari atau tidak, Kolegium eksisting, sebutlah kolegium kedokteran itu berbakti, jangan dibaca hanya menjalankan profesi dan sumpah hipokrates mewajibkan dokter menjaga ilmu dan mengajarkannya. Namun Kolegium telah cetho welo-welo didalilkan menjalankan mandatory konstitusi. Yakni hak konstitusi memajukan ilmu dan teknologi versi Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, dan cita-cita bernegara dalam Alinia IV Pembukaan UUD 1945: memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebab itu, Kolegium mustinya dijaga, dimajukan, dilindungi, bahkan difasilitasi negara. Tentunya, tanpa intervensi. Tanpa benturan kepentingan! Bukan malah sebaliknya, Kolegium tidak diakui (unrecognized; unlawfull; ilegal) dengan memaksakan Pasal 451 UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Saya bersumpah, itu pasal yang represif dan otoriterian. Pasal transisional itu kudu dibatalkan. Dicabut sampai akar pikirnya. Pasal 451 itu ‘genocide’ Kolegium, sebut saja ‘colegiumcide’.

Kami tandang ke MK mendampingi klien pakar bedah plastik rekonstruksi estetik. Bukan hanya kuasa hukum Prof.Dr. dr. Djohansjah Marzoeki, Sp.B., Sp.BP-RE., SubSp.EL., sahaja. Pun kami happy menjadi kuasa penjaga ilmu –yang sifatnya jujur dan tulus.

Ijtihat hukum saya pekan ini, bahwa ilmu –seperti halnya ilmu kedokteran sebagai natural science– mempunyai Constitutional Legal Standing. Sebelumnya, dalam khazanah ilmu hukum lingkungan sudah established mengakui doktrin bahwa lingkungan memiliki legal standing.

Eureka, bukan hanya manusia (human being) yang melekat hak hukum, dan hak asasi (manusia). Pun, science being memiliki legal standing. Melawan penghianatan pada ilmu, bukan hanya persoalan ilmuwan kedokteran atau praktisi dokter, namun kepentingan absolut semua orang. Tatkala kolegium jadi alat kelengkapan penguasa, maka masuklah anasir non ilmu. Bisa bisnis, kausa kapital, bisa bermacam ragam kepentingan. Demi menjaga kesehatan rakyat, merawat konstitusi, ayo lawan pembegalan Kolegium. Ilmu itu sunnatullah, fardhu melawan ‘genocide’ Kolegium. CITO!

 

Advokat Muhammad Joni, SH.MH., jonitanamaslaw@gmail.com

Share