TRANSINDONESIA.co | Oleh: Irjen Pol Chrysnanda Dwilaksana
Birokrasi yang rendah literasi akan cenderung pokoknya tugas dan lalai tugas pokoknya. Yang dibangun model patrimonial dengan pendekatan personal. Pelayanan publiknya sarat dengan konflik kepentingan dan menjadi peluang untuk adanya penyimpangan dan penyalahgunaan.
Orientasinya bukan pada orientasi kerja atau melayani masyarakatnya melainkan pada bagaimana menguasai pada posisi posisi yang dianggap strategis.
Diskresi birokrasi bagai sabdo pandito ratu yang sarat dengan tekanan dan penekanan yang otoriter. Semua seakan diambil alih urusan personal dicampur aduk dalam urusan profesi sehingga yang dihasilkan kaum penjilat yang mudah diakali dan kerjanya akal akalan.
Literasi yang rendah menjadi beban birokrasi dan membuat sistem korup pendekatan personal meraja lela. Apa yang dipikirkan ada pada kewenangan, kekuasaan, yang bukan untuk melayani rakyatnya melainkan sebatas menyenang nyenangkan ndoronya.
Hal tersebut terus terbawa sampai ke golongan tinggipun masih hobi menakut nakuti dan gampang ditakuti. Belum mati saja sudah jadi hantu yang kerjanya menakut nakuti, berujung pada extortion maupun bribery.
Senang dengan hal ilegal semua dianggap pasar dan semua yang berkaitan dengan sumber daya akan ditransaksionalkan “wani piro, oleh piro?”.
Birokrasi literasi rendah kinerjanya pokoknya tugas jauh dari profesional, cenderung menjadi KKN. Pendekatan personal dalam birokrasi patrimonial akan terus dibangun klik (clique).
Reformasi tidak sebatas struktural maupun instrumental melainkan secara kultural. Reformasi birokrasi landasannya literasi. Membangun literasi merubah mind set dari old mind menjadi new mind.
Kaum old mind biasanya mendominasi dan mati matian mempertahankan status quo karena mereka takut kehilangan previlednya.
Kaum rendah literasi kerja seakan keras melampaui batas tetapi hasilnya tidak nampak karena tidak menemukan keutamaannya dan sebatas pragmatis.
Kaum rendah literasi mengobati ala balsem, sehatnya temporer dan kerja ala fire brigade atau pemadam kebakaran.
Membangun literasi dalam birokrasi bagai putri duyung yang mendamba. Putri duyung ada dua golongan, golongan manusia dan golongan binatang. Ia ingin merubah ekornya menjadi kaki manusia, tetapi bagaimana. Ia sadar manusia mengikuti binatang itu gila. Binatang ikut manusia tidak mungkin. Kalau dipotong mati.
Membangun literasi birokrasi setidaknya dari lembaga pendidikan khususnya bagi calon pemimpin, karena para pemimpin akan menjadi agen perubahan.
Mereka bukan ekor melainkan kepala. Pemimpin itu pemikir bukan manut ala unthul munyuk yang ala kerbau dicocok hidungnya. Kritis dan berani memperjuangan kejujuran, kebenaran dan keadilan.
Kaum rendah literasi akan sulit diajak berpikir maju karena kemampuannya sebatas menjilat ke atas dan menyepak ke samping, serta menekan ke bawah.
Otw 240524