Pemilu: Eling lan Waspada ” bagi Indonesia Maju

TRANSINDONESIA.co | Memahami Pemilu yang cerdas adalah Pemilu yang juga” begja” atau bahagia. Apa yang diajarkan Ki Ageng Suryo Mentaram sangat kompleks bahkan multi tafsir, mengenai begja atau bahagia, sejatinya ada panduan panduan untuk memahami dan mengimplementasikannya. Begja dapat dipahami sebagai jiwa bahagia yang bukan karena terpenuhinya nafsu atau hasratnya melainkan ada kesadaran tanggung jawab dan disiplin dalam proses hidup dan kehidupannya. Dengan demikian setiap peristiwa merupakan proses dan ada kenikmatan yang disadarinya patut untuk disyukuri termasuk proses Pemilu. Konteks begja bisa dikaitkan dengan Pemilu yang para penyelenggaranya dan konyestannya penuh kesadaran yang selalu ingat dan waspada (eling lan waspada) bahwa tujuannya adalah menuju Indonesia maju. Proses Pemilu bisa saja ditunggangi berbagai kepentingan yang demi memenuhi hasratnya tega melakukan jebakan tipu daya yang melalaikan hakekat pesta budaya suksesi kepemimpinan dalam masyarakat yang modern dan demokratis. Tatkala proses Pemilu yang eling lan waspada maka akan mampu menghilangkan anarkisme, mengcounter hoax di era post truth dan tetap mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kejumawaan dalam proses Pemilu tanda lemahnya logika dan marasuknya emosional yang mengabaikan moralitas maupun etika politik. Kejumawaan muncul akibat ketamakan dan merasa semua bisa dikuasai, bisa diatur, bisa mengendalikan, pendekatan dengan uang atau materi seakan tiada lagi harga diri dan semua bisa dibeli, di sana sini penuh puja puji, semua orang tunduk takluk dan takut akan kuasa dan kekayaannya. Itu semua meracuni dan mencandui jiwa untuk jumaya dan terseret dalam berbagai penyimpangan, penyesatan dan ketidak adilan, ketidakbenaran hingga menabur kebencian. Walaupun segala urusan dunia ada namun hati dan jiwanya jauh bahkan tidak pernah bahagia. Senantiasa sarat dengan kekhawatiran, ketakutan hingga keserakahan. Tidak ada rasa puas, tidak ada rasa syukur yang ada hanyalah kurang ini kurang itu, menyalah nyalahkan dan terus saja menuntut bahkan tak jarang menghakimi.

Ki Ageng Suryomentaram mengingatkan dan mengajarkan “ilmu begja” dalam gaya hidup sederhana. Sifat yang diikuti sikap untuk semeleh (tenang damai dan penuh rasa syukur). Menikmati hidup dan kehidupan dengan penuh rasa syukur. Hidup bahagia ditemukan dalam proses yang mampu menasehati keinginan: hai keinginan engkau setelah terpenuhi akan tetap menyusahkanku dengan munculnya keinginan keinginan baru.

Kejujuran, kebenaran dan keadilan seringkali diabaikan, disepelekan. Bener dianggep ora pener. Bener yen ora umum iku salah semono ugo salah yen wes umum dianggep bener. Jujur benar dan adil bisa saja menyakitkan dan menimbulkan penderitaan bahkan kematian, karena dianggap duri dalam daging. Kejumawaan pintu kejahatan. Bisa saja demikian kaum mapan yang nyaman dan menikmati berbagai hak istimewa akan tersengat atau terusik dengan kejujuran kebenaran dan keadilan. Lihat saja kisah Mahabarata, di mana kaum Kurawa yang dipimpin Duryudana penuh ketamakan, kejumawaan, melakukan bernagai tipu daya untuk memenuhi napsunya. Sebaliknya Pandawa yang dipimpin kakak tertuanya Yudistira senantiasa menerapkan sifat dan sikap ksatria, yang berbudi luhur, jujur berjalan di jalan yang baik dan benar dan bersikap adil.

Begja tatkala berbasis kesadaran maka apa yang nampak adalah panggilan jiwa, ketulushatiannya bukan kepura puraan bukan pamrih. Begja bahagia sejati yang bisa di miliki siapa saja, bagi kaum miskin papa sekalipun bisa. Siapa saja yang bertahan dan mampu serta kuat dalam prosesnya maka begja akan mengakar dalam jiwanya.

Pemilu yang cerdas dan waras akan selalu eling lan waspada akan mampu menunjukan pemilu damai penuh suasana aman nyaman yang mampu merawat kemanusiaan, keteraturan sosial dan peradaban bagi Indonesia maju. (Chrysnanda Dwilaksana)

 

Lembah Tidar 211123

Share