Bharata Yudha Refleksi bagi Pemimpin dan Kepemimpinannya
Siapa saja yang salah akan mati di dalam Bharata Yudha.
TRANSINDONESIA.co | Basudewa Krisna awatara Wisnu tahu apa bagaimana hingga mengapa perang besar Bharata Yudha terjadi. Krisna berperan sebagai penengah, juru damai namun malah seringkali menjadi pihak yang dipersalahkan terjadinya perang besar Barata Yudha. Dewa Wisnu menitis ke dunia karena ada sesuatu misi menegakan kebenaran dan keadilan.
Demikian halnya dengan Krisna melihat ketidakadilan, ketamakan, kejumawaan dan amarah para pemimpin atau raja raja terutama Hastina Pura yang dipelopori Duryudana (kakak tertua Kurawa). Krisma memiliki kemampuan melihat masa depan, mampu menghentikan waktu bumi berputar dan mampu membuat strategi. Namun takdir menentukan “Sopo Salah Seleh” siapa salah harus dihukum.
Siapa saja yang salah akan mati di dalam Bharata Yudha. Akar masalah dari perang Baratayudha antara lain :
1. Keserakahan yang terus turun temurun. Dari dewi Setyawati, Destrarata, Gandari, Sangkuni hingga Duryudana dan para Kurawa.
2. Sikap iri hati terhadap prestasi
Pandawa dan ingin merampas hak Pandawa sehingga ingin mencelakakan sampai membunuhnya.
3. Kejumawaan Duryudana yang menimbulkan rasa dendam mendalam sejak usia kanak kanak.
4. Cinta buta dari Raja Destrarata dan Dewi Gandari serta Sangkuni yang memanjakan hingga memabukan para Kurawa menjadi jumawa, tamak dan amarah
5. Bisma yang Agung yang bersumpah membela dan menjaga tahta Hastinapura namun terbelenggu Duryudana. Ia seakan mau tidak mau membela yang salah
6. Guru Durna yang mengejar materi dan keduniawian bagi membahagiakan Aswatama anaknya sehingga terjebak pada hasutan Sangkuni dan Duryudana
7.Dendam Karna kepada para Pandawa terutama kepada Arjuna. Yang dimanfaatkan Duryudana sehingga terjebak pada sumpah dan janji persahabatanya.
8. Pembakaran Pandawa dan ibu Kunti di istana Warnabrata menimbulkan luka batin dan dendam Pandawa untuk merebut kembali tahta Hastina Pura
9. Kekalahan Pandawa dalam permainan dadu akibat kelicikan dan tipu muslihat Sangkuni yang berdampak pelecehan terhadap Drupadi maupun para Pandawa yang berdampak pada pengasingan Pandawa selama 12 tahun dan penyamaran selama 1 tahun.
10. Sumpah Drupadi yang mengutuk dan dendam terhadap Kurawa.
11. Sumpah Bima untuk membalas dendam dan menumpas seluruh kurawa
12. Penghinaan terhadap Basudewa Krisna yang menjadi duta perdamaian yang ditolak Kurawa
13. Karma atas kutukan atas para tokoh tokoh Kurawa dari Bisma yang Agung dikutuk dewi Amba, Guru Dorna dikutuk Bambang Palgunadi, Raja Angga Karna dikutuk guru dan seorang Resi, Raja Salya dikutuk mertuanya, Jayadrata yang dikutuk sejak kelahirannya mati di tangan Krisna, Duryudana, Dursasana, para Kurawa yang banyak sekali menerima kutukan
Kisah Bharata Yuda ini merupakan refleksi bagi para pemimpin dalam kepemimpinannya. Para pemimpin mengalami perang dengan dirinya dan orang orang yang dilayaninya apakah menang dan menjadi bijaksana atau harus hanyut ditumbangkan dan membawa kehancuran akibat ulah Sengkuni Sengkuni yang menghasutnya.
Sengkuni terkenal kepiawaiannya dalam mengolah strategi, ini analogi bagaimana para broker, para mafia/ preman birokrasi mengaduk aduk sumber daya dan mempengaruhi kebijakan sang pemimpin untuk tidak bijaksana. Kekuatan para broker dan mafia birokrasi sangat luar biasa bahkan para pemimpin bisa sungkem dan menjadi kecil di hadapam mereka. Karena mereka mampu menyenang nyenangkan sampai memanfaatkan para pemimpin.
Pemimpin yang sejatinya memang untuk menumpas angkara murka malah menjadi penyulut angkara murka demi membalas budi. Jiwa sang pemimpin adalah jiwa merdeka karena kompetensinya dan takdirnya. Tatkala pemimpin karbitan, produk hutang budi ia tidak akan mampu berdikari dan sibuk membalas budi, lupa kepada rakyatnya dan datanglah supata serta karma. Para pemimpin sejatinya tidak punya sahabat, ia hanya punya penjilat, yang memabukan dan membuat jumawa serta lupa akan keutamaannya.
Kisah dalam perang Bharatayuda banyak strategi untuk menumbangkan satu persatu pemimpin di pihak Kurawa maupun Pandawa dihukum mati dalam peperangan. Para pemimpin dengan kepemimpinannya lupa kalau apa yang dimilikinya titipan rakyat dan Sang Maha Kuasa, semua seolah aku dan membanggakan otoriter dan patrimonialnya. Parahnya lagi membangun klik, kroni dan lingkaran lingkaran seakan strategi “Cakrayugha” yang berlapis lapis dan sulit ditembus, kecuali lewat para Sengkuni.
Sumber daya akan terus dipuja diperebutkan dan menjadi simbol kejayaan berbagai cara dihalalkan untuk mendominasinya. Di dalam birokrasi sumberdaya dijadikan arena pengaritan (KKN), sehingga kekuatan dan kekuasaan disakralkan dan dibuat labirin cakrayugha harapannya jalur jalur sumber daya dikuasai dan menjadi stratifikasi sosial. Moralitas dalam kejujuran, kebenaran dan keadilan terabaikan. Relasi kuasa tatkala di tangan orang yang bewatak Kurawa akan digunakan sebagai higemoni dan bersekutu dengan oligarki menjajah rakyatnya atas nama ini itu dengan berbagai pembenarannya.
Moralitas kunci memegang kekuatan dan kekuasaan agar bermanfaat bagi para pemimpin dalam kepemimpinannya, agar patriotisme terhadap kepentingan dan pencapaian tujuan bangsa dan negara berdaulat berdaya tahan berdaya tangkal bahkan berdaya saing terwujud. Para pemimpin bukan hidup di Surga atau neraka, mereka masih menginjak bumi, walaupun tidak ada yang sempurna namun setidaknya memiliki kesadaran dan terus menerus berupaya mencerahkan dan menyadarkan akan Dharma dan Karma. Sehingga para pemimpin dalam kepemimpinannya sangat paham bahwa :” Kekuasan simbol kejayaan sekaligus simbol kejumawaan dan bisa disalahgunakan untuk pemenuhan kepentingan pribadi atau golongan yang merusak dan menyengsarakan rakyatnya”.
Seringkali pengatasnamaan menjadi legitimasi dan justifikasi dengan memanfaatkan berbagai kekuatan dan kekuasaan termasuk kesucian kaum beriman untuk mencapai tujuan. Pembenaran dan saling membuli menjadi sesuatu yang terus dilakukan walau merusak peradaban. Sivis pacem parabelum. Kalau mau berdamai harus siap berperang. Hidup dalam suatu peradaban diperlukan kemampuan dan kekuatan untuk memahami, membatasi, empati, peduli, saling menghormati, dan mampu saling menghidupi. Kekuatan siap berperang untuk menjaga agar hidup dan kehidupan walau memerlukan peradaban dan kemampuan bertahan hidup namun juga menumbuh kembangkannya.
Tatkala para pemimpin ini tergolong kaum karbitan dan anak emas kaum di zona nyaman maka tidak akan mampu untuk menjadi patriot, karena tidak mampu memahami akan dampak hancurnya suatu peradaban bangsa. Para pemimpin sejati, ia sadar bahwa manusia adalah mahkluk paling lemah sekaligus paling kuat dan sebagai aset utama bangsa. Dialog menjadi kekuatan pemimpin untuk mengatasi berbagai permasalahan untuk mencari akar masalah dan menemukan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak. Di samping itu, para pemimpin juga dituntut sudah selesai dengan dirinya, memiliki kepercayaan diri, kemampuan bekerja keras dan bekerja cerdas, untuk hidup dan kehidupan rakyat yang dipimpinnya. Chrysnanda Dwilaksana
Lembah Someah 060623