Mindset Sespim Lemdiklat Polri

TRANSINDONESIA.co | Oleh: Irjen Prof. Chrysnanda Dwilaksana

Sespim Lemdiklat Polri (Sespim) sejatinya sekolah moral. Pemimpin itu mentalitas bukan karena yang terbesar, bukan yang terkuat, bukan yang paling cerdas. Mentalitas yang berbasis moralitas inilah yang semestinya dibangun sehingga siapa saja yang sekolah di Sespim tercerahkan.

Berbagai isu yang menjadi perdebatan ya memang itu itu saja dari tahun ke tahun setidaknya mencakup antara lain:

1. Tata cara penulisan
2. Membahas cara yang mengabaikan tujuan
3. Para pengajar inginnya menilai mengoreksi (identik otoritarian yan bisa berdampak pada kejahatan dalam pendidikan)
4. Para staf, senior dan para guru merasa paling benar dan paling tahu akan Sespim dan apa yang dikatakan seakan sesuatu yang sakral dan tidak boleh dipertanyakan apalagi dibantah
5. Moralitas dimulai dari niatnya ( bukan mencerahkan malhan sebaliknya, mempersulit)
6. Panduan panduan atau pedoman pedoman yang ada dijadikan kitab suci yang harus diikuti walaupun tidak rasional dan mempersulit
7. Peserta didik menjadi takut dan malas bahkan lelah berpikir akibat kurikulum ala sapi glonggong sehingga berdampak adanya out sourching dalam penugasan dan banyak hal lainnya
8. Ranking yang berefek luas hingga transaksional dan dipuja puja walau sarat tipu daya dan akal akalan
9. Kekerasan simbolik yang berkembang luas hingga menjadi kebiasaan pasar tawar menawar transaksional
10. Yang dipentingkan ijasah dan memenuhi syarat untuk menduduki jabatan strategis.

Masih banyak hal yang mungkin terjadi dampak mentalitas dan moralitas yang mengakar. Tatkala ada perubahan pasti gerundelan dan pembenaran pembenaran bermunculan. Core value yang ideal dengan aktual berbeda bahkan bertentangan.

Pembelajaran yang tidak mencerahkan dan tidak mencerdaskan semestinya tidak lagi dipertahankan. Termasuk cara penulisan yang menurut saya akan lebih tepat ditulis dengan : Singkat, padat, ada kebaruan dan pembaharuan, membawa manfaat, Jelas apa yang akan ditunjukan, apa, mengapa dan bagaimana langkah apa dan jelas pengkategoriannya. Jelas modelnya, jelas pendekatanya. Di era digital singkat padat jelas langsung pada intinya, proaktif dan problem solving sart novelty dan tidak mbulet.

Keberanian berpikir menyampaikan ide /gagasan apa dapat disampaikan dengan model secara holistik.  Di era digital disrupsinya berdampak luas dari pencerdasan pembodohan hingga mengaduk aduk emosi publik bisa dilakukan. Informasi membanjir begitu cepat dan entah akurat atau tidak semua campur aduk. Tatkala para pemimpin tidak mampu atau tidak tahu maka kebijakannya tidak proaktif dan tidak menyelesaikan masalah.

Era digital hingga era kenormalan baru gangguan yang kontra produktif by design, dirancang sedemikian rupa menggunakan cara apa saja meracuni dan merusak logika.

Kemampuan para pemimpin dalam menghadapi situasi emergency dan contigency dimulai dari kemampuan:

1. Membuat kategori
2. Memahami makna di balik gejala atau fakta atau fenomena
3. Berpikir holistik atau sistemik
4. Berpikir model
5. Berpikir konseptual dan teoritikal
6. Melihat apa pendekatannya

Cara berpikir di atas bukan dihafal ttp menjadi habitus baru dalam berpikir, berbicara maupun menulis. Informasi membanjiri media dan tatkala  tanpa kemampuan menganalisa maka akan menjadi sampah. Informasi di era digital memerlukan kemampuan menangkap algoritma yang menjadi pola atau modelnya.

Tatkala dituntut singkat padat cepat membawa manfaat disinlah kemampuan mengabstrasikan menjadi penting untuk menunjukan mengapa apa dan bagaimana. Dalam berpikir analisis adalah dimulai daei mampu menghubung hubungkan antar fenomena dan mengabstraksikan atau berpikir secara konseptual atau teoritikal untuk menemukan prinsip prinsip yang mendasar dan berlaku umum dalam menjelaskan suatu fenomena. Agar tidak terjebak pada labirin berpikir pragmatis atau teknis lapangan semata. Sedangkan beerpikir strategis adalah dengan pendekatan pandangan dari helikopter view. Maksudnya ke depan kebelakang ke samping ke bawah ke atas dapat dilakukan. Informasi yang ditampilkan menjadi semacam gaya atau trend baru. Apa saja yang diinginkan tercover. Dari religi tradisi hobi komuniti pelayanan publik semua ada.

Pemimpin di era digital dituntut melek teknologi. Teknologi telah merubah situasi dan membuat manusia terhanyut misalnya dengan media sosial, penggunaan gadget sebagai power on hand. Kembali pada kompetensi yang menjadi habitus baru para pemimpin di era digital dapat dikatakan kemampuan untuk memahami, mengkategorikan, menghubung hubungkan atau mengkonstruksi, membuat model dengan dasar pemikiran yang holistik dan sistemik.

Dengan demikian tatkala dituliskan singkat padat mampu menunjukkan esensinya fondasinya bahkan akarnya yang boleh dikatakan sebagai prinsip prinsip yang mendasar dan berlaku umum. Kemampuan mengabstraksikan ini sebanarnya kemampuan berpikir analisis atau bekerja dengan konseptual teoritikal melalui algoritma dan mampu memahami makna dan menjabarkannya apa yang ada di balik fenomena atau gejala atau fakta. Tatkala kemampuan itu tiada maka para pemimpin mabuk informasi dan terengah engah menghadapi disrupsi yang cepatbdan berdampak luas.

Sespim merupakan sekolah bagi calon pemimpin masa depan. Pemimipin itu berkerja dengan O2H ( otak otot dan hati nuraninya ), sejalan dengan apa yang dikatakan Prof Satjipto Rahardjo. Pemimpin selain bermoral juga dituntut mampu menyampaikan pemikirannya di dalam tulisan.

Tulisan bagi pemimpin adalah model dari upaya mewujudkan mimpinya menjadi kenyataan. Atau model yang proaktif dan problem solving dalam mengatasi masalah emerjensi maupun kontijensi. Tulisan tulisan para pemimpin merefleksikan kepekaan, kepedulian, dan belarasanya akan kemanusiaan, keteraturan sosial dan peradaban. Sejalan dengan keutamaan polisi yang diwujudkan sebagai Penjaga Kehidupan, Pembangun Peradaban sekaligus Pejuang Kemanusiaan.

Polisi bekerja dalam ranah birokrasi dan ranah masyarakat, benang merahnya itulah yang dikatakan pemolisian. Policing ( pemolisian ) merupakan segala upaya kepolisian pada tingkat manajemen maupun operasional, dengan atau tanpa upaya paksa untuk mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial.

Dengan demikian spirit polisi dalam pemolisiannya  secara manajerial maupun operasional untuk kemanusiaan, leteraturan sosial dan peradaban. Dalam konteks Presisi dapat dijabarkan dengan konsep PCBM ( profesional, cerdas, bermoral dan modern) dalam memberikan pelayanan kepada publik.

Pelayanan kepolisian kepada publik mencakup:

1. Pelayanan keamanan
2. Pelayanan keselamatan
3. Pelayanan hukum
4. Pelayanan administrasi
5. Pelayanan informasi
6. Pelayanan kemanusiaan

Standar pelayanan kepolisian kepada publik dituntut prima, yang dapat dipahami sebagai pelayanan yang: cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses. Polisi dalam menegakan hukum adalah demi semakin manusiawinya manusia, yang merupakan upaya membangun peradaban agar terwujud dan terpeliharanya keteraturan sosial.

Konteks inilah yang dikatakan tujuan pemolisian adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan terjaminnya keamanan dan rasa aman serta terwujudnya keteraturan sosial. Pola pola pemolisian bisa dikembangkan sesuai dengan corak masyarakat dan kebudayaannya yang berbasis wilayah, berbasis fungsi dan berbasis dampak masalah.

Model pemolisian dapat dibuat sebagai acuan pengembangan kualitas kepemimpinan, infrastruktur dan model modelnya sbb:

1. Model pemolisian yang berbasis wilayah :
a. Border policing (pemolisian di kawasan perbatasan)
b. Maritime policing (pemolisian di kawasan maritim atau kepulauan atau kawasan pantai)
c. Industrial policing (pemolisian di kawasan industri)
d. Disaster policing (pemolisian di kawasan rawan bencana)
e. Bisa dikembangkan dari model orientasi kegiatan masyarakatnya (community oriented policing) pada masayarakat perkotaan, pertanian, nelayan, perkebunan, buruh, dsb.
2. Model pemolisian yang berbasis pada fungsinya : fungsi utama, fungsional maupun fungsi pendukung sbb:
a. Road safety policing ( pemolisian berbasis pada road safety atau lalu lintas
b. Paramilitary policing, model pemolisian ala paramiliter
c. Cyber policing, pemolisian dalam memberikan pelayanan secara virtual
d. International policing, pemolisian internasional seperti : pasukan misi perdamaian PBB, laision officer, hubungan kerjasama internasional dalam penanganan kejahatan, studi banding dan pertukaran kemampuan polisi, dsb
e. Emergency policing, model pemolisian menghadapi situasi kegawat daruratan
Dsb
3. Model Pemolisian yang berbasis dampak masalah :
a. Democratic policing
b.Electronic policing, pemolisian secara elektronik yang merupakan model pemolisian di era digital atau era revolusi industri 4.0
c. Forensic policing sebagai model pemolisian di era kenormalan baru,
dsb.

Memahami polisi dan pemolisiannya dari model di atas adalah secara holistik atau sistemik yang tidak dipahami secara parsial.

Polisi dalam pemolisiannya dalam bertindak tegas sekalipun spiritnya tetap untuk: 1. melindungi, 2. mengayomi dan 3. melayani agar ada keteraturan sosial. Hal ini menunjukan bahwa manusia adalah aset utama bangsa maka di situlah hakekat pemolisian untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa

Polisi dengan pemolisiannya dalam menegakan hukum untuk:

1. Menyelesaikan konflik atau masalah dengan cara yang beradab
2. Mencegah agar konflik meluas atau semakin besar
3. Melindungi mengayomi melayani korban dan pencari keadilan
4. Membangun budaya tertib
5. Adanya kepastian
6. Edukasi

Keberhasilan pelakasanaan tugas polisi dengan pemolisiannya bukan semata mata pada pengungkapan perkara namun juga dilihat dari keteraturan sosial dan tingkat kepercayaan publik serta kualitas pelayanannya.

Polisi dalam pelayanannya kepada publik merupakan ikon atau simbol: kemanusiaan, peradaban dan keteraturan sosial. Polisi dalam pemolisiannya dilihat dari tingkat : profesionalismenya, kecerdasannya, moralitasnya dan modernitasnya.

Membangun kepolisian yang profesional, cerdas, bermoral dan modern dapat dibangun melalui:

1. Pembangunan pendidikan yang berlandaskan kesadaran, tanggung jawab dan disiplin
2. Kepemimpinan yang tranformasional
3. Keteladanan
4. Penanaman nilai nilai kemanusiaan, peradaban dan keteraturan sosial
5. Membangun infrastruktur dan sistem sistemnya yang berefek pada budaya malu dan kualitas pelayanan publik yang prima.

Polisi melalui pemolisiannya merupakan bagian bahkan refleksi dari masyarakat yang dilayaninya

Di era kenormalan baru model pemolisian dapat dikembangkan melalui smart policing. Smart policing mengharmonikan dan dapat menyatukan antar model pemolisian (policing). Siap memprediksi, menghadapi, merehabilitasi berbagai permasalahan yang mengganggu keteraturan sosial.

Model pemolisian yang mampu berfungsi untuk lingkungan dan berbagai masalah konvensional, era digital, permasalahan yang berkaitan dengan forensik kepolisian. Dapat diimplementasikan tingkat lokal, nasional bahkan global. Mengatasi berbagai gangguan keteraturan sosial yang by design. Mengatasi keteraturan sosial dalam dunia virtual. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan publik secara prima dalam one stop service. Prediktif, proaktif dan problem solving. Menjembatani dan mengatasi dalam berbagai situasi dan kondisi emerjensi maupun kontijensi. Diawaki petugas polisi yang profesional, cerdas bermoral dan modern.

Tulisan para pemimpin proaktif dan problem solving dikaitkan dengan model pemolisian dalam menghadapi fakta brutal, kondisi krisis maupun emerjensi. Mengingat potensi konflik yang besar dalam masyarakat majemuk Indonesia, yang berada dalam kawasan ring of fire atau kawasan rawan bencana.Emergency Policing merupakan model Pemolisian Transplantasi sebagai penjaga, pengamat, jembatan penghubung, pelatih, back up system dsb, hingga yang diback up dapat berfungsi kembali.Pola-pola pemolisian secara managerial setidaknya mencakup: 4 unsur:
a. Kepemimpinan,
b. Administrasi ( SDM, perencanaan dan program-program, sarana, prasarana dan anggaran),
c. Operasional,
d. Capacity building.
Implementasinya dapat mengacu pada  community policing/ polmas . Di back up dengan sistem-sistem online yang berbasis elektronik . Personilnya  bersifat ad hoc meruoakan gabungan dari berbagai fungsi maupun antar wilayah. Perkantoran dengan membangun tenda-tenda lapangan, kontainer atau memanfaatkan tempat-tempat/ lokasi yang biasa diberdayagunakan. Membangun posko-posko sebagai pusat K3i yang berisi peta-peta dan jaringan-jaringan  elektronik  maupun  kontak- kontak person. Dapat dibuat pengkategorian : Merah : Rawan dua, Kuning : Rawan satu, hijau : kondisi normal. Model pergeseran  pasukan untuk back up kontijensi dengan peta rute dari dan ke lokasi sasaran dengan berbagai alternatifnya.
Pemberdayaan teknologi indormasi dan komunikasi. Kesiapan Logistik, transportasi darat, laut maupun udara, ambulans, untuk evakuasi dan bantuan kemanusiaan. Rumah sakit lapangan dan perlengkapan, obat obatan dan tenaga medisnya. Operasionalnya dapat menerapkan model Asta Siap. Siap : Posko, Piranti Lunak, model penanganan lapangan, siap mitra, jejaring, personil, logistik, anggaran.

Tulisan pemimpin bukan tulisan yang digolongkan captive mind ( otak terbelenggu ), bukan juga pengecer teori, produk hafalan mati kering tanpa imajinasi. Tulisan para pemimpin sejatinya merupakan :
1. Model berpikir yang merdeka, kreatif, imajinatif, proaktif dan problem solving.
2. Upaya upaya mewujudkan mimpinya menjadi kenyataan
3. Kreatif dan inovatif dslam kondisi krisis yang penuh hambatan tantangan dan keterbatasan.
4. Berani menyatakan kabaikan dan kebenaran dalam pemilihan kata dan penyusunan kalimat yang efektif dan tidak berbelit belit.
5. Ada kebaruan dan merupakam suatu pembaruan.
6. Dapat dipertanggungjawabkan : secara moral, secara akademik, secara fungsional dan secara sosial.
7. Bukan menyalahkan atau mencari kesalahan melainkan belajar dari kesalahan.
8. Dapat diimplementasikan dalam penyelenggaraan tugas dalam berbagai situasi.
9. Mampu menulis secara konseptual maupun teoritikal yang ditunjukan dalam prinsip prinsip mendasar dan berlaku umum.
10. Mewujudkan keamanan dalam negeri yang mendukung pembangunan nasional. **

Fajar Tegal Parang 050623

Share
Leave a comment