The end of bureaucracy dan Nyali Sang Pemimpin

TRANSINDONESIA.co | Oleh: Chrysnanda Dwilaksana

Pepatah Jawa mengatakan : “Tunggak Jarak Mrajak Tunggak Jati Mati”

Pohon jarak nampak rapuh, penuh getah, namun berapa kali dipatahkan atau ditebang sekalipun akan tetap hidup kembali. Sebaliknya pohon jati yang begitu kuat, dipangkas atau ditebang ia akan mati. Pepatah “Tunggak Jarak Mrajak, Tunggak Jati Mati”, mengingatkan kita semua bahwa mengandalkan kekuatan manusia atau dunia dengan pangkat, jabatan, kekuasaan, kekayaan, kepandaian sekalipun ada kelemahannya. Seperti pohon jati ditebang kemuadian mati. Sebaliknya orang yang biasa biasa saja nampak lemah bahkan tanpa pangkat, jabatan, kekuasaan maupun kepandaian sekalipun, tatkala dalam belas kasih Yang Maha Kuasa akan terus hidup tumbuh dan berkembang, sekalipun ditebang. Itu menunjukan bahwa “fox populi fox Dei”, suara rakyat, suara Tuhan. Sekalipun dilecehkan dilemahkan, dimarginalkan bahkan dimatikan kehidupannya sekalipun tetap akan ada.

“Ratu iku anane mung winates, kawulo tanpo winates”. Kekuasaan itu terbatas dan amanat dari rakyat. Alangkah durhaka dan durjananya tatkala yang diberi amanat malah berkhianat. Jumawa semau maunya seakan semua milik pribadinya, merasa sebagai matahari yang mempunyai segala sumber energi. Semua sumber daya dieksploitasi digunakan bagi diri dan kroninya. Mereka yang demikian lupa, orang Jawa mengatakan lali. Lali dalam bahasa jawa dikatakan gila karena tidak waras. Kaum gila kekuasaan, jabatan biasanya lali jiwa dan menghalalkan segala cara. Pikiran perkataan dan perbuatannya tak jauh dari harta, wanita, tahta.

Para pemimpin seringkali dianalogikan sebagai golongan kaum tinggi pangkat derajat dan kastanya kuat dalam dunia namun sekali sengat terkapar hingga menggelepar gelepar. Kuasa membutakan membuat lupa karena dipuja dihormati di sana sini, sehingga lupa diri. Rasa dirinya mematut sebagai malaikat maut, dewa yang berkuasa, lupa dunia ini fana. Menginjak sana sini, tabur pesona dengan kata kata manis dan mulia namun penuh bisa. Tak akan ada sesuatu yang dikata bijaksana, adanya mengancam, memerintah, marah bagai hantu blau mengerikan bagi siapa saja di bawahnya. Sebaliknya untuk melanggengkan kuasanya rela menjilat ke atas bagai ular dengan lidah bercabangnya. Gaya katak berenangpun dilakukan menginjak ke bawah, menyepak ke samping dan menjilat ke atas. Semakin tinggi semakin tidak rukun, smakin tidak solid, baperan, mudah terluka dan mudah melukai engan instropekdi diri terus menerua mengembangkan dendam dan iri dengki. Tak ada lagi sahabat yang ada hanya penjilat. Di sinilah ditunjukkan tunggak jati mati.

Sebaliknya kaum rendahan, kaum biasa bahkan rakyat jelata yang biasa menderita, justru memiliki empati, kepekaan kepedulian dan bela rasa. Mereka tulus hati tanpa kepentingan. Bersahabat ketawa ketiwi, cuawakan tanpa jaim, berbagi apa saja nyah nyoh. Solid dan rukun. Slow tidak baperan, terbuka, jujur dan guyub saling membantu. Sahabat sejati, bagai bersaudara seumur hidup. Setia kawan pun ditumbuh kembangkan. Di sinilah sejatinya tunggak jarak mrajak.

Pemimpin dan kepemimpinannya  akan berdampak pada institusi yg dipimpinnya entah itu mrajak atau sebaliknya mati. ” the right man in the right place” ini yang seringkali diabaikan karena kepentingan kelompok atau pridadi, mengutamakan pendekatan personal lupa akan kompetensi. Birokrasi dan birokratnya bagai kerupuk melempem tatkala pendekatan personal meraja lela. ” jabatan basahbdan kering menjadi tanda KKN bagai diaspora merajalela”. Yang punya kuasa bagai naga yang tak tersentuh bahkan diberi hak prerogatif ( yang sejatinya hak untuk jabatan politik).

Birokrasi oleh Max Weber dibangun secara teoritikal dan konseptual untuk adanya pembagian tugas agar pelayanan kepada publik secara prima dapat diakomodir dan dilaksanakan secara signifikan oleh masyarakat. Fakta perkembangan dan perubahan dari yang ideal dengan yang aktual menjadi berbeda bahkan bertentangan, akibat keutamaan disimpangkan oleh para birokrat yang mengawaki birokrasi. Mereka menciptakan diskresi birokrasi yang menjadi core value, dalam bentuk lisan tidak tertulis bahkan dijabarkan dalam kesepakatan kesepakatan. Ujung ujungnya ngarit, mempersulit, menjadi pemalak dan pemeras memberikan pelayanannya. Orang orsng yang diberikan kesempatan menjabat dibuat seperti hutang budi dan mereka merasa hutang budi dan memiliki kewajiban membayar budi dengan memberikan ” buluh bekti glondong pangareng areng”. Air mengakir dari bawah bukan dari atas. Apa yang dilakukan dengan pendekatan personal lambat laun menjadi habitus baru bagi para birokrat. Core value birokrasi bergeser dari kepuasan publik mjd kepuasan para ndoronya. Gaya feodalisme lambat laun kembali dominan dan mendominasi. Gaya hidup para birokrat dan ndoronya mjd konsumtif hedonisme. Posisi basah dan kering menjadi pemujaan kaum birokratnya.

Kondisi demikian birokrasi seakan sebuah pasar pelayanan yang ada tawar menawar ingin cepat ingin mudah ya bayar. Kalaupun tidak membayar maka akan berusaha mencari memo atau katebelece dari ndoro yang di atasnya. Birokrasi model demikian merupakan birokrasi patrimonial. Berlaku lagi “sabdo pandito ratu” apa kata ndoronya itulah yg benar. Pendekatan personal kepada yang memiliki kuasa secara personal menjadi gaya yang diidolakan. Gaya katak dengan menjilat ke atas, menyepak ke samping dan menginjak ke bawah terus dilakukan, persetan orangblain susah karenanya.   Gaya personal Tentu saja mengalahkan gaya impersonal yang berbasis kompetensi dan produktifitas.

Kaum birokrat yang punya cantelan ndoro di atas akan terus melejit walau tidak jelas kompetensi maupun prestasinya selalu berada di zona aman, nyaman, mapan, terlindungi. Pendekatanya uang dan bukan kerja, loyalitas kepada ndoronya yang bisa memberikan perlindungan dan penyayoman pada posisi jabatan basah tadi. Loyalitasnya pada personal bukan kepada rakyat yang dilayaninya. Siapa sering sungkem dialah birokrat kelas wahid walaupun sebagai koordinator penyimpangan atau putor , pemungut dan penyetor. Tak heran bila kompetensi para birokratnya sebatas putor saja kalau dianalogikan ya sebatas kekuatan kerupuk. Yang sekali remas hancur dan didiamkan terkena anginpun akan melempem.

Pendekatan secara personal membutakan bahkan mematikan profesionalisme. Cara manual parsial dan konvensional akan terus  dipertahankan bahkan dijaga oleh para cantrik mafia birokrasi. Siapa saja yang menentang apalagi melawan akan dimatikan kariernya bahkan bisa hidup dan kehidupannya. Ndoro ini pun tidak langgeng ada masanya layu bahkan lapuk dan dicampakkan. Para kaum loyalis ndoro ini akan berlompatan lari tunggang langgang mencari ndoro baru yang berkuasa akan  numpang makan atau nunut mulyo. Bagi kaum kutu loncat memang tidak nampak. Namun yang berkelas gorila akan tetap nampak atau aroma bau khas ndoro yang diikutinya tetap menyengat. Walau sudah bersembunyi tetap saja nampak dan pasrah dipangkas masuk kotak.

Birokrasi yang selalu nobat nongol babat akan tebang pilih sampai kapanpun akan terus sarat dengan pendekataan personal dan KKN meraja lela. Para ndoronyapun dibuat terbelenggu dan tidak dapat eksis idealismenya mau tidak mau harus berdamai dengan penyimpangan penyimpangan. Apalagi kaum birokratnya bukan kelas fighter bagi meningkatnya kualitas hidup masyarakat akan terus saja seperti kelas krupuk sekali remas remuk dan kena angin melempem. Mentalnya pemalak, mudah disuap dan bahkan rela membackingi hal hal ilegal. Pelayannya sebatas :”wani piro oleh piro”. Gaya mafia atau preman birokrasi menjadi standar nyantrik ke para ndoro. Para ndoropun jika berasal produk hutang budi maka akan sibuk membalas budi dan mencari kembalian, lagi lagi sebatas membangun kroni tanpa prestasi. Akhirnya apa yang dikerjakan lebih bersifat kepura puraan sebatas kepentingan seremonial dan superfisial belaka.

Apakah para pemimpin pasrah dengan kondisi seperti itu birokrasi kelas krupuknya? Bagi yang waras dan bernyali tentu akan berjuang keras melawannya. Sebaliknya pemimpin safety player akan ciut nyalinya tanpa berani melakukan perubahan apalagi perlawanan. Akan gga gitu gitu aja kelas kaleng kaleng yangbpenting kebagian.

Di era digital, merupakan momemtum untuk menggeser gaya gaya birokrasi KKN di semua lini dan semua bagian terintegrasi dalam model  on line atau terhubung berbasis elektronik. Francis Fukuyama mengatakan : ” the end of histori: the last man”.

Para pemimpin masa depan berani mengatakan : “the end of burearucracy”.

Membangun birokrasi di era digital memangkas dengan minimalisir sekecil mungkin kesempatan menjadi pemalak atau koordinator pungli atau untuk bermain main dengan hal ilegal. Model pemolisiannya berbasis pada Electronic policing, yang dimanage dalam smart management dan dioperasionalkan dengan smart operation. Basis era digital adalah ada : back officenya sebagai big data system,
sistem aplikasi berbasis AI untk inputing , analisa data dan produk. Dan jejaring penghubung secars elekttonik berbasis IoT. Sistem elektronik ini akan menghasilkan algoritma yang berupa infografis, info statistik maupun info virtual yang bisa diakses real time, on time dan any time sebagai prediksi antisipasi dan solusi.birokrasi berbasis elektronik membangkitkan energi baru yang membuat rampal gigi para mafia birokrasi dan matinya para cantrik penjilat serta para ndoro yang merupakan produk utang budi. Era baru birokrasi menggeser sistem sekat dan sistem palak menjadi pelayanan prima. Pendekatan tidak lagi person to person melainkan sistem e payment atau e banking. Semua aktifitas pelayanan publik akan terecord dan jejak digital akan membuka tabir sistem PGPS ( pinter goblok penghasilan sama) menjadi birokrasi yang berbasis kompetensi prestasi produktifitas yang mampu membangun big data dan memberikan pelayanan prima dalam one stop service. Para birokrat krupuk  berubah dan tidak melempem atau tidak ikut dibabat dan dicampakkan perubahan. Semoga.**

Lembah Someah Maribaya 280523

Share
Leave a comment