“Salim Suhu”: Menyemarakan Bulan Menggambar Nasional
TRANSINDONESIA.co | Banyak stiker Wa dibuat untuk “Salim Suhu”. Sayapun setuju dan melakukan salim suhu kepada guru guru menggambarku yang sangat luar biasa. Tanpa sadar telah mentransformasi kecintaan menggambar dari dulu hingga kini.
Pak Tino Sidin dengan acara gemar memggambar di TVRI menginspirasi dan menghibur hati bahwa melukis tidak perlu takut takut. Garis lengkung akan dapat dibentuk menjadi apa saja. Ucapan ” ya bagus” ternyata kata kata yang memotivasi bahkan bisa jadi menyihir anak anak untuk berani menggambar. Pak Tino pernah diserang kaum akademisi dengan segudang gelar dan teori pedagoginya mengkritik cara mengajar pak Tino. Namun Pak Tino dibela para maestro seni rupa Indonesia antara lain :S Sudjojono, Affandi dan Basuki abdulah.
Memang pak Tino menerapkan cara yang berbeda dan mengajak anak anak berani dan gemar menggambar. Kecintaannya pada anak anak untuk menstimuli gemar menggambar sangat luar biasa, dengan cara sederhana dan mudah dipahami, ditransformasikan. Pak Tino kebahagiaannya bukan pada materi tetapi pada anak anak yang berani untuk menggambar dan gemar menggambar. Pak Tino sendiri hidup sederhana dengan baret pemberian pak Harto (Presiden RI ke dua )
Pak Tino bahkan pernah memberanikan diri meminjam uang ke pak Harto untuk membeli rumah kalau tidak salah. Kini kediamannya menjadi memorial dalam Taman Tino sidin.
Pak Adi, mohon maaf pak lupa nama lengkapnya, guru menggambar saya di SD Kedungsari II Magelang. Pak Adi sangat visioner mengajarkan kami anak anak SD Kedungsari yang rata rata anak kampung, kelurahan Kedungsari pergi ke sekolah nyeker ( tanpa alas kaki) dan sekolah juga bodhol trocoh ( bocor di sana sini kalau hujan ) dan banjir. Pak Adi dengan semangat mengajar kita menggambar dengan teknik dan garis yang tegas dan berani untuk menggambar apa saja. Di kelas saya yang paling bagus dalam menggambar adalah Agus Priyatno ( sekarang Doktor dan Dosen di Universitas Medan), ada Cacuk ( tidak lagi monitor perkembangannya), Tjatiyo Wibowo (entah kemana kami tidak ada komunikasi lagi), Puji Priono (entahbdi mana sekarang). Saya sendiri tidak masuk grup mereka, dianggap tidak berbakat, nyleneh aneh baik di rumah maupun di sekolah. Tetapi pak Adi selalu mbombong (memberi semangat ) saya untuk terus menggambar. Saya kelas IV SD meniru drawing Albrech Durer (seniman Jerman) potret diri waktu usia 14 th dan potret ibunya yang nampak tua renta namun sangat kuat karakternya. Saya menunjukkan ke pak Adi ini saya nyonto siapa? Pak adi menjawab: “mbuh gambarmu ga umum”. Saya senang beliau menjawab begitu. Saya tunjukkan bukunya tentang sketsa sketsa / drawing dari para old master seperti : Gioto, Verochio, Pissanelo, Boticelly, Leonardo da Vinci, Michelangelo, Raphael, Rubens, Rembrand, Jan van Eyck, Anthony van Dyck, Titian, Veronese, Ingres, Edgar Degas, Anthony Watteau, Gericault, El Greco, Francisco de Goya, Nicolaus Poussin, Brugel the Elder, Brugel the Younger, dll. Sampai sebelum impresionisme.
Pak Jamhari guru gambar SMP Negeri III Magelang, mengajarkan kebebasan menggambar. Bahkan memberi kesempatan pameran lukisan di sekolah. Saya memamerkan lukisan 3 buah bersama Agus priatno, yang teringat karya hanya potret Erasmus tokoh kemanusiaan dari Belanda. Lainnya lupa hehehe.
Pak Barkah Suripto, guru sanggar lukis Sungging Purbangkoro. Beliau lulusan Asri angkatan pertama. Mengajarkan sket dan menggambar secara on the spot. Membebaskan kita anak didiknya melukis apa saja. Beliau mengatakan: “dik Agus tetaplah di jalur realis dan dik Chrysh akan ke ekspresif namun tetaplah belajar realis semaksimal mungkin. Di suatu saat kalian dengan sendirinya akan menemukan gaya yang berbeda dengan realisme”. Pak Barkah sangat egaliter dan kamipun dianggap anak dan sahabatnya. Kami diajar nyerut atau membuat span ram, mamasang kanvas, memilih cat dan memamerkan karya karya kami di Pendopo Balai Pelajar Magelang. Pak Barkahlah yang membuat saya benar benar yakin dan mantap untuk terus melukis.
Pak Kurdi guru gambar SMA Katholik Pendowo yang juga luarbiasa, mengajarkan dekorasi memmbuat poster baliho membuat janur dll. Pak kurdi mengajarkan gambar proyeksi. Beliau juga membebaskan mau memggambar apa saja dan tdk ngomel saya ikut sanggar ngartun pameran. Membuat dekorasi janur ini yangvtrs dikembangkan alm Slamet Bagio dan Bernardinus Edy Kemo. Pak kurdi di luar jam pelajaran mengajarkan kegiatan semacam sanggar seni dan kriya. Tim kami Agus Pr, Slamet Bagyo, Edy Kemo dan saya. Di sekolah saya ada juga yangjago menggambar dan sampai sekarang menjadk pelukis surealis bernama Susilo Budi Purwanto, ada Sknggih, ada Iman Kukuh. Mereka tidak mengikuti grup penekkan klopo (memanjat kelapa) bersama kami. Karena janur yang untuk praktek harus mengambil dengan manjat pohon kelapa sendiri atau minta tentangga. Kadang ijinnya belakangan setelah ketahuan. Yang sering memanjat malah alm Slamet Bagyo, Edy Memo penadah di bawah. Sesekali saya main munyuk munyukkan memanjat kelapa.
Pak No, maaf lupa namanya. Beliau teman gereja ibu saya di ST Maria Fatima Magelang. Pada waktu persiapan ulang tahun gereja katolik di Indonesia ke 450 th saya diperintahkan pak Tris bros guru PMP SMAK pendowo untuk membantu pak No. Saya, Agus Pr , Slamet Bagyo dan Edy Kemo membantu membuat panel data, maket gereja dan banyak model tulisan tentang perkembangan gereja Santa Maria Fatima Magelang. Pameran dilakukan di sekolah Van Lith Muntilan. Kami juga dibantu mas Giri dari Sanden. Acara sukses meriah walau liburan kenaikan kelas dua ke kelas tiga harus nukang membuat kriya.
Pak Didik Suardi pensiunan PJR Surakarta yang menjadi pelukis pada th 1990 saat saya berdinas di Polresta Surakarta mendorong saya untuk terus melukis melukis dan melukis. Beliau mengatakan :” dik kamu harus bisa melukis lagi. Kamu perwira lho. Aku yang bintara saja bisa”. Pak didik gaya bicaranya meledak ledak dan terus menyemangati saya. Sehingga saya berjanji pada diri saya untuk belajar melukis selama 30 th. 10 th pertama mencari bentuk atau haya. 10 th ke dua mematangkan gaya yang saya temukan. 10 th ke tiga mulai bergaul dan belajar dengan seniman budayawan. Pak didik memang tidak mengajarkan teknik melukis tetapk spirit menjadi pelukis yang beliau kobarkan dalam jiwa saya. Wah saya jadi berapi api kalau teringat gaya pak didik yang meledak ledak penuh canda tawa. Walaupun beliau bintara beliau mampu menyemangati perwira muda sampai detik ini saya rasakan semangatnya tak pernah padam.
Pak Alex wuisan. Guru agaman katholik dan guru seni musik. Menjadi guru dan sahabat debat maslah lukisan. Beliau juga pelukis dan kritis kalau menilai lukisan saya. Sebagai rasa hormat saya kepada beliau saya berikan lukisan terbaik saya waktu itu yg saya kerjakan sampai 6 bulan th 1990 ( bukan detail tetapi dikerjakan seingat dan sesempatnya, waktu itu saya masih senang keluyuran daripada melukis. Setiap hari ada police night jadi ya kluyuran dan tugas siang dan malam. Pak alex melukis dengan gaya realis dan sangat detail rapi semua tertata apik dan harmoni. Namun beliau menghargai karya ekspresif saya. Ada satu karya saya yang masih basahpun dibawanya pulang.
Agus Priyatno teman sahabat dan teman debat ini sebenarnya guru saya secara non formal karena aguslah yang terus memanas mansi, menyemangati, memdebat saya dan bahkan tidak pernah mau membantu saya dalam hal menggambar. Memberi inspirasi iya. Tapi anehnya saya yang katanya ngeyelan dan gak mau kalah, aneh, tidak berbakat terus saja diajaknya menjadi sparing partnernya dalam menggambar. Saya sebel sebenarnya karena waktu itu di lingkungan kami yang di dewakan aliran melukis potret realis. Apapun konsep dan karya saya pasti di judge jelek dan tdk berbakat danbahkan pernah dibully. Hanya guru guru saya di atas yang bisa memahami dan mungkin kasian juga. Cah iki ra bakat kok mekso hhhhh… saya merasakan apa yang agus lakukan sebenarnya tempaan keras buat diri saya. Saya kalau ada kompetitornya semangat dan ngga mau kalah (untuk kebaikkan) bukan ngeles lho ya. Agus juga sabar dengan gaya saya yang meledak ledak dan kasar. Anehnya dia tetap tidak mau ngajari atau mbantu jadi ya terus bersaing sendiri sendiri sampai sekarang.
Suhu suhu saya memang sangat luar biasa, salam hormat doaku kepada Tuhan Yang Maha Kuasa selalu kupanjatkan kepada guru guru saya yang sdh almarhum semoga damai selamanya di surga bahagia. Sekali lagi maturnuwun dan salim suhu selalu dariku.
Cerita pengalaman saya itu saya bagikan kepada Sentot Widodo pelukis dan sahabat saya yang sedang menggalang dan menggerakan komunitasnya dalam rangka menyemarakan bulan menggambar nasional. Semoga sukses mas. Beliau juga murid pak Tino, dan sahabatnya Agus Pr juga. Pelukis yang penuh semangat dan mau berbagi untuk kemajuan seni budaya. Sekalilagi semangat mas, sampiyan juga suhu yang juga akan di salim para murid muridnya.
Revisi tulisan 2021 namun relevan bagi semaraknya bulan menggambar nasional.**
Chrysnanda Dwilaksana
Senjakala 210323