Aktivis Perempuan Desak DK PBB Rujuk Militer Myanmar ke ICC

TRANSINDONESIA.co | Sejumlah aktivis HAM mendesak Dewan Keamanan PBB pada hari Senin (13/3) untuk merujuk penguasa militer Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan mendesak negara-negara tetangga di Asia Tenggara untuk mendukung gerakan oposisi prodemokrasi.

Para pemimpin dua organisasi HAM perempuan berbicara kepada wartawan menjelang pertemuan tertutup dewan itu yang membahas Myanmar. Para anggota dewan itu mendengarkan penjelasan dari utusan khusus PBB untuk Myanmar Noeleen Heyzer dan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi. Retno hadir dalam kesempatan itu dalam posisi Indonesia sebagai Ketua ASEAN.

May Sabe Phyu, Direktur Jaringan Kesetaraan Gender, sebuah koalisi organisasi yang mempromosikan hak-hak perempuan di Myanmar, menuduh militer Myanmar melakukan “kampanye teror” dan melakukan “tindakan keji” yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia mengatakan Dewan Keamanan harus merujuk tindakan junta itu ke ICC untuk penuntutan.

Militer Myanmar telah lama dituduh melakukan pelanggaran HAM, terutama selama upaya penumpasan pemberontakan secara brutal pada 2017 terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar Barat. ICC sedang mempertimbangkan apakah tindakan keras itu adalah genosida.

Pada 2021, militer menggulingkan pemerintah sipil terpilih Myanmar, dan kemudian mengambil tindakan keras untuk menekan penentangan publik terhadap pengambilalihan kekuasaan tersebut. Beberapa ahli sekarang menganggap situasi di Myanmar sebagai perang saudara mengingat militer melakukan serangan besar-besaran terhadap perlawanan bersenjata yang meluas.

ASEAN mengadopsi konsensus lima langkah untuk memulihkan perdamaian pada April 2021 yang disetujui oleh Myanmar, tetapi belum diterapkan, yang menyebabkan Myanmar tidak dilibatkan dalam beberapa pertemuan tingkat tinggi ASEAN sejak saat itu.

Dewan Keamanan menyetujui resolusi pertamanya tentang Myanmar pada bulan Desember, menuntut segera diakhirinya kekerasan, mendesak penguasa militernya untuk membebaskan semua tahanan yang “ditahan secara sewenang-wenang” termasuk pemimpin yang digulingkan Aung San Suu Kyi dan memulihkan lembaga-lembaga demokrasi. Dewan itu juga menegaskan kembali seruan untuk dialog dan rekonsiliasi dan mendesak semua pihak “untuk menghormati HAM, kebebasan mendasar dan supremasi hukum.”

Para aktivis menyerukan pemberlakuan embargo senjata, pertemuan utusan khusus PBB kelompok-kelompok prodemokrasi, dan penuntutan pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan oleh militer.

Phyu, yang meninggalkan Myanmar setelah pengambilalihan dan sekarang berbasis di Amerika Serikat, meminta Dewan Keamanan untuk menekan negara-negara tetangga Myanmar agar tidak mendukung pemerintah militer, tetapi secara terbuka mendukung kekuatan demokrasi, termasuk Pemerintah Persatuan Nasional, yang katanya mendapat dukungan dari rakyat Myanmar.

Ia mengkritik utusan PBB Heyzer karena bertemu dengan Jenderal Senior Min Aung Hlaing, tetapi tidak bertemu secara terbuka dengan kelompok prodemokrasi termasuk Pemerintah Persatuan Nasional, yang beroperasi secara rahasia dan menyebut diri sebagai pemerintah sah negara itu.

Naw Hser Hser, Ketua Liga Perempuan Burma, mengatakan para pendukung demokrasi merasa dilupakan oleh komunitas internasional. [voa]

Share
Leave a comment