Perlunya Mengedepankan Akselerasi Guru Besar Secara Etis dan Regulatif

TRANSINDONESIA.co | Jagad akademisi perguruan tinggi dan publik termasuk netizen di Indonesia dibuat gempar dengan berita hasil investigasi Kompas pada Jumat, 10 Februari 2023, berjudul “Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Karya Ilmiah”. Praktik perjokian yang dimaksud adalah pembuatan karya ilmiah untuk syarat kelulusan akademis hingga pengajuan guru besar di sejumlah kampus negeri dan swasta di kota-kota besar di Indonesia. Perjokian itu dikatakan melibatkan pejabat struktural kampus, dosen dan mahasiswa dengan modus salah satunya membentuk tim khusus yang menyiapkan artikel untuk diterbitkan di jurnal internasional bereputasi (JIB). Tim itulah yang menyematkan nama dosen-dosen senior yang ingin guru besar atau naik jabatan sebagai daftar penulis di karya imiah, meski dosen-dosen senior itu tidak memiliki kontribusi aktif dalam pembuatan karya ilmiah yang hendak dipublikasikan di JIB. Praktik itu bisa pula menggunakan jasa calo dari pihak luar kampus. Kegiatan tersebut juga diduga untuk meningkatkan angka kredit dan akreditasi kampus.

Istilah perjokian sebetulnya tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Adanya justru kata “joki”, seperti diungkapkan dalam KKBI Daring, memiliki tiga arti yaitu: pertama, “penunggang kuda pacuan”; kedua, “pengatur lagu yang menangani mesin perekam lagu atau piringan hitam (di studio radio atau diskotek)”; atau ketiga, “orang yang mengerjakan ujian untuk orang lain dengan menyamar sebagai peserta ujian yang sebenarnya dan menerima imbalan uang”, atau “orang yang memberi layanan kepada pengemudi kendaraan yang bukan angkutan umum untuk memenuhi ketentuan jumlah penumpang (tiga orang) ketika melewati kawasan tertentu”. Berbeda dengan kata “calo”, kita bisa menemukan istilah “calo” di KBBI daring dengan arti yaitu “orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk menguruskan sesuatu berdasarkan upah; perantara; makelar”.
Penggunaan istilah perjokian dalam pemberitaan Kompas tersebut tampaknya lebih mengarah ke tindakan yang negatif yang dilakukan seseorang dalam dunia akademik, mirip dengan pengertian ketiga dari arti kata “joki” dalam KBBI daring di atas meskipun dalam bentuk yang berbeda. Perjokian bukan hanya tidak etis bahkan tindakan tersebut bisa masuk ke ranah hukum dan dipidanakan. Seperti diungkapkan oleh Kompas, 14 Februari 2020, dengan mengutip penjelasan Paryono sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas Badan Kepagawaian Negara (BKN) bahwa tindakan perjokian mengandung unsur pidana berupa tindakan pemalsuan sesuai Pasal 55 dan Pasal 263 KUP dengan ancaman pidana 6 (enam) tahun penjara.

Sebenarnya apa yang menarik dari jabatan guru besar di Indonesia sehingga memunculkan “perjokian” dan “calo” dunia akademik? Ada banyak keuntungan dan hak istimewa bagi dosen maupun institusi apabila memiliki guru besar. Keuntungan dari pihak dosen jika mereka menjadi guru besar atau profesor, merujuk Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14/2005, yaitu mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum yang meliputi: pertama, gaji pokok (Pasal 52), kedua, tunjangan yang melekat pada gaji (Pasal 52), ketiga, tunjangan profesi yang diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok dosen (Pasal 53), keempat, tunjangan fungsional (Pasal 54), kelima, tunjangan kehormatan setara 2 (dua) kali gaji pokok (Pasal 56). Itu saja masih akan ditambah dengan tunjangan khusus setara 1 (satu) kali gaji pokok dosen jika bertugas di daerah khusus. Ini artinya, penghasilan minimal seorang guru besar atau profesor adalah 4 (empat) kali gaji pokok sesuai tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. Tentu saja itu jumlah yang menggiurkan. Apalagi jika kita mencermati aturan dalam Pedoman Operasional Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen Tahun 2019 (PO PAK 2019) dari Kemendikbudristek dan Keputusan Menteri Agama No. 856 Tahun 2021 Pedoman Operasional Penilaian dan Penetapan Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen Jenjang Lektor Kepala dan Profesor dalam Rumpun Ilmu Agama bahwa masa kerja minimal bagi dosen untuk bisa diangkat menjadi guru besar adalah 10 tahun, telah menduduki lektor kepala minimal 2 tahun dan memiliki sertifikat pendidik, maka jika dilihat di standar penghasilan dosen berstatus Pegawai Negeri Sipil merujuk Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 16/2019, dengan masa kerja 10 tahun untuk golongan IVa adalah Rp. 3.554.900,00 maka penghasilan guru besar bisa lebih dari Rp 14.219.600,00 per bulan. Guru besar juga memiliki sejumlah hak dan wewenang istimewa seperti di antaranya: pertama, mengajar di Program Studi S1, Pendidikan Profesi, S2, dan S3; kedua, bisa menjadi pembimbing utama untuk tugas akhir skripsi, tesis, atau disertasi. Di samping itu, sebagian perguruan tinggi negeri di Indonesia seperti Universitas Islam Negeri, jabatan guru besar/ profesor menjadi persyaratan khusus untuk mendaftar sebagai rektor. Jika belum guru besar jangan berharap bisa mendaftar menjadi calon rektor di sejumlah perguruan tinggi negeri.

Lantas, apa saja keuntungan guru besar/ profesor bagi kampus? Merujuk Standar Nasional Pendidikan Tinggi No. 3/2020, keberadaan guru besar menjadi syarat wajib untuk pembukaan program studi S3 (Doktor), bahkan disebut minimal harus memiliki 2 (dua) guru besar. Tanpa mempunyai guru besar, perguruan tinggi tidak bisa membuka program studi S3. Kemudian, keberadaan guru besar akan mendongkrak nilai dan peringkat akreditasi program studi maupun peringkat akreditasi perguruan tinggi. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan BAN-PT No. 10/2021, skor 4 (tertinggi) hanya bisa didapatkan jika program studi Sarjana (S1) memiliki dosen dengan jabatan fungsional lektor kepala/ guru besar > 5 orang (butir 27). Untuk program studi S2, syarat untuk memperoleh skor 4 (tertinggi) lebih berat yakni memiliki dosen dengan jabatan guru besar sejumlah > 2 orang (Peraturan BAN-PT No. 2/2022, Lampiran 8 Butir 23); sedangkan bagi program studi S3, syarat meraih skor 4 (tertinggi) mempunyai dosen dengan jabatan guru besar sebanyak > 3 orang (Peraturan BAN-PT No. 2/2022, Lampiran 9 Butir 21). Sementara itu, menurut Pedoman Penilaian Pemantauan dan Evaluasi Peringkat Akreditasi Perguruan Tinggi Tahun 2020 (Butir 19) untuk akreditasi perguruan tinggi, kampus harus memiliki dosen dengan jabatan akademik guru besar sebanyak minimal 15% dari total jumlah dosen yang dimilikinya untuk mendapatkan skor 4. Itulah gambaran sederhana sejumlah keuntungan yang didapatkan kampus jika memiliki banyak guru besar/ profesor.

Apakah Praktik Penelitian dan Publikasi Ilmiah Kolaboratif Suatu Pelanggaran?
Pemberitaan investigasi Kompas tentang perjokian di dunia akademik tertanggal 10 Februari 2023 yang mencantumkan gambar ilustrasi modus perjokian karya ilmiah di kampus bisa menimbulkan kesalahpahaman sekaligus pemahaman dan stigma negatif terhadap kinerja penelitian dan publikasi kolaboratif. Dalam pemberitaan investigasi Kompas tersebut disajikan alur modus perjokian karya ilmiah di kampus terdiri dari: 1) melibatkan mahasiswa dan dosen muda, 2) mereka tergabung dalam tim khusus, 3) mereka bersepakat mengerjakan penelitian yang akan dipublikasikan unuk JIB, 4) peneliti utama di riset ini adalah dosen senior, 5) angka kredit dosen senior bertambah signifikan, 6) karya dapat digunakan untuk memenuhi syarat kenaikan pangkat atau pencalonan guru besar, dan 7) keuntungan kampus dapat menambah jumlah profesor sesungguhnya bisa menimbulkan kesan negatif di kalangan akademisi maupun masyarakat luas. Kesan negatif bisa menimpa penelitian dan/atau publikasi kolaboratif antara dosen dengan mahasiswa, atau antara dosen senior dengan dosen muda dan mahasiswa, ataupun tim peneliti (research group) di kampus yang dilakukan secara serius dan melibatkan semua pihak secara aktif. Pertanyaannya sekarang apakah alur kerja tim peneliti seperti visualisasi yang ditampilkan oleh Kompas itu bisa dikategorikan cara kerja yang tidak etis dan melanggar konstitusi yang berlaku? Apakah dosen senior tidak boleh berkolaborasi, belajar, dan bermitra dengan dosen lain ataupun mahasiswa untuk naik jabatan ke guru besar? Bagaimana regulasi kita mengatur mengenai hal tersebut? Terus, bagaimana cara yang etis dan sesuai regulasi untuk akselerasi guru besar di Indonesia?

Menurut saya, alur kinerja penelitian dan publikasi ilmiah dosen sebagaimana terlihat pada visualisasi modus perjokian karya ilmiah di kampus yang disajikan pada pemberitaan Kompas pada 10 Februari 2023 masih etis dan tidak melanggar konstitusi. Dalam visual tersebut juga tidak tampak indikasi adanya tahapan yang menunjukkan adanya aktivitas perjokian (cek kembali pengertian joki di atas). Dengan kata lain, antara visual dengan judul dan isi pemberitaan Kompas tersebut tidak terdapat kesinkronan/ kesesuaian. Kompas semestinya bisa menampilkan alur yang lebih sesuai dengan hasil investigasinya yang menunjukkan indikator-indikator perjokian yang spesifik dan mengarah kepada tindakan tidak etis bahkan melanggar hukum. Di sinilah pentingnya kita juga harus memahami, apakah dosen tidak boleh berkolaborasi, belajar, dan bermintra dengan dosen lain (yang lebih muda) atau mahasiswa dalam penelitian dan publikasi ilmiah? Jawabannya tentu boleh dan bahkan dianjurkan oleh regulasi yang berlaku.

Kita mulai dari Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) No. 14/2005 yang menyebutkan bahwa dosen adalah “pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat” (Pasal 1). Jelas bahwa UUGD menyebutkan tugas dosen bukan hanya sebagai pendidik profesional, tapi juga sebagai ilmuwan yang harus melakukan penelitian dan penyebarluasan iptek dan seni melalui tridharma perguruan tinggi. Dengan kata lain, dosen wajib melakukan penelitian dan publikasi karya ilmiah.

Lalu, PO PAK Dosen 2019 mengatur bahwa untuk persyaratan kenaikan jabatan akademik reguler disebut bahwa dosen wajib menjadi penulis pertama sekaligus penulis korespondensi dalam publikasi Ilmiah (hal. 23), sedangkan untuk kenaikan pangkat dalam jabatan akademik yang sama syaratnya tidak harus menjadi penulis pertama, tapi bisa menjadi penulis utama. Supaya lebih paham perlu diketahui bahwa ada empat jenis penulis yang diakui dalam PO PAK Dosen 2019 yaitu penulis pertama, penulis pendamping, penulis korespondensi, dan penulis utama (hal. 37). Penulis pertama adalah yang disebut pertama dalam setiap karya ilmiah. Penulis pendamping adalah penulis yang disebut ke 2 (dua) dan seterusnya dalam setiap karya ilmiah. Penulis korespondensi adalah penulis yang bertanggung jawab untuk korespondensi. Terakhir, penulis utama adalah penulis pertama atau penulis korespondensi. PO PAK Dosen 2019 menegaskan bahwa penelitian dan publikasi ilmiah yang dilakukan secara berkelompok diakui dan diterima, serta sah untuk digunakan dalam kenaikan jabatan akademik/pangkat dosen. Ini juga berarti penelitian dan publikasi ilmiah secara berkelompok yang di dalamnya benar-benar terdapat kontribusi aktif semua penulis tidak melanggar regulasi.

Di samping itu, menurut PO PAK Dosen 2019 komponen pelaksanaan pendidikan butir 11 diatur bahwa bagi dosen lektor kepala dan guru besar dapat melaksanakan kegiatan pembimbingan dosen yang mempunyai jabatan lebih rendah setiap semester. Kegiatan pembimbingan tersebut ada dua jenis yaitu pencangkokan dan reguler. Membimbing pencangkokan adalah kegiatan membimbing dosen yunior dari perguruan tinggi tertentu, yang dicangkokan pada perguruan tinggi asal pembimbing dalam bidang imu yang sama. Sedangkan membimbing reguler merupakan kegiatan membimbing dosen yunior oleh seorang dosen senior dalam bidang ilmu yang sama pada perguruan tinggi sendiri. Masih menurut aturan yang sama pada butir 12 juga disebutkan bahwa dosen bisa melaksanakan kegiatan detasering dan pencangkokan di luar institusi tempat bekerja setiap semester. Kegiatan detasering adalah melaksanakan suatu kegiatan penugasan dari perguruan tinggi asal ke suatu perguruan tinggi lain untuk membimbing dosen yunior pada perguruan tinggi tersebut dalam bidang ilmu yang sama. Sementara itu, kegiatan pencangkokan adalah mengikuti sebagai dosen peserta pencangkokan yang dikirim oleh perguruan tinggi asal ke suatu perguruan tinggi lain untuk tujuan meningkatkan kemampuan dalam bidang ilmunya. Penjelasan tersebut menegaskan bahwa tugas dosen senior (dengan jabatan Lektor Kepala/ Guru besar) diperbolehkan melakukan pembimbingan terhadap dosen-dosen yunior.

Selanjutnya, Peraturan BAN-PT No. 10/2021 tentang Instrumen Akreditasi Program Studi pada Program Sarjana Lingkup Kependidikan (LAMDIK) bahkan mengatur jika penelitian dosen sangat dianjurkan dilakukan secara kolaboratif. Seperti disebutkan pada butir 63, program studi yang tidak memiliki Research Group (RG) hanya mendapatkan skor 1 (terendah), sedangkan untuk mendapat skor tertinggi (4) harus memiliki research group dan research map penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat yang sangat jelas dan sangat relevan dengan visi keilmuan, tujuan, dan strategi program studi. Butir 65 menyebutkan pula secara tegas untuk bisa meraih skor 4 (tertinggi), maka lebih dari 75% penelitian dosen program studi harus melibatkan mahasiswa. Lanjut di butir 67, kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PkM) untuk mendapatkan skor 4 (tertinggi) lebih dari 75% dosen program studi melakukan PkM harus melibatkan mahasiswa. Hal serupa juga ditegaskan pada Peraturan BAN-PT No. 2/2022 tentang Instrumen Akreditasi Program Studi Lingkup Kependidikan Lampiran 8 (Program Magister) yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan skor tertinggi (4) lebih dari 75% dosen harus melakukan penelitian dengan melibatkan mahasiswa (butir 46), dan lebih dari 75% dosen harus melakukan PkM yang melibatkan mahasiswa (butir 50). Sementara itu, pada Lampiran 9 (Program Doktor) juga diatur bahwa lebih dari 80% dosen program studi harus melibatkan mahasiswa dalam penelitiannya untuk meraih skor 4 (tertinggi). Dengan demikian, regulasi tentang akreditasi program studi maupun perguruan tinggi di Indonesia justru sangat menganjurkan untuk dosen perguruan tinggi melakukan kegiatan penelitian, publikasi ilmiah, dan PkM dengan melibatkan mahasiswa. Itulah ciri khas perguruan tinggi unggul jika mengacu regulasi tentang akreditasi program studi maupun perguruan tinggi.

Berdasarkan sejumlah regulasi yang mengatur tentang dosen maupun akredirasi perguruan tinggi dan akreditasi program studi tersebut, tidak ada satupun yang melarang kegiatan penelitian dan publikasi ilmiah dosen secara kolaboratif. Bahkan, regulasi-regulasi tersebut justru sangat menganjurkan agar dosen di perguruan tinggi melakukan penelitian dan publikasi karya ilmiah secara kolaboratif baik dengan sesama kolega sejawat maupun mahasiswa. Dosen senior bahkan dianjurkan untuk melaksanakan pembimbingan/ pembinaan / menjalin kemitraan dengan dosen yunior. Dari berbagai aturan tersebut secara tegas juga menunjukkan bahwa salah satu indikator program studi dan perguruan tinggi unggul adalah keberadaan dosen yang memiliki tim peneliti (research group) yang disahkan oleh lembaga, lalu mayoritas dosen melibatkan dengan kolega teman sejawat maupun dengan mahasiswanya dalam kegiatan penelitian, publikasi ilmiah, maupun pengabdian kepada masyarakat. Sampai di sini saya kira sudah jelas bahwa kegiatan penelitian dan publikasi karya ilmiah secara kolaboratif menjadi kegiatan yang dianjurkan oleh regulasi yang berlaku di Indonesia saat ini dalam upaya peningkatan akreditasi program studi/ perguruan tinggi maupun kelancaran pengembangan karir dosen.

Saya menilai positif upaya investigasi Kompas dalam mengungkap tentang praktik perjokian dunia akademik di sejumlah perguruan tinggi negeri atau swasta di Indonesia. Dengan pemberitaan itu, civitas akademika di perguruan tinggi kita akan sadar bahwa masa depan pengembangan karir dosen ke guru besar tidak dalam kondisi baik-baik saja. Menurut saya, kasus perjokian dunia akademik ini mirip dengan kasus jual-beli jasa pengerjaan tugas akhir (seperti skripsi, tesis, maupun disertasi) dengan modus jasa konsultasi olah data ataupun yang sejenisnya. Setiap tindak kriminal bukan terjadi karena ada niat dari pelakunya, tetapi juga karena adanya kesempatan. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia maupun Kementerian Agama Republik Indonesia yang memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian karya ilmiah dosen di tingkat pusat dan mengangkat guru besar perlu lebih jeli dan lebih antisipatif. Begitupula bagi seluruh Tim Penilai Karya Ilmiah (TPKI) di perguruan tinggi, Koordinasi Perguruan Tinggi Agama islam (Kopertais), maupun Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) di seluruh Indonesia juga perlu lebih hati-hati terhadap berbagai indikasi dan potensi kecurangan yang mungkin dilakukan oleh oknum dosen yang tidak bertanggungjawab.

Akselerasi Pengembangan Karir Dosen Secara Etis dan Regulatif
Menurut hemat saya ada beberapa cara untuk melakukan pengembagan karir dosen ke guru besar secara akseleratif, etis, dan regulatif. Pertama, membangun budaya meneliti dan menulis pada Jurnal Internasional Bereputasi (JIB) di kalangan dosen. Dosen terlibat dalam praktik perjokian biasanya karena tidak memiliki kemampuan dalam membuat karya ilmiah pada JIB. Karena tidak mampu, maka mereka meminta tolong pihak lain agar bisa “dibuatkan” karya ilmiah pada JIB untuk pemenuhan syarat kenaikan jabatan ke guru besar. Lantas, mengapa cara mencegah praktik perjokian perlu dilakukan dengan membangun budaya meneliti dan menulis? Jawabannya sederhana, kemampuan meneliti dan menulis karya ilmiah pada JIB pada dasarnya tidak bisa dimiliki secara instan, alias membutuhkan waktu dan pembiasaan. Dengan kata lain, tidak mungkin dosen tiba-tiba bisa melakukan penelitian yang baik dan menulis artikel pada JIB. Sebagaimana diungkapkan Malcolm Gladwell dalam bukunya Outliers: The Story of Success (2008) bahwa keahlian itu hanya bisa dimiliki dengan latihan yang baik minimal 10.000 jam. Ini artinya, untuk menjadi menjadi peneliti yang baik dan penulis yang baik sehingga bisa terbit pada JIB dosen membutuhkan proses panjang dan berkali-kali meneliti dan menulis. Dengan kata lain, jika dosen tidak rajin meneliti dan tidak rajin menulis tiba-tiba bisa membuat penelitian yang baik dan menulis artikel pada JIB patut dicurigai adanya indikasi perjokian di dalamnya. Oleh karena itu, cara pertama untuk mencegah praktik perjokian dunia akademik adalah membangun budaya meneliti dan menulis pada JIB.
Budaya meneliti dan menulis artikel pada JIB di kalangan dosen harus dimulai dengan membangun pola pikir yang tumbuh atau growth mindset (Dweck, 2006). Dosen tidak akan mudah mengeluh dan putus asa mana kala mendapatkan kritik dan saran perbaikan dari reviewer JIB berulang-ulang. Dosen tidak malu untuk belajar dari juniornya, bahkan mungkin mahasiswanya. Dengan pola pikir tersebut, dosen pada akhirnya akan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Dosen bisa selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berkaitan penelitian maupun publikasi karya ilmiah yang terus berkembang dengan sangat pesat. Tanpa ada kemauan untuk terus belajar maka mustahil budaya meneliti dan menulis tumbuh. Budaya meneliti juga harus didukung dengan kebijakan perguruan tinggi yang memungkinkan dosen memiliki sumber daya untuk melakukan penelitian dan publikasi ilmiah pada jurnal internasional bereputasi. Program bantuan dana dan kegiatan pendampingan secara intens sekaligus pemberian dana stimulan untuk publikasi karya ilmiah ataupun pemberian reward bagi dosen yang berhasil mempublikasikan karya ilmiahnya pada JIB bisa menjadi alternatif pilihan. Seperti yang dilakukan oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan pemberian bantuan dana sebesar Rp. 50.000.000,00 kepada para dosen peserta program akselerasi guru besar yang dimulai sejak era kepemimpinan Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D (saat ini menjadi Kepala BPIP) dan dilanjutkan oleh Prof. Dr.Phil. Al Makin, S.Ag., M.A. telah berhasil melahirkan puluhan guru besar.
Sementara itu, kendala-kendala yang sering menghambat dosen untuk terciptanya budaya meneliti dan menulis perlu diminimalisasi. Seperti di antaranya, ketiadaan dana penelitian dan publikasi bagi dosen; tidak adanya waktu meneliti karena waktu habis untuk mengajar, menjabat, mengerjakan proyek di luar kampus, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat; atau terlalu banyak dan kompleksnya beban kwajiban dosen (yang meliputi kegiatan tridharma perguruan tinggi) yang harus dilaksanakan secara simultan setiap semester. Apabila tidak terpenuhi kegiatan tridharma tersebut maka beban kinerja dosen tidak akan terpenuhi dan konsekuensinya dosen tidak bisa mendapatkan tunjangan profesinya. Tak kalah pentingnya, program studi, fakultas dan perguruan tinggi perlu membangun dan menghidupkan tim penelitian yang produktif dan aktif, ataupun pelatihan-pelatihan rutin dan terjadwal sebagai lingkungan dan sarana belajar sekaligus bertukar pengalaman dalam penelitian dan publikasi ilmiah yang berkualitas. Dengan berbagai upaya tersebut, budaya meneliti dan menulis akan terbangun di kalangan dosen.
Di samping dengan memberi reward dan menciptakan lingkungan yang kondusif, budaya meneliti dan menulis pada JIB untuk dosen tidak akan terbangun jika tidak diimbangi dengan adanya target dan sanksi bagi dosen yang tidak memenuhi target penelitian dan publikasi pada JIB. Tuntutan bagi dosen dengan jabatan lektor kepala dan guru besar dalam Pedoman Operasional Beban Kerja Dosen (Keputusan Dirjendikti No.12/E/KPT/2021) yang mengatur tentang kewajiban khusus dosen dengan jabatan lektor kepala dalam tiga tahun yaitu paling sedikit memiliki 3 (tiga) karya ilmiah yang diterbitkan pada jurnal nasional terakredirasi (Sinta 1/2) sebagai penulis utama, atau paling sedikit 1 (satu) jurnal internasional, paten, atau karya senimonumental/ desain monumental (sebagai penulis utama atau pendamping), saya rasa kurang memadai. Begitupula, kewajiban khusus dosen dengan jabatan guru besar dalam tiga tahun yaitu paling sedikit: 1) menulis buku ajar atau buku tes sebagai penulis utama atau pendamping, dan 2) paling sedikit 3 (tiga) karya ilmiah yang diterbitkan pada jurnal internasional (sebagai penulis utama), atau paling sedikit 1 (satu) karya ilmiah yang diterbitkan dalam JIB, atau paling sedikit 1 (satu) paten, atau paling sedikit 1 (satu) karya seni monumental/ desain monumental, kurang memantik peningkatan kinerja dosen untuk penelitian dan publikasi ilmiah. Mungkin saja kewajiban khusus itu bisa dipertimbangkan ulang jika memang target perguruan tinggi adalah untuk membangun budaya meneliti dan menulis pada JIB. Caranya, kewajiban khusus dosen dengan jabatan Lektor Kepala perlu ditingkatkan dari yang hanya publikasi pada jurnal nasional terakreditasi atau jurnal internasional diganti dengan piublikasi karya ilmiah pada JIB untuk membangun budaya menulis pada JIB. Meskipun tampaknya berat, tapi justru target ini akan memacu dan memicu dosen untuk lebih giat menerbitkan pada JIB. Seperti pengalaman pemerintah mewajibkan dosen untuk menerbitkan artikel ilmiah pada JIB sebagai syarat ke guru besar ternyata mampu mendongkrak jumlah publikasi dosen Indonesia pada JIB dengan sangat signifikan. Namun, praktik membangun budaya meneliti dan menulis pada JIB bukan persoalan yang mudah seperti membalik telapak tangan, tentu butuh komitmen, ketekunan, pengorbanan, dan perjuangan dari dosen maupun para pimpinan program studi dan perguruan tinggi sebagai pengontrol dan evaluatornya.
Kedua, melakukan sosialiasi dan pemantauan kesesuaian antara kualifikasi akademik, penugasan Dosen dan bidang ilmu yang diusulkan untuk guru besar. Hal ini penting karena jika dosen tidak memiliki sinkronisiasi/ linieritas antara tiga hal tersebut maka pengajuan kenaikan jabatan guru besarnya akan ditolak (PO PAK 2019, hal. 58). Semisal dosen yang bersangkutan sudah terlanjur menyelesaikan pendidikan terakhir S3-nya, dan ternyata penugasan dan bidang ilmu yang diusulkan tidak sesuai dengan bidang keilmuan S3-nya, maka pimpinan fakultas dan/atau perguruan tinggi perlu mendorong dosen untuk mengajukan perubahan bidang keahlian dalam surat penugasan sekaligus perubahan bidang ilmu yang diusulkan untuk guru besar yang diajukan. Dalam hal ini, bidang keahlian dan bidang ilmu yang diusulkan harus dipastikan masih dalam satu rumpun ilmu dengan kualifikasi akademik (bisa dilihat dari tugas akhir disertasinya). Perubahan bidang keahlian penugasan dosen bisa dilakukan dengan dosen mengajukan perubahan ke pimpinan perguruan tinggi. Untuk perubahan bidang ilmu yang diusulkan wajib disinkronkan dengan kebutuhan dan formasi masing-masing perguruan tinggi atau LLDIKTI/Kopertais (SE Dirjen Dikti Kemendikbudristek No. 0434/E.E4/KK.00/2022). Apabila bidang ilmu yang diusulkan untuk guru besar tidak ada dalam kebutuhan dan formasi perguruan tingginya, maka dosen yang bersangkutan bisa mengajukan permohonan kepada pimpinan perguruan tinggi untuk perubahan surat keputusan kebutuhan dan formasi dosen. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa pemberian izin tugas belajar ataupun izin belajar bagi dosen yang akan melanjutkan studi ke program S3 harus diseleksi dengan cermat dan perlu mempertimbangkan kesesuaian kualifikasi pendidikan terakhir (S3) dengan bidang penugasan dosen dan bidang ilmu yang akan diusulkan ketika guru besar ke depannya.
Ketiga, mensosialisasikan secara intens peraturan pemerintah berkaitan kenaikan jabatan akademik dosen ke guru besar. Pengamatan saya, problem kegagalan sebagian dosen untuk naik jabatan ke guru besar karena minimnya informasi dan sosialisasi regulasi terbaru berkaitan dengan persyaratan dan mekanisme pengurusan ke guru besar. Sejak PO PAK 2019 ditanda tangani pada tanggal 16 Oktober 2019, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia telah mengubahnya sebanyak 5 (lima kali), yaitu: 1) SE Dirjen Dikti Kemendikbud No. 290/E.E4/Kp/2020 tanggal 27 Maret 2020, 2) SE Dirjen Dikti Kemendikbud No. 638/E.E4/KP/2020 tanggal 23 Juni 2020, 3) SE Dirjen Dikti Kemendikbud No. 4/2021 tanggal 22 Januari 2021, 4) SE Dirjen Dikti Kemendikbud No. 0403/E.E4/KK.00/2022 tanggal 25 Mei 2022, dan 5) SE Dirjen Dikti Kemendikbudristek No. 0434/E.E4/KK.00/2022 tanggal 31 Mei 2022. Perubahan aturan berkali-kali ini jika tidak disosialiasikan dengan intens dan lengkap bisa dipastikan banyak dosen akan tersesat dan gagal paham dalam memenuhi persyaratan kenaikan jabatan ke guru besar.
Sebagai gambaran persyaratan kenaikan jabatan dosen ke guru besar di Indonesia dipilah menjadi dua jenis, yaitu guru besar ilmu ilmu umum (Non Agama) dan guru besar llmu Agama. Kebijakan terbaru yang berlaku saat ini untuk kenaikan jabatan guru besar bidang Ilmu Umum (Non Ilmu Agama) yang dilaksanakan oleh Kemendikbudristek yakni: 1) tidak ada perbedaan masa kerja minimal (semua persyaratan khusus dan tambahan berlaku sama untuk semua dosen yang telah memiliki masa kerja di atas 10 tahun, telah menduduki jabatan lektor kepala selama 2 tahun, dan telah lulus sertifikasi dosen), 2) telah memenuhi persyaratan khusus yaitu memiliki publikasi ilmiah berbentuk artikel pada JIB (contoh Web of Science dan/atau Scopus) SJR jurnal di atas 0,1 atau memiliki JIF WoS paling sedikit 0,05 (tidak termasuk di sini adalah jurnal berstatus coverage discontinued dan cancelled di Scopus/ Scimagojr/ penerbit predator) sebagai penulis pertama sekaligus penulis korespondensi, 3) memenuhi salah satu dari persyaratan tambahan guru besar yaitu: (a) pernah mendapatkan hibah penelitian kompetitif penugasan tingkat daerah/ nasional/ kementerian/ internasional/ korporasi, atau kompetitif internal Perguruan Tinggi (sebagai ketua, kecuali penelitian program tesis/ disertasi); atau (b) pemah membimbing/membantu membimbing program doktor, atau (c) pernah menguji sekurang-kurangnya tiga mahasiswa program doktor (baik di perguruan tinggi sendiri maupun perguruan tinggi lain); atau (d) sebagai reviewer sekurang-kurangnya pada 2 (dua) jurnal internasional bereputasi yang berbeda, dan 4) memenuhi angka kredit untuk bidang utama dan penunjang sesuai proporsi yang telah diatur dalam PO PAK Dosen 2019.
Persyaratan kenaikan jabatan dosen ke guru besar untuk bidang ilmu agama agak berbeda, karena mengacu PO Penilaian dan Penetapan Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen Jenjang Lektor Kepala dan Profesor dalam Rumpun Ilmu Agama Dosen tahun 2021 (KMA No. 856/2021 tanggal 26 Agustus 2021). Menurut saya persyaratan ke guru besar bidang Ilmu Agama lebih berat. Persyaratan ke guru besar mengacu KMA No. 856/2021 yaitu: 1) memenuhi persyaratan masa kerja minimal 10 tahun sebagai dosen, telah menduduki jabatan lektor kepala selama 2 tahun, dan lulus sertifikasi dosen, sama dengan persyaratan untuk guru besar bidang Ilmu Umum, 2) memenuhi salah satu dari persyaratan tambahan yaitu: pernah mendapatkan hibah penelitian kompetitif nasional/ kementerian/ internasional sebagai ketua, atau kompetitif internal perguruan tinggi dengan jumlah dana hibah paling sedikit Rp. 100.000.000,00 sebagai ketua (boleh berasal dari kumulatif beberapa judul penelitian), atau pernah membimbing / membantu membimbing program doktor, atau pernah menguji paling sedikit 3 (tiga) mahasiswa program doktor (baik di perguruan tinggi sendiri maupun perguruan tinggi lain), atau sebagai reviewer paling sedikit pada 2 (dua) jurnal internasional bereputasi yang berbeda, 3) memenuhi persyaratan khusus yaitu memiliki karya ilmiah yang diterbitkan pada JIB dengan SJR jurnal atau JIF WoS paling sedikit 0,50 sebagai penulis pertama sekaligus penulis korespondensi (untuk dosen dengan masa kerja 10 sampai 15 tahun); atau bagi dosen dengan masa kerja di atas 15 tahun persyaratan khususnya adalah memiliki karya ilmiah yang diterbitkan pada JIB dengan SJR jurnal paling sedikit 0,15 atau SJR jurnal di atas 0,10 dan Q3, atau memiliki JIF WoS paling sedikit 0,05 (tidak termasuk dalam kriteria ini adalah jurnal berstatus coverage discontinued dan cancelled di Scopus/Scimagojr/ penerbit predator), 4) memenuhi angka kredit untuk bidang utama dan penunjang sesuai proporsi yang telah diatur dalam PO PAK Dosen Ilmu Agama.
Keempat, cegah penggunaan karya ilmiah yang direproduksi dari tugas akhir pendidikan. Penggunaan karya ilmiah pada JIB (PO PAK 2019, hal. 35) ataupun buku referensi atau buku monograph yang dihasillkan dari tugas akhir (tesis/disertasi) tidak diperbolehkan sebagai pemenuhan untuk persyaratan khusus kenaikan jabatan dosen ke guru besar (PO PAK 2019, hal. 32). Adapun karya ilmiah pada jurnal nasional terakredirtasi/ jurnal internasional selama pendidikan (tugas/ izin belajar) yang berasal dari tugas akhir (disertasi/tesis) bisa diakui dan dipergunakan hanya sebagai penambah angka kredit jika sudah dilakukan sintesis/ pengembangan dari tugas akhir dengan paling sedikit terdapat keterbaruan minimal 50% dari tugas akhirnya (SE Dirjen Dikti Kemendikbud No. 638/E.E4/KP/2020). Selain itu, publikasi ilmiah pada JIB dari hasil penelitian kolaborasi mahasiswa S3 (biasanya isinya sama dengan isi setiap bab di disertasi/ tesis) adalah karya state of the art dari suatu bidang keilmuan dan juga mengingat kepatutan maka karya ilmiah yang dapat dinilai untuk usulan kenaikan jabatan akademik/pangkat dosen adalah yang berbeda dengan isi bab disertasi/ tesis (PO PAK 2019, hal. 36). Mempertimbangkan hal tersebut, penggunaan artikel jurnal pada JIB yang dihasilkan dari penelitian tugas akhir mahasiswa (skripsi/ tesis/ disertasi) sesungguhnya tidak bisa dinilai untuk kenaikan jabatan/pangkat dosen, apalagi persyaratan khusus ke GB, apabila tidak ada yang berbeda dengan isi tugas akhir tersebut. Lantas siapa yang berhak sebagai penulis pertama dalam karya ilmiah dari tugas akhir mahasiswa? Jawabannya sudah tentu adalah mahasiswa, karena secara akademik karya tersebut sudah melekat menjadi hak cipta mahasiswa. Fenomena yang berkembang saat ini dalam konteks perjokian dunia akademik dengan memanfaatkan tugas akhir mahasiswa sebagai bahan untuk publikasi karya ilmiah pada JIB dosen tidak dibenarkan dan bisa diantisipasi oleh TPKI dengan pengecekan tingkat kemiripan (similarity) menggunakan aplikasi pemeriksa plagiarisme, seperti Turnitin atau yang lain.
Kelima, perguruan tinggi, Kopertais ataupun LLDIKTI perlu menghilangkan prosedur-prosedur atau birokrasi yang menghambat proses pengajuan kenaikan jabatan dosen ke guru besar. Hal tersebut bisa dilakukan dari pimpinan fakultas yang selalu memantau proses penerimaan, pemeriksaan kelengkapan dan pengolahan dokumen PAK dosen yang dilakukan oleh tendik fakultas. Karena terkadang, dokumen pengajuan guru besar dosen seringkali terhambat dan tidak kunjung diproses di level pertama ini. Selain tendik, keterlambatan proses pengajuan PAK juga sering terjadi karena dosen belum melengkapi seluruh dokumen, atau kesalahan dalam pengumpulan bukti pendukung, atau dokumen yang tidak memenuhi persyaratan tambahan dan/atau persyaratan khusus. Setelah dokumen lengkap dan masuk di TPKI Universitas, Rektor/Ketua bersama Waki Rektor/ Wakil Ketua perlu memantau proses penilaian karya ilmiah dosen agar bisa dinilai oleh reviewer dan disidangkan oleh Senat Perguruan Tinggi secara tepat waktu. Dokumen yang sudah diunggah secara online ke sistem PAK Kemdikbudristek maupun PAK Kemenag perlu terus dipantau oleh TPKI masing-masing perguruan tinggi dan dosen yang bersangkutan. Dengan demikian, ketika terjadi persoalan seperti kekurangan dokumen, atau kesalahan dokumen, atau kekurangan angka kredit, dan lain sebagainya bisa segera tertangani. Rata-rata proses pengajuan kenaikan jabatan dosen ke guru besar berdasarkan pengalaman saya sebagai TPKI di perguruan tinggi, sejak 2017 sampai sekarang, baik untuk ilmu umum ataupun ilmu agama, baik yang diproses di Kemdikbudristek maupun Kemenag rata-rata hanya membutuhkan waktu sekitar 7 bulan. Waktu tersebut dihitung dari dokumen diterima di TPKI Universitas hingga SK Guru Besar terbit. Saat ini, menurut saya proses pengajuan kenaikan jabatan dosen semakin cepat, transparan dan akuntabel dengan dukungan sistem aplikasi online yang membuat semua proses bisa dipantau real time, lebih efektif dan efisien, sekaligus bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Keenam, meningkatkan ketelitian dan kecermatan proses penilaian karya ilmiah dosen di TPKI perguruan tinggi dan pusat. Upaya akselerasi guru besar juga perlu didukung dengan langkah-langkah pencegahan terhadap berbagai kesempatan yang memungkinkan para oknum dosen untuk melakukan tindakan perjokian dunia akademik. Oleh karena, praktik perjokian bisa menodai kualitas guru besar dan kualitas perguruan tinggi di Indonesia. Sebagaimana disebutkan di awal, aksi kriminal terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelakunya, tetapi juga karena adanya kesempatan. Niat melakukan perjokian sebagaimana saya sebutkan di depan biasanya karena ketidakmampuan dosen untuk membuat karya ilmiah pada JIB, dan tidak mau belajar untuk bisa. Jika cara pertama yaitu membangun budaya meneliti dan menulis karya ilmiah pada JIB telah berhasil ditumbuhkan di kalangan dosen perguruan tinggi maka kecil kemungkinan dosen akan memiliki niat untuk melakukan praktik perjokian. Namun, tindak kriminal juga bisa terjadi karena adanya kesempatan untuk melakukan praktik perjokian. Oleh karena itu, agar program pengembangan karir dosen ke guru besar secara akseleratif dapat dilakukan secara etis dan regulatif maka praktik perjokian dunia akademik juga perlu dipersempit ruang geraknya dengan meminialisasi peluang lolosnya karya ilmiah dosen yang dihasilkan dari proses perjokian.
Lantas bagaimana cara mengidentifikasi apakah karya tersebut hasil perjokian ataukah tidak? Cara awal yang paling sederhana seperti yang saat ini telah dilaksanakan dalam pengajuan kenaikan jabatan dosen ke guru besar yaitu memastikan kelengkapan dokumen pendukung karya ilmiah. Langkah ini menuntut dosen harus melampirkan bukti dokumentasi proses korespondensi penerbitan karil JIB untuk persyaratan khusus (antara dosen dengan pihak pengelola jurnal maupun reviewer). Namun, biasanya cara awal ini sudah diketahui dan bisa diakali oleh para joki pembuat karya ilmiah dengan meminta dosen untuk menyerahkan email dan password mereka. Dengan demikian, seluruh dokumen korespondensi antara penulis dengan editor maupun reviewer JIB terkesan dilakukan sendiri oleh dosen tersebut. Mungkin cara pertama ini sulit untuk mendeteksi apakah terdapat indikasi praktik perjokian ataukah tidak, namun setidak-tidaknya bisa meminimalisasi.
Cara berikutnya, Tim Penilai Karya Ilmiah Dosen harus menyelidiki kualitas dari JIB yang dijadikan sebagai syarat khusus ke guru besar. TPKI harus memiliki kelihaian dan keterampilan untuk mengindentifikasi mana jurnal predator atau bukan, mana jurnal kloning atau bukan, mana hijacked journals atau bukan, mana JIB yang discontuned/ cancelled atau bukan, sekaligus mengidentifikasi kemungkinan terdapat proses penerbitan yang tidak wajar (seperti jumlah artikel yang diterbitkan per nomor yang sangat banyak, artikel yang diterbitkan dari berbagai bidang disiplin ilmu, artikel yang diterbitkan tidak sesuai focus dan scope JIB, kualitas penyuntingan artikel sangat buruk, identitas reviewer ataupun tim editor jurnal yang tidak bisa dilacak, dan seterusnya). Biasanya praktik perjokian dalam pembuatan karya ilmiah untuk kanaikan jabatan guru besar menyasar jurnal-jurnal yang proses reviewnya mudah, tidak terlalu ketat sehingga mudah untuk proses penerbitannya. Upaya pemalsuan proses pembuatan karya ilmiah untuk kenaikan jabatan dosen saat ini tidak hanya melibatkan joki manusia, tapi juga menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Perkembangan kecerdasan buatan saat ini bahkan sudah memiliki kemampuan menulis yang relatif bagus, seperti ChatGPT. Personel TPKI harus akrab dalam menghadapi praktik pemanfaatan kecerdasan buatan yang bisa disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Keterampilan dalam mengidentifikasi artikel hasil karya kecerdasan buatan atau bukan harus mulai dilatih dan dikembangkan di kalangan TPKI.
TPKI juga bisa menggunakan cara terakhir, sebagaimana yang dilakukan dalam penilaian karya ilmiah untuk kenaikan jabatan guru, untuk mencegah tindakan perjokian dunia akademik. Cara tersebut tertuang dalam Sinkronisasi Penilaian Angka Kredit Gutu “Publikasi Ilmiah” diterbitkan oleh Kemendikbud (2018) yang menjelaskan bahwa untuk mengidenifikasi keaslian karya bisa dilakukan dengan melihat yaitu “ ada perbedaan kualitas, cara penulisan, gaya bahasa yang mencolok di antara karya-karya yang dibuat oleh seorang guru yang sama”. Dalam konteks pengembangan karir dosen, TPKI bisa melihat keaslian karya dosen dengan menganalisis ada /tidaknya perbedaan kualitas, cara penulisan, gaya bahasa yang mencolok di antara karya-karya yang dibuat oleh dosen yang sedang mengajukan guru besar tersebut. Karena kemampuan menulis itu tidak ada yang terlahir dengan instan dan tiba-tiba.
Ketujuh, memperkuat peran komite etik di perguruan tinggi dan pemberian hukuman secara efek jera bagi oknum pelaku perjokian baik untuk penjual jasa maupun pembelinya. Informasi terjadinya praktik perjokian oleh dosen yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana yang melanggar hukum ini perlu ditindak secara tegas oleh kampus maupun kementerian terkait, yaitu Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan Kementerian Agama Republik Indonesia. Peran komite etik di perguruan tinggi tampaknya masih perlu dioptimalkan. Penguatan peran komite etik dan dukungan penuh dari pimpinan perguruan tinggi serta senat perguruan tinggi sangat penting untuk kelancaran kinerja meraka. Tanpa dukungan tersebut, otoritas komite etik mungkin hanya sekedar sebagai pelengkap dan formalitas dalam struktur organisasi kampus. Namun, dari fungsinya untuk menegakkan kode etik dosen bisa jadi akan mandul jika tanpa dukungan pimpinan dan senat perguruan tinggi. Apalagi ketika berbicara mengenai pemberian hukuman bagi dosen yang melanggar kode etik di perguruan tinggi bukanlah persoalan yang mudah karena dampak di kemudian hari yang tidak selalu mudah untuk dihadapi bagi tim yang masuk dalam komite etik.
Demikianlah sekelumit respon saya terhadap munculnya praktik perjokian dalam pembuatan karya ilmiah untuk persyaratan guru besar di Indonesia saat ini. Pencegahan terhadap praktik perjokian di dunia akademik yang terindikasi semakin meluas dan sistematis bisa dilakukan dengan program akselerasi pengembangan karir dosen ke guru besar secara etis dan reflektif. Namun, sekali lagi dosen adalah manusia. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang selalu ingin mencari jalan yang nyaman dan menghindari aktivitas yang menuntut banyak disiplin, yang menyakitkan, memerlukan banyak pengorbanan, tidak enak, dan tidak mudah, sebagaimana diungkapkan Rhenald Kasali dalam bukunya Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger? (2014). Senada dengan kata Mc Cleland, “Human being is a lazy organism”. Karena itulah upaya kita untuk membenahi kualitas dosen di perguruan tinggi di Indonesia dengan akselerasi guru besar secara etis dan regulatif tersebut hanya bisa terlaksana mana kala ada self discipline di kalangan dosen dan forced discipline dari pimpinan perguruan tinggi (Kasali, 2014) terhadap pelaksanaan program akselerasi guru besar di perguruan tinggi. Semoga niat, pikiran, dan tindakan baik kita semua untuk membenahi kualitas dosen Indonesia didukung semesta.**

 

Penulis: Pengamat Pendidikan Dr. Andi Prastowo, M.Pd.I, Sekretaris Tim Penilai Karya Ilmiah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Ketua Umum PD-PGMI Indonesia, Asesor LAMDIK. email: andi.prastowo@uin-suka.ac.id

Share