BPJS Kesehatan Tetap Jamin Peserta di Wilayah Terpencil

TRANSINDONESIA.co | Wilayah Indonesia yang sangat luas dan kepulauan dengan persebaran penduduk yang luas membuat pemerataan fasilitas kesehatan menjadi sulit. Kondisi ini menyebabkan ada sebagian peserta Program JKN yang belum bisa mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.

Namun, BPJS Kesehatan tetap menjamin peserta di wilayah terpencil, kepulauan, serta tidak ada faskes yang memenuhi syarat. Hal tersebut disampaikan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (11/2/2023).

“Kecepatan pembangunan memang menjadi tantangan tersendiri. Bahkan di negara lain seperti Australia Tengah pun masih ada permasalahan seperti ini,” kata Ghufron saat menjadi narasumber dalam Simposium Adventure & Remote Medicine yang diselenggarakan Universitas Airlangga, Surabaya.

“Di aspek kesehatan, kita juga masih menghadapi kurangnya tenaga kesehatan dan infrastruktur sarana dan prasarana kesehatan. Padahal kami berharap seluruh peserta JKN mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama, kualitas yang sama baik di kota maupun di wilayah-wilayah terpencil,” kata Ghufron.

Penentuan daerah tersebut sesuai Permenkes 71/2013 yang ditetapkan dinas kesehatan setempat atas pertimbangan BPJS Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas Kesehatan. Penentuan juga ditetapkan dengan surat keputusan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota yang dapat ditinjau sewaktu-waktu menyesuaikan kondisi ketersediaan faskesnya.

Ghufron menjelaskan BPJS Kesehatan sudah membayarkan kapitasi khusus bagi fasilitas kesehatan yang mampu menjangkau wilayah terpencil dan kepulauan. Pembayaran kapitasi khusus untuk 2019-2022 adalah sebesar Rp624 miliar untuk 180 FKTP pada 15 provinsi di 36 kabupaten/kota.

Untuk mengoptimalkan wilayah yang belum tersedia faskes yang memenuhi syarat, BPJS Kesehatan melakukan uji coba pemberian kompensasi. Kompensasinya berbentuk pengiriman tenaga kesehatan dan pengembangan analisis kebutuhan faskes berbasis data geografis.

Kompensasi lainnya berbentuk penjaminan layanan ambulans darat dan air untuk evakuasi medis antarfaskes, serta pengembangan telemedis. Ghufron berharap ada koordinasi lintas kementerian maupun lembaga dalam distribusi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan pada wilayah tersebut.

Ketua Ikatan Ekonomi Kesehatan Indonesia (IEKI) Hasbullah Thabrany mengungkapkan perlunya kolaborasi bersama. Kolaborasi tersebut datang baik dari pemerintah maupun inisiatif masyarakat dalam mengoptimalkan layanan kesehatan bagi wilayah terpencil dan kepulauan.

“Perlu sikap avonturir dan kerja sama multisektor. Akademisi dan pemerhati kebijakan harus bisa mengidentifikasi kebutuhan medis dan kebutuhan epidemiologis daerah terpencil,” kata Hasbullah.

Direktur RSUD Dr. H. Chasan Boesorie Ternate Alwia Assagaf mengungkapkan hampir 67 persen pasien yang mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakitnya adalah peserta JKN. Menurutnya, memang terdapat hal-hal yang harus dioptimalkan dalam pemberian pelayanan di wilayah kepulauan pada khususnya.

“Kami menyoroti biaya nonmedis yang cukup tinggi terjadi untuk menjangkau peserta maupun masyarakat di kepulauan. Selain itu, masih sulitnya akses internet sehingga implementasi telemedisin maupun layanan berbasis digital misalnya rujukan online, penerbitan SEP secara online harus menjadi perhatian bersama” kata Alwia.[rri]

Share