Perdana Menteri Belanda Diperkirakan Ajukan Permohonan Maaf Terkait Perbudakan di Masa Lalu

TRANSINDONESIA.co | Perdana Menteri Belanda Mark Rutte akan menyampaikan pidato, Senin (19/12), sebagai tanggapan atas laporan tentang peran historis negara itu dalam perdagangan budak global, yang memicu laporan bahwa ia mungkin akan mengajukan permintaan maaf pemerintah secara resmi.

Rutte hanya mengatakan bahwa pidatonya di Arsip Nasional di Den Haag akan menjadi “momen yang berarti.”

Berita tentang kemungkinan permintaan maaf mengecewakan beberapa kelompok aktivis HAM di Belanda dan bekas jajahannya yang berpendapat bahwa permohonan maaf itu seharusnya diajukan tahun depan pada peringatan penghapusan perbudakan 160 tahun lalu pada 1 Juli.

Para aktivis sendiri menganggap tahun depan sebagai peringatan 150 tahun, bukan 160 tahun, karena banyak orang yang diperbudak dipaksa untuk terus bekerja di perkebunan-perkebunan selama satu dekade setelah penghapusan.

“Mengapa terburu-buru?” tanya Barryl Biekman, ketua Platform Nasional untuk Perbudakan Masa Lalu yang berbasis di Belanda.

Pemerintah Belanda sebelumnya menyatakan penyesalan yang mendalam atas peran bangsa dalam sejarah perbudakan tetapi tidak meminta maaf secara resmi, dengan Rutte pernah mengatakan bahwa deklarasi semacam itu dapat mempolarisasi masyarakat. Namun, mayoritas di parlemen sekarang mendukung permintaan maaf.

Pidato Rutte akan disampaikan pada saat sejarah kolonial brutal di banyak negara mendapat sorotan kritis karena gerakan Black Lives Matter dan pembunuhan polisi terhadap George Floyd, seorang pria kulit hitam, di kota Minneapolis, AS pada 25 Mei 2020.

Pidato perdana menteri tersebut merupakan tanggapan atas laporan yang diterbitkan tahun lalu oleh dewan penasehat yang ditunjuk pemerintah. Rekomendasinya termasuk permintaan maaf dan pengakuan pemerintah bahwa perdagangan budak dan perbudakan dari abad ke-17 hingga penghapusan “yang terjadi secara langsung atau tidak langsung di bawah otoritas Belanda adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Laporan tersebut mengatakan bahwa apa yang disebut rasisme institusional di Belanda “tidak dapat dilihat secara terpisah dari perbudakan dan kolonialisme selama berabad-abad dan ide-ide yang muncul dalam konteks ini.”

Kota-kota Belanda, termasuk ibu kota, Amsterdam, dan kota pelabuhan Rotterdam telah mengeluarkan permintaan maaf atas peran bersejarah para pendiri kota-kota itu dalam perdagangan budak. [voa]

Share