Telat Ngguyu ala Anwar Rosyid
TRANSINDONESIA.co | Pak Anwar Rosyid dikenal sebagai kartunis dan staf redaksi koran Sinar Harapan hingga Suara Pembaharuan. Pendidikannya bukan pada seni rupa atau membuat kartun, tetapi kecintaan dan kebanggaan akan seni khususnya kartun tidak diragukan lagi. Di masa tuanya pak Rosyid tidak tinggal diam, terus berkarya dengan simbol wanita berambut keriting ala Medusa.
Perempuan perempuan yang dijadikan centre dari obyek karyanya sarat simbol dan bagi yang memperhatikannya diajak berpikir. Pak Sudi Puwono atau yang dikenal Pak Non O nongkrong di rumah saya berbincang bincang tentang karya pak Rosyid.
Pak Non O mengatakan : “karyanya Rosyid tidak begitu lucu atau lucunya belakangan, yang mengajak kita berpikir di mana lucunya.
Rosyid tidak langsung menunjukan kelucuannya secara langsung”. Spontan saya menyampaikan :” telat ngguyu”. Pak Non O tertawa terbahak bahak, sambil berkata :” wah benar juga ya, kita di bodoh bodohi sama Rosyid”.
Dari perbincangan di atas saya tuba tiba terpikir bahwa pak Rosyid hanya punya teman untuk mengapresiasi karya karyanya. Kenapa tidak dipamerkan saja, sebagai wujud interpretasi dan apresiasi. Kalau bukan teman temannya siapa lagi dan pak Rosyid menurut saya orang nya sangat humble. Tidak ingin nronjol nronjol, kalaupun di beritahu akan dipamerkan, kemungkinan besar akan menolak.
Tetapi itu urusan pak Non O membujuk rayunya. Pak Rosyid yang sederhana dan bersahaja ini sebenarnya ingin berteriak :” Ayo ngguyu …. yen ngguyu mas ojo seru seru”. Suara jiwanya tertuang dalam karyanya yang bisa di analogikan dari lagu ayo ngguyu.
Hal ini mengingatkan kita semua, bahwa tertawa itu membuat bahagia dan merupakan penggeli hati. Tertawa bukan tanpa sebab. Tertawa tanpa sebab dapat dikategorikan kurang sesendok kewarasannya alias gila. Tertawa disebabkan ada sesuatu yang lucu.
Kelucuan dari stimuli fenomena yang membuat pikiran merenung lalu tertawa. Misalnya dari perilaku sikap tutur kata bahkan langkah langkah yang diambil atau yang dilakukan sedikit atau banyak dapat dikatakan ndleyo. Tertawa bisa saja karena ada yang dijadikan korban untuk bulan bulanan atau untuk mbat mbatan dalam suatu dialog. Tertawa juga karena adanya plesetan atau parodi atau sindiran atau dari kata kata gambar atau suara yang menjungkirbalikkan logika.
Kejujuran keluguan pun dapat menjadi stimuli orang untuk tertawa. Tertawa bisa saja melihat mendengar atau merasakan sesuatu yang aneh dan tidak lazim. Dari politik, ekonomi sosial budaya ideologi bahkan hal hal yang akademik pun bisa menjadi penggeli hati.
Telat ngguyu atau terlambat tertawa ala Rosyid Anwar bisa kita lihat salah satunya dari gambar burung bangau yang kakinya diangkat satu di situ ada sarang dengan telurnya, lingkungan sekitarnya digambarkan pohonnya sudah ditebang semua. Ada lagi gambar ibu ibu menggendong tenggok berisi pisang sambil makan pisang, di kanan kirinya banyak munyuk mengikuti. Ini bisa dianalogikan makanlah pisang supaya tidak pikun, buktinya munyuk munyuk makan pisang dan tidak ada yang pikun.
Kadang bagi yang tidak mampu berimajinasi tentu sulit mengabstraksikan suatu fenomena dan kalau tertawa hanya ikut ikutan tanpa tau apa sebabnya. Atau tertawa yang dipaksa atau diancam untuk tertawa. Sehingga yang didapatinya tertawa dalam tangisan. Tertawa menjadi petaka tatkala ada ndoro yang tersinggung hingga harus koprol njengking tersungging.
Tertawa bisa saja salah sasaran dan dianggap menghina atau merendahkan. Biasanya kaum kaum feodal yang hanya bisa menjilat atau ngolor, ajaib cara berpikirnya menerapkan tertawa secara terbatas bahkan patah patah seperti gerakan robot. Ada juga yang merasa dekat dengan hal gaib atau ajian yang anti tertawa penuh ketegangan dengan aura mistis seolah dunia seakan sudah menjadi bagian alam gaib. Ada juga ndoro yang rasa kemanusiaannya lenyap entah kemana memberi senyum saja tidak mampu apalagi mengajak tertawa bahagia.
Telat ngguyu ala Rosyid Anwae mengingatkan kita kalau mau tertawa mikir dulu dan ojo seru seru. Karena kalau seru (keras) maka akan saru (tidak pantas) apalagi tertawa yang nyrempet dengan kewaguan kewaguan ndoronya,bisa menjadi petaka bahkan bisa dimatikan hidup dan kehidupannya.*
Chrysnanda Dwilaksana
Menunggu hujan di Tegal Parang 171222