Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.: [Menyoal IDI] Bukan Constitutional Question
TRANSINDONESIA.co | Oleh: Muhammad Joni, SH., MH., Advokat/Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Alumni Universitas Sumatera Utara (USU)
Diracik dari Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang fenomenal, bahwa norma Satu IDI itu Konstitusional, juga Pasti. Diulas ringan dalam buku ‘Jejak Advokasi Satu IDI – Rumah Besar Profesi Kedokteran’, satu literasi mempertahankan norma UU Praktek Kedokteran.
Buku ‘Satu IDI’ ini mengubak denyut advokasi rumah besar profesi dokter. Juga, rekam aksi, gelut pemikiran, pun skills praktis litigasi mengawal konstitusionalitas Satu IDI: norma yang pasti! Yang berusaha dinarasikan lugas dan indah bagai Aurora Borealis–agar bedah yuridis dicerna santuy, ngotak, praktis. Tanpa kengerian alkisah bedah medis. Penulis melekatkan frasa “perlindungan kesehatan rakyat dengan satu standar kompetensi” pada takwil ‘Satu IDI’. Menjadi ‘Satu IDI, yang Pasti & Pro Rakyat. Manfaat ‘Satu IDI’ itu gayeng juncto happiness untuk semua. Bukan urusan kaum dokter dan dunia kedokteran, saja. Inilah sajian nomor 39 dari 68 tulisan Buku ‘Satu IDI’.
**
Walau bukan dokter, Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. fasih mengutip lafaz sumpah Hippokrates dalam keterangan ahli Pihak Terkait PB IDI dalam perkara Nomor 10/PUU-XV/2017. Penting mengemukan pendapat Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. berikut ini. “Pembentukan dua organisasi profesi (= “organisasi kembar”) bagi dokter dan dokter gigi mempersulit penyelenggaraan bestuurzorg dalam menata dan mengawasi (= controlling) upaya pelayanan kesehatan demi kesejahteraan umum rakyat banyak, menurut Pembukaan UUD NRI Tahun 1945”. Selanjutnya, “Suatu organisasi profesi kedokteran (medical association) senantiasa berkaitan dengan pendidikan kedokteran (medical education)”.
Pendapat itu seperti “untuk kesembuhan yang sakit”, dan ayahanda Prof. Laica, begitu saya takzim menyapanya, dengan segenap kerendahan hati dan kedalaman ilmu serta kebijaksanaannya datang ke MK untuk menyampaikan pendapat yang kuat dan santun menangkis dalil pemohon yang mempertentangkan pasal-pasal UU 29/2004 dan pasal-pasal UU 20/2013 yang berkaitan dengan pendidikan kedokteran. “Tidak ternyata merupakan hal ihwal constitutional question”, demikian pendapat Prof. Laica.
Berikut ini naskah keterangan ahli Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. yang diucapkannya di hadapan majelis hakim konstitusi pada sidang tanggal 12 September 2017, yang dimulakannya setelah merundukkan kepalanya sedikit tanpa memberi hormat kepada mahkamah.
“Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia;
Permohonan Pengujian Pasal 1 angka 4, angka 12 dan angka 13, Pasal 14 ayat (1), huruf (a), Pasal 38 ayat (1) Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran oleh Para Pemohon bertujuan mempersoalkan keberadaan organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia beserta kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh pembentuk undang-undang terhadap kedua organisasi profesi itu.
Pembentukan organisasi profesi merupakan “constitutional given” sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (= UUD 1945).
Menurut Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, halaman 1089-1090, Profession adalah ”A vocation or occupation requiring special usually advanced, education and skill; e.g. law or medical professions. Also refers to whole body of such profession”.
Lebih jauh dikemukakan, “The term originally contemplated only theology, law, and medicine, but as aplications of science and learning are extended … etc, etc!
Suatu professional association atau organisasi profesi merupakan ”A group of professional organized for education, social activity, lobbying and the like; e.g. bar or medical association.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sejak dibentuk pada tanggal 24 Oktober 1950, telah merupakan organisasi profesi dokter dan berstatus badan hukum (rechtspersoon), dengan tujuan “…. untuk mendirikan suatu perkumpulan dokter warga negara Indonesia yang baru, dan merupakan wadah representasi dunia dokter Indonesia, baik dalam maupun luar negeri.”
Pasal 6 Anggaran Dasar (AD) IDI terakhir yang disahkan dalam Sidang Pleno Muktamar Medan pada tanggal 21 November 2015, tetap mencantumkan: “IDI adalah organisasi profesi dokter yang non profit bersifat nasional, independen dan nirlaba.”
Dalam pada itu, menurut Pasal 1. angka 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, menegaskan: “Organisasi Profesi adalah organisasi yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang diakui oleh Pemerintah.”
Pasal 9 AD IDI mencantumkan Status IDI sebagai berikut:
Ikatan Dokter Indonesia merupakan satu-satunya organisasi profesi kedokteran di Indonesia.
Ikatan Dokter Indonesia berbadan hukum Perkumpulan.
Pada tahun 1953, IDI diterima menjadi anggota World Medical Association (WMA) yang menghimpun semua organisasi kedokteran di dunia. Pada masa itu, Dr. HR. Soeharto terpilih kedua kalinya menjabat Ketua Umum PB IDI.
Seperti halnya dengan organisasi profesi lainnya, organisasi profesi dokter, termasuk IDI, mengemban misi pengabdian kemanusiaan, berpaut dengan upaya penyembuhan raga dan penyelamatan nyawa manusia, sebagaimana diikrarkan dalam sumpah Hippokrates (4600 – 377 SM), seorang tabib dan pengajar sekolah dokter di Pulau Kos, yang dibangun dekat Kuil Epidaurus guna pemujaan bagi Dewa Asklepios, Dewa Penyembuh, antara lain melafazkan sumpah: “I will use treatment to help to the sick according to my ability judgement but never to injury and wrong doing” (= Saya akan bertindak menolong orang sakit, sesuai dengan kemampuan dan pendapat keahlian yang saya pandang terbaik baginya, dan sekali-kali tidak untuk mencederai dan melakukan kekeliruan baginya).
Adalah menarik pula menyimak salah satu lafaz sumpah Hippokrates berikutnya: “What ever houses I may visit, I will come for the benefit of the sick, remaining free of all intentional injustice, of all mischief and in particular of sexual relations with both female and male persons, be the free or slaves (= Rumah siapapun yang saya masuki, kedatangan itu, saya tujukan untuk kesembuhan yang sakit dan tanpa niat-niat buruk atau mencelakakan, dan lebih jauh lagi tanpa niat berbuat cabul terhadap wanita ataupun pria, baik terhadap kaum merdeka maupun hamba sahaya), mengingatkan kita semua pada rumusan idiom hukum peraturan perundang-undangan (=algemene verbindende voorschriften).
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 88/PUU-XIII/2015. Tanggal 4 April 2016, dalam perkara Pemohon Drs. Srijanto, A.Md.Far., atas pengujian UU Nomor 26 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, menyatakan hanya perlu satu wadah Organisasi Profesi untuk satu jenis Tenaga Kesehatan guna memudahkan Pemerintah melaksanakan pengawasan terhadap Tenaga Kesehatan. Putusan mahkamah memandang perlu adanya campur tangan pemerintah untuk mengontrolnya.
Dalam hukum administrasi, campur tangan pemerintah lazim dikenal dengan penamaan bestuurzorg (= pelayanan publik) selaku konsekuensi keberadaan Negara Kesejahteraan (= Welfare State). Pembentukan dua organisasi profesi (= “organisasi kembar”) bagi dokter dan dokter gigi mempersulit penyelenggaraan bestuurzorg dalam menata dan mengawasi (= controlling) upaya pelayanan kesehatan demi kesejahteraan umum rakyat banyak, menurut Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Suatu organisasi profesi kedokteran (medical association) senantiasa berkaitan dengan pendidikan kedokteran (medical education). World Medical Association Declaration – WMA. 5th World Confrence on Medical Education (= 2006, Pilanesberg, Afrika Selatan) merekomendasi pelibatan organisasi profesi dokter tiap negara (= national medical association) dan WMA dalam mengemban Medical Education yang berkesinambungan. Bagi WMA, Medical Education is continuum of learning, beginning with admission to medical school and ending with retirement from active practice.
Mencermati pasal-pasal UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan pasal-pasal UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang berkaitan dengan pendidikan kedokteran, tidak ternyata merupakan hal ihwal constitutional question yang oleh Para Pemohon dipandang bertentangan dengan Pasal 1. ayat (3), Pasal 27. ayat (1), Pasal 28. ayat (2) dan Pasal 28D. ayat () UUD NRI Tahun 1945.
Pasal-pasal UU Nomor 29 Tahun 2004 dan pasal-pasal UU Nomor 20 Tahun 2013 yang dipersoalkan Para Pemohon berpaut belaka dengan LEGAL POLICY pembuat undang-undang berkenaan dengan hal pengaturan dan prosedural pendidikan kedokteran. Legal Policy pembuat undang-undang memuat kebijakan (“policy”) berkenaan dengan penerapan kehendak dan perintah UUD yang pada ketikanya lebih jauh dimungkinkan mendelegasikan pengaturan kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Pada umumnya Legal Policy pembuat undang-undang lebih dimaknai sebagai upaya penerapan kehendak dan perintah UUD, tidak berkaitan dengan constitutional question yang mempersoalkan apakah suatu undang-undang (= wet, gesetz, droit) bertentangan dengan UUD atau Verfassung.
Perolehan Sertifikasi Kompetensi yang memungkinkan seorang dokter dan dokter gigi untuk menjalankan praktek dokter setelah lulus uji kompetensi bertujuan meningkatkan mutu pendidikan kedokteran dalam rangka pelayanan kesehatan, menurut Pasal 28H. ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Keharusan mahasiswa peserta pendidikan kedokteran untuk terlebih dahulu lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa serta memajukan kesejahteraan umum, menurut Alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Demikian Keterangan Ahli dibuat dengan sebenarnya. Semoga ALLAH, Hakim yang Maha Adil menurunkan baroqah pada kita semua.
Jakarta, 12 September 2017
Tabik. (Bersambung #40)