Kolegium ‘Nucleus’ Profesi Dokter

TRANSINDONESIA.co | Oleh: Muhammad Joni, SH. MH.

Diracik dari Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang fenomenal, bahwa norma Satu IDI itu  Konstitusional dan Pasti. Diulas ringan dalam buku ‘Jejak Advokasi Satu IDI – Rumah Besar Profesi Kedokteran’, satu literasi mempertahankan norma UU Praktek Kedokteran.

Buku ‘Satu IDI’ ini mengubak denyut advokasi rumah besar profesi dokter. Juga, rekam aksi, gelut pemikiran, pun skills praktis litigasi mengawal  konstitusionalitas Satu IDI: norma yang pasti! Yang berusaha dinarasikan lugas dan indah bagai Aurora Borealis  –agar bedah yuridis dicerna santuy, ngotak, praktis. Tanpa kengerian alkisah bedah medis.

Penulis melekatkan frasa “perlindungan kesehatan rakyat dengan satu standar kompetensi”pada takwil ‘Satu IDI’. Menjadi ‘Satu IDI, yang Pasti dan Pro Rakyat. Manfaat ‘Satu IDI’ itu gayeng juncto happiness untuk semua, bukan urusan kaum dokter dan dunia kedokteran, saja. Inilah sajian nomor 58 dari  68 tulisan Buku ‘Satu IDI’.

**

Pilot pesawat penerbangan sipil wajib diuji lagi skills terbangnya 6 bulan sekali, demi keselamatan terbang. Tak musti ke kampus lagi! Pun demikian dokter. Apalagi dokter berkaitan dengan tubuh (dan jiwa) manusia.

Benarkah kehendak mengeluarkan Kolegium Kedokteran ataupun Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI)? Bisakah memisahkan profesi dokter dari pendidikan profesi kedokteran? Tepat dan bijakkah menjadikan Kolegium Kedokteran di luar IDI dan tidak lagi inheren bagian Organisasi Profesi (OP)?

Semisal mempersilakan pendidikan profesi Hakim kepada Fakultas Hukum? Haruskah dokter kembali ke kampus Fakultas Kedokteran (FK) lagi untuk resertifikasi kompetensi. Ikhwal kompetensi beda dengan pendidikan lanjutan magister kedokteran.

Atau, ikhwal pendidikan menaikkan kompetensi dokter itu tetap menjadi domein pendidikan profesi kedokteran seperti sudah sah dan ajeg sampai saat ini? Mari periksa UU 29/2004 yang mengatur profesi dan praktik kedokteran. Kolegium kedokteran adalah bagian dari subsistem praktik kedokteran dalam UU 29/2004. Kolegium tidak muncul dalam norma dan sistem UU 20/2013. Namun mengakui Organisasi Profesi, walau tidak eksplisit menyebut IDI.

Beralasan kuat jika yang dimaksudkan Organisasi Profesi dalam UU 20/2013  adalah IDI. Jika tidak, siapa lagi? Karena sesuai dengan UU 29/2004 dan relevan Pasal 50 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan serta putusan MK perihal pengujian Pasal 50 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan  yang amar putusan MK mempertahankan hanya satu organisasi profesi tenaga kesehatan.
Lha, kalau Tenaga Kesehatan saja musti hanya satu Organisasi Profesi, konon pula dokter yang merupakan captain of the team dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Tersebab itu, imaji menghendaki pisahnya Kolegium dari IDI dalah kehilangan ontologis, ahistoris, vis a vis formal-juridis UU 29/2004, UU 20/2013 , UU Tenaga Kesehatan.

Keliru jika hendak memisahkan Kolegium kedokteran ataupun MKKI sebagai bukan inheren Organisasi Profesi lagi. Kelitu pula jika memosisikan Kolegium sebagai hanya Badan Hukum Pendidikan biasa alias bukan Organisasi Profesi IDI lagi. Hal itu justru merugikan kepentingan ‘patient savety’ dan ‘profesional trust’. Mau berapa banyak kolegium sebagai percabangan ilmu kedokteran hendak dibentuk?

Posisi Kolegium kedokteran ataupun MKKI pada Organisasi Profesi sudah berjalan ajeg dan sahih diakui UU 29/2004. Soal pemisahan ini isu lama yang diangkat lagi. Sebab isu pemisahan Kolegium kedokteran itu sudah tuntas juga dibahas final dengan kajian paripurna tatkala pembahasan RUU Praktik Kedokteran menjadi UU 29/2004.

Lagi pula profesi dokter menjadi istimewa seperti pertimbangan MK karena terkait kompetensi atas tubuh manusia yang musti terus ditambah ilmu pengetahuan dan skills nya. Hanya langkah mundur dan kemunduran yang diraih karena pemisahan Kolegium dari Organisasi Profesi.

Kehendak memisahkannya dari Organisasi Profesi, kua-konseptual adalah kehendak yang ahistoris, tidak aktual, lepas kontekstual, dan berbahaya karena langkah besar kemunduran praktik kedokteran. Mengapa? Karena jika menghilangkan anasir pendidikan dan peningkatan kompetensi profesi dari Organisasi Profesi, maka hal itu mencabut ruh Organisasi Profesi. Dan tentunya merugikan hak konstitusional rakyat atas pelayanan kesehatan.
Kekeliruan frontal jika memaknai Organisasi Profesi cq IDI sebagai organisasi biasa, selayaknya organisasi kemasyarakatan (ormas), alias tak berbeda dengan asosiasi pekerja biasa.

Padalah, dokter bukan pekerjaan biasa, tetapi profesi yang terikat dengan Sumpah Dokter, norma etika, norma disiplin, dan norma hukum. Justru dokter menjadi istimewa karena terikat dengan 3 norma itu: etika, disiplin dan hukum sebagaimana pertimbangan putusan MK No.14/PUU-XII/2014.
Bagaimana dengan IDI? Jelas dalam AD IDI ditentukan bahwa Kolegium kedokteran bagian dan inheren IDI sebagai satu kesatuan dalam Satu IDI.

Artinya, mengikuti UU 29/2004, Kolegium kedokteran adalah domein profesi dan inheren Organisasi Profesi, bukan akademi dalam arti pendidikan tinģgi kedokteran yakni Fakultas Kedokteran. Kolegium kedokteran adalah domein pendidikan profesi kedokteran, sebagaimana diksi dan norma dalam Pasal 24 ayat 2 ART IDI. Satu IDI harga mati! Tabik.

(Bersambung #59)

Share