Ribuan Orang Hadiri Pemakaman Wartawan Pakistan yang Dibunuh di Tengah Meningkatnya Ketegangan Politik

TRANSINDONESIA.co | Ribuan orang tiba di Islamabad pada Kamis (27/10) untuk menghadiri pemakaman seorang wartawan investigasi Pakistan yang sangat dihormati, yang tewas dibunuh secara misterius ketika berada dalam pengasingan diri di Kenya.

Pemakaman itu digelar di tengah tuduhan bahwa kematiannya terkait dengan penindasan media di Pakistan.

Arshad Sharif, 50 tahun, ditembak mati di kepalanya oleh petugas kepolisian di sebuah pos pemeriksaan di luar ibu kota Kenya, Nairobi, pada Minggu (23/10) dalam apa yang dinyatakan sebagai kasus “salah sasaran” pada peristiwa pembajakan mobil. Polisi menyatakan penyesalan atas “insiden malang” itu.

Reporter peraih penghargaan sekaligus kritikus keras pemerintahan dan militer Pakistan yang kuat itu melarikan diri dari negara tersebut pada Agustus lalu. Ia mengeluhkan ancaman pembunuhan dan lebih dari selusin kasus penghasutan kontroversial yang dialamatkan kepadanya sebagai bagian dari penindasan media di Pakistan oleh pemerintah setempat.

Pembunuhannya mengejutkan dan memicu amarah banyak pihak di Pakistan. Ia merupakan jurnalis terkemuka yang membawakan sebuah program bincang-bincang politik populer “Power Play” selama bertahun-tahun di saluran televisi swasta ARY News sebelum meninggalkan negara tersebut.

Sekitar 20.000 pelayat, termasuk wartawan, politikus dan masyarakat umum menghadiri upacara pemakaman di Masjid Agung Faisal di Islamabad. Kerumunan pelayat itu meneriakkan kata “Revolusi,” di mana beberapa di antaranya menuduh militer Pakistan merencanakan pembunuhannya.

Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif, yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan sang jurnalis, telah memerintahkan pembentukan komite penyelidikan beranggotakan dua orang untuk mengunjungi Kenya, untuk mencari fakta atas kematian sang wartawan dan memberikan laporan kepada pemerintah Pakistan.

Juru Bicara Militer Pakistan Letnan Jenderal Babar Iftikhar pada hari Kamis mendukung seruan penyelidikan yang “imparsial dan transparan” atas keadaan yang menyebabkan kematian Sharif di Kenya.

Dalam konferensi pers yang ditayangkan televisi, Iftikhar mendesak masyarakat agar berhenti menuding dan membiarkan komisi penyelidikan menemukan kesimpulan.

Berdampingan dengan Iftikhar, Kepala Mata-Mata Pakistan Letnan Jenderal Nadeem Ahmed Anjum mengatakan, lembaganya dan pihak militer tidak tahu-menahu soal pembunuhan Sharif dan membantah mereka berada di balik penindasan terhadap wartawan. Anjum mengatakan, ia sudah berkomunikasi dengan pihak Kenya mengenai penyelidikan yang mereka lakukan atas insiden tersebut.

“Mungkin kami dan pemerintah belum sepenuhnya yakin. Itu sebabnya pemerintah membentuk sebuah tim yang akan menuju Kenya,” kata Anjum.

Itu adalah pertama kalinya dalam sejarah Pakistan seorang kepala lembaga mata-mata negara, Inter-Services Intelligence (ISI), memberikan pernyataan dalam konferensi pers resmi.

“Kami tidak memiliki permusuhan pribadi dengannya,” kata Anjum, merujuk kepada mendiang Sharif. “Wartawan lain mengatakan mereka menerima telepon dari [petugas ISI]. Itu semua bohong.”

Pernyataan Anjum muncul di tengah tuduhan luas bahwa pejabat sipil dan militer Pakistan tengah melakukan penindasan terhadap kebebasan media massa dan perbedaan pendapat politik untuk meredam kritik terhadap mereka.

Beberapa jam setelah pejabat tinggi militer berbicara, Badan Penyelidikan Federal menangkap pembawa program berita politik utama stasiun TV ARY lainnya – Chaudhry Ghulam Hussain – di kota Lahore.

Badan federal Pakistan itu mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa jurnalis veteran itu “dicari” sehubungan dengan kasus penipuan bank sejak tahun 2003. Hussain, yang dikenal karena kedekatannya dengan militer dan pandangan pro-militernya yang kuat, belakangan justru menjadi kritikus vokal institusi keamanan tersebut. Pihak keluarga mengonfirmasi penangkapannya dan mengatakan bahwa ia ditangkap “dalam kasus tak berdasar.” [voa]

Share