Para Pencari Semangat: Kedai Cak Yo, Kampus Maslow dan ‘Citayam Fashion Show

TRANSINDONESIA.co |Entah tersebab apa,  semangat saya menjulang tinggi, ketika kampus jadi tujuan pergi. Rasanya usia menjadi juvenile, lagi. Seakan saya anggota kelab Para Pencari Semangat, saja.

Moda MRT tidak patik naik. Saya rela  menelesuri jalan tol outer ring road ke arah Bintaro yang dilabel “kota mandiri”.

Arus tol siang itu agak merayap padat. Tak soal, demi hadiri pertemuan rutin yang penting dalam manfaat. Tidak formal, namun bergizi. Tidak buat mual. Substansial, dan aktual.

Pertemuan itu membawa gembira. Dengan para ahli/praktisi properti perumahan. Hari itu Kamis, dua tahun lalu: 11-7-2019, di kampus Universitas Pembangunan Jaya.

Postulat buatan saya: mencari ilmu itu contained rasa gembira. Bukan aniaya dan merana. Apalagi cuma mahal pada harga.

Kampus UPJ itu bertumbuh di sisi jalan tol dan rel. Seakan kiri-kanan jalan tol dan rel adalah episentrum pembangunan. Ya.., hanya selemparan senyum dan sepandangan mata dari stasiun kereta Jurang Mangu, melewati tapal Jakarta. Walau sepasang rel tak pernah saling bersua untuk tegur, senyum, sapa. Kecuali ada perkara tabrakan kereta.

Mendapati UPJ pun mudah. Hanya melewati sedikit jarak. Ada jalan dua arah. Belok tajam ke kiri dan lanjut menyeberang dari sisi selatan Bintaro Exchange Mall (BXM). Langsung belok patah nyaris 90 derajat ke area kampus UPJ.

Acap seorang remaja lelaki kreatifis kota menjadi pemandu simpang berkelok patah yang sedikit terjal. Dia siap membantu anda ke jalan arteri menuju gerbang kampus, tanpa portal.

Dari namanya, UPJ –begitu universitas dari group bisnis Jaya itu disingkat–   tengah bergeliat: membangun dan jaya. Ya.., pembangunan adalah nama depannya.

Kala itu, gedung baru sedang digiat. Tumbuh bertingkat. Persis di depan gedung utama kampus seawal-mula.

Lantai dasarnya dibiarkan  menjadi selasar lega. Menjadi ruang terbuka. Sivitas akademika bisa bersua raga dan idea. Seperti konsep “ruang ketiga” kawasan Dukuh Atas kini, yang pembangunannya berkonsep TOD (Transit Oriented Development).

Tampilan depan arsitektur gedung full glassed dan sign-board nama kampus  tampak jelas, pun ditengok  sekilas dari jalan tol ruas Bintaro-BSD yang membelah BXM dan UPJ.

Jangan tengok lama-lama, sekilas senyum saja. Jika lama, bahaya bagi pengendara.

Saya mendatangi UPJ untuk kali kedua. Untuk helat diskusi. Saya beruntung berhimpun dengan para ahli/praktisi yang beragam disiplin dan profesi, dengan intensi mengulas properti. Inheren perumahan, permukiman dan studi perkotaan.

Beda dengan diskusi subsider dialog  biasa, mungkin itu yang disebut simposium, ya?

Koq UPJ? UPJ tengah bekerja sama dengan The HUD (Housing and Urban Development) Institute mendialogkan beberapa isu properti dan studi perkotaan, khususnya TOD.

Perlu dicatat, TOD adalah jurus rejuvenalisasi kota dengan pemanfaatan tanah secara mixed used (campuran). Menggabungkan transportasi masal, fungsi hunian, komersial, dan bahkan vertical housing bersubsidi bagi MBR.

Tak boleh pula dilupa, TOD menggabungkannya dengan hukum, pun demikian kebijakan/politik perumahan. TOD Dukuh Atas adalah contohnya. Komuter pun generasi Z warga Citayam bisa mencari semangat dengan mengakses “ruang ketiga” Jakarta. Siapa menduga berkah  situs”ruang ketiga” itu mampu menggerakkan anggota Para Pencari Semangat.

Petang itu di UPJ yang parlente, saya sempatkan sumbang pikiran perihal Keputusan Menteri PUPR No.535/2019 paling anyar. Kebijakan ikhwal harga jual perumahan tapak bersubsidi bagi MBR.

Beleids Menteri harus efektif sejak diteken. Tak perlu instruksi, usah gelar rapat lagi, ataupun memo disposisi.

Kebijakan harga baru rumah tapak bersubsidi bagi MBR –yang sudah lama ditunggu itu–  ‘host to host’ bisa segera “ON” alias langsung jalan, tanpa hambatan.

Demi sukses program sejuta rumah (PSR) yang di tahun 2019 targetnya dinaikkan. Demi mengatasi backlog dan menggairahkan developer rumah MBR (masyatakat berpenghasilan rendah).

Jika beleids sudah “ON” sekelak, jangan pula kuota subsidi pembiayaan rumah MBE a.k.a FLPP-nya tidak cukup pulak.

**

Helat diskusi di kampus UPJ itu usai jelang magrib. Sayup terdengar suara ayat-ayat Al Quran dibacakan, menerobos gedung, merambat ke  ruang tempat kami asyik ber-“simposium”.
Atas jasa baik perkakas mik dari masjid kampung sebelah kampus UPJ yang masuk wilayah Ciputat, Tangerang Selatan.

Jelang majelis diskusi tiba pada tutup kalimat, saya sempatkan interupsi. Upss, minta masa buku karangan saya berkenan dibagi, 5 eksemplar ‘Ayat-Ayat Perumahan Rakyat’ untuk UPJ diserah, sebagai hadiah.

Tradisi memberi hadiah buku itu momentum mewah. Itu satu alasan saya dilanda kucuran semangat. Banjir endorphin enzim bahagia sampai petang tiba. Walau sore ini belum mereguk secangkir kopi.

Usai magrib berjamaah di mushola lantai 5, kami keluar dari wadah Fakultas Teknologi dan Disain (FTD) yang agak jangkung berstarata itu dengan wajah tergelak sumringah.

Btw.., ini bukan promosi, just sedikit informasi. Bahwa  FTD UPJ terdiri 6 program studi:
– Prodi Teknik Sipil;
– Prodi Arsitektur;
– Prodi Desain Produk Industri, Prodi Desain Komunikasi Visual;
– Prodi Teknik Informatika, dan;
– Prodi Sistem Informasi.

So, belum ada Prodi Hukum Perumahan dan Perkotaan. Entah ketika almanak berganti nanti, seperti FK akan buka di IPB University?

Namun saya suka dan bersemangat tinggi jika diajak bermajelis ke sana, lagi.

Kami tiba di pekarangan kampus yang merangkap area parkir. Beberapa foto berlatar pucuk gedung UPJ yang ada logo group Jaya,  sempat dijepret. Berkat jasa baik rekan Fadly Wayan –urang sumando asal Bali beristri padusi Bukit Tinggi yang magister ekonomi subsider praktisi akuntan– bersemangat mengabadikan kami. Di atas kepala, ada senja berwarna merah saga di langit UPJ. Seperti ada “TOD” genetis menyatukan sosok Uda/Bli Wayan Fadli.

Foto saya, pak Bembi dan pak Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum The HUD Institute, sekelak jadi. Bisa jadi bahan narasi opini, kataku dalam hati. Jauh dari sekadar narsistis.

Kami masih tegak. Masih bercakap-cakap. Sampai benar-benar hendak beranjak pulang, kami masih bersemangat.

Ehh, ada yang  hendak meneraktir makan sop buntut ‘Cak Yo’, kedai kuliner bermerek, lho.

Inilah berkah berkumpul dari magrib berjamaah. Kami bergerak, janji kumpul lagi di BXM, lompat ke kawasan sebelah, memanfaatkan jurus TOD.

Wah.., bakal lanjut buka kitab, nih. Bersiap meremajakan isi kepala lagi, nih. Aura batin saya terasa gurih.

Di manapun. Kami semangat berdiskusi lagi. Makan dan bicara, atau bicara dan lanjut makan lagi, memang viral yang aduhai.

Selain pandai di simposium yang “angker”, harus pula pandai makan dengan segala ‘table manner’.

Kawan saya yang jago makan bilang, “lebih baik sedikit bodoh di sekolah daripada banyak bodoh di meja makan”.

Rupanya, kalau sudah berkumpul, semangat tetap menyala, walau aba-aba jelang senja tiba.

Ada kumpul, maka banyak berkah. Seperti berkah berjamaah.  Alhasil semua tempat menjadi kampus. Semua ruang menjadi podium. Semua waktu adalah simposium.

Tak hanya di ruang kelas. Bisa di kedai. Di selasar lebar. Di pengkolan jalan. Di bangku taman, bahkan ruang maya group WA. Ataupun legitnya bangku panjang gerbong kereta dalam perjalanan pendek arus balik MRT yang lapang.

Kalau menaiki MRT, bacalah doa, walau satu ayat. Rancanglah pertemuan, ucapkan kalimat tak panjang, setelah itu ajak makan-makan.

Mirip kata kawan saya di kampus Padang Bulan USU,  dulu:  “..diajak makan, semangat-lah awak”.

**

Seperti fenomena kreatifis muda komuter “SCBD” dan “Citayam Fashion Week” (CFW), istiadat MRT terkoneksi TOD, ialah: bergerak!  Tidak berdiam. Bergerak tanpa hambatan adalah HAM. Itu basis gagasannya. Jangan kecilkan fenomena CFW itu. Mereka ialah Para Pencari Semangat, yang kreatif.

Datang dan pergi meninggalkan setopan. Karena halte setopan bukan penginapan. Walau mewah, aman, tanpa kengerian, dan murah, setidaknya memenuhi syarat Ability to Pay.  Begitu Narasi ringkasnya.

Datangilah persilangan stasiun CSW –sebagai Karya. Saya bertaruh,  kagum anda pasti meruah kepada Gubernur Jakarta. Saya menyebut Anies membangun Jakarta dengan basis Trilogi GNK:  Gagasan. Narasi. Karya.

Para pengguna halte seperti stasiun CSW punya tujuan sendirian,  yang mungkin berbeda, walau tampak naik dan turun di halte/stasiun serupa. Dwnhan satu kesamaan hak, yakni hak bergerak.

Sekali lagi:  bertransportasi, bergerak bebas adalah HAM. Dijamin Pasal 27 ayat (1) UU HAM juncto Pasal 12 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.

Sering-sering pergi ke kampus-lah. Meremajakan usia amaliah. Usia  diskusi. Usia membaca. Usia menulis. Usia gembira. Usia bahagia; yang tak sama dengan usia biologis-kronologis.

Sering-sering bertemu orang sholeh. Datangi “simposium”, menambah guna volume kepala. Jangan lupa jaga stamina.

Satu lagi. Semangat-lah. Usah risau diajak atau tidak makan siang. Itu hanya kebutuhan strata paling rendah, jika ditakar dari hirarchy of need milik Abraham Maslow. Strata kebutuhan paling bawah adalah…? Makan!

Kalau Physiological needs. Apa saja?  These are biological requirements for human survival, e.g. air, food, drink, shelter, clothing, warmth, sex, sleep.

Strata paling tinggi? Aktualisasi potensi personal. Aktualisasi potensi itu,  hidup anda bersemangat. Apa saja? Bisa dicari dan dipelajari sendiri. Kunjungilah situs sang psikolog humanistik Abraham Maslow. Kampus pak Maslow masih ramai. Bagi amba, menulis opini itu misi aktualisasi diri dan menyukuri potensi anugerah kognisi dari Ilahi Rabbi.

Majelis pembaca. Saya tak kapok bergerak pergi ke kampus dan lain-lain “kampus” untuk aktualisasi diri. Untuk ber-“simposium”.
Tentu, sangat insaniawi jika kita perlu banyak gizi. Perlu semangat tinggi. Idemdito untuk berjuang menjadi Good Citizen di Jakarta Global City, perlu memperbanyak kawan, melahap “Cak Yo” dan ke melalak ke Kampus Maslow. Selain tentu perlu Good Governor.  Tabik.

(Advokat Muhammad Joni, Ketua Kornas Perumahan Rakyat, Sekretaris Umum The HUD Institute)

Share