BNPB Beri Pelatihan Kepemimpinan Situasi Krisis bagi Bupati dan Wali Kota se-Sultra
TRANSINDONESIA.co | Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto, secara resmi membuka kegiatan _Leadership Development Programme For Disaster Risk Management_ “Kepemimpinan Pada Situasi Krisis” bagi bupati dan wali kota se-provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) di Badung, Bali, Sabtu (21/5/2022). Kegiatan pelatihan kepemimpinan pada situasi krisis kebencanaan itu sekaligus menjadi kegiatan penting yang mengawali penyelenggaraan _Global Platform for Disaster Risk Reduction_ (GPDRR) ke-7 di Nusa Dua, Bali, pada 23-28 Mei 2022.
Dalam sambutannya, Kepala BNPB mengatakan bahwa Indonesia menjadi salah satu dari 35 negara di dunia yang memiliki tingkat risiko bencana tertinggi di dunia, sebagaimana menurut World Bank pada tahun 2019. Data dari 1 Januari 2022 hingga 20 Mei 2022 tercatat ada 1.560 kejadian bencana yang artinya hingga saat ini setidaknya terjadi 11 kali bencana setiap hari di tahun 2022.
Menurut data BNPB, Provinsi Sulawesi Tenggara sendiri memiliki 17 kabupaten/kota yang mana sebanyak 14 wilayah tersebut memiliki tingkat risiko bencana tinggi dan 3 lainnya berisiko sedang. Langkah-langkah peningkatan kapasitas, kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana seperti yang dilakukan melalui pelatihan kepemimpinan menjadi komitmen yang sudah sesuai koridor dan sangat penting.
“Kegiatan yang kita selenggarakan ini sudah betul, karena Sulawesi Tenggara pun tidak lepas dari ancaman bencana,” jelas Suharyanto.
Lebih lanjut, Suharyanto mengingatkan apa yang menjadi arahan dari Presiden RI Joko Widodo dalam Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Rakornas PB) Tahun 2022, yang menekankan tentang peran penting pemerintah daerah seperti tanggung jawab mutlak sebagai komandan satgas darurat saat terjadi bencana, menyusun rencana kontijensi, meningkatkan kepemimpinan dan penyusunan program yang berorientasi pada ketangguhan terhadap bencana.
“Saya mengingatkan juga apa yang disampaikan oleh Bapak Presiden, bahwa pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab mutlak terkait penanggulangan bencana,” kata Suharyanto.
Dalam kesempatan itu, Kepala BNPB juga menjelaskan bahwa selain Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana telah dijelaskan secara eksplisit dalam UU 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah dan PP 2/2018 tentang Standar Pelayanan Minimum, yang implementasinya dijelaskan dalam Permendagri 101/2018.
“Payung hukum untung penanggulangan bencana selain UU Nomor 24 tahun 2007, ada juga UU 23 tahun 2014 yang dipertegas lagi melalui PP/2018 tentang Standar Pelayanan Minimum bagi setiap kepala daerah, baik bupati maupun wali kota,” jelas Suharyanto.
Pada implementasinya, Suharyanto memahami bahwa penanggulangan bencana di tiap-tiap daerah selalu memiliki dinamikanya masing-masing. Ada daerah yang sudah baik dan cepat dalam penanggulangan bencana, ada daerah yang biasa-biasa saja dan ada pula wilayah yang masih lambat serta kurang maksimal. Kepala BNPB berharap agar segala dinamika itu dijadikan momentum untuk pembelajaran dan perbaikan di masa depan.
“Bencana silih berganti di Indonesia ini. Ada yang penanganannya cepat, ada yang biasa-biasa saja dan ada yang lambat. Kita tidak usah menghakimi. Tapi pengalaman daerah lain hendaknya dijadikan cermin bagi kita,” kata Suharyanto.
Penanganan Covid-19
Pada kesempatan itu, Letjen TNI Suharyanto yang juga menjabat sebagai Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 mengapresiasi kepada seluruh pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tenggara yang dapat mengendalikan pandemi Covid-19 dengan baik. Menurut Suharyanto, hal itu patut disyukuri. Meski ada kenaikan kasus konfirmasi dalam skala nasional, namun hal itu tidak signifikan dan rasio _Bed Occupancy Ratio_ (BOR) Rumah Sakit masih terjaga dan terkendali.
“Sulawesi Tenggara dapat kita banggakan karena hingga saat ini merupakan provinsi dengan jumlah kasus aktif paling rendah di Sulawesi,” ungkap Suharyanto.
Di sisi lain, Suharyanto menyoroti bahwa pelaksanaan vaksinasi, khususnya hingga dosis ke tiga di Sulawesi Tenggara masih rendah. Berdasarkan catatan, cakupan vaksin dosis I sudah mencapai 88 persen, dosis II 62 persen dan dosis III atau _booster_ 7,9 persen. Melihat hal itu, Suharyanto berharap cakupan vaksinasi dapat terus ditingkatkan sampai dosis ke tiga, sehingga masa transisi menuju endemi dapat lebih dioptimalkan.
“Kita harapkan cakupan dosis II bisa terus ditingkatkan dengan dosis III. Agar semangat kita dalam masa transisi menuju endemi benar-benar dapat dioptimalkan,” pungkas Suharyanto.[kio]