Walau Langit Hendak Runtuh, Dokter adalah Dokter! #Istimewa dalam Tanggungjawab
TRANSINDONESIA.co | Dokter profesi istimewa. Begitu pendapat yang diturunkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Mengapa? Sebab dokter terikat dengan 3 (tiga) norma sekaligus: etika, disiplin dan hukum.
Cuma dokter/dokter gigi yang boleh bertindak atas tubuh pasien seperti membedah dengan pisau yang secara faktual membuka otot dengan membelah kulit, jaringan dan otot, atau mencabut akar gigi pasien akan tetapi tidak dikualifikasi delik kekerasan atas tubuh orang. Kompetensi Dokter menegasikan perbuatannya bukan kejahatan atas tubuh orang lain.
Ini yang dikenali sebagai kompetensi medis yang sahih. Karena, opini medis yang diberikan dan tindakan medis yang dilakukan Dokter dengan berbasis fakta medis pasien dan hasil periksa laboratoris. Tindakannya base on evidance. Sifatnya sebagai helper profession.
Artinya? Dalam memberikan tindakan, Dokter tidak bisa dengan melihat foto atau reproduksi gambar amatir, apalagi dari seliweran posting asalan-feat-sadistis di jagat sosial medis, yang belum tentu aseli benar apalagi otentik.
Dokter tak bisa jumping conclusion membuat diagnosa sebelum enamnesa, periksa keluhan dan gejala klinis, bahkan pemeriksaan penunjang.
Namun untuk menilai dan memberikan saran tindak medis adalah wewenang Dokter. Dokter dalam posisi sebagai “captain of the team” diantara tenaga kesehatan lain.
Dokter-lah yang memberi opini medis dan diagnosa, bukan perawat, ners, ataupun ahli ronsen atau tenaga kesehatan lain. Walau tenaga kesehatan lain paham membaca hasil laboratorium dan mengerti tindakan medis secara kua-teknis, akan tetapi tak mempunyai kompetensi medis.
Pelajarannya? Hanya Dokter-lah yang berwenang menilai status kesehatan. Bukan lawyer, tenaga kesehatan non dokter, anggota/ ketua majelis, apalagi warganet yang awam dan bukan pula Dokter.
Klik:Walau Langit Hendak Runtuh, Dokter adalah Dokter!
Sekali lagi, Dokter tak boleh menilai pasien, tanpa anamnesa tatap muka, tanpa gejala klinis membuat diagnosa medis, apalagi jika tanpa periksa? Dokter bukan mesin pintar tele-“dokter”.
Katakanlah jika ada dugaan kekeliruan atau keganjilan diduga dilakukan Dokter yang diklaim tak sesuai standar medis, periksalah faktanya yang nyata. Ajukan saja melalui forumnya. Dengan batu uji 3 norma tadi. Etika diuji dengan Kode Etik. Melalui media bertitel Majelis Kehormatan Etika Kedokteran, bukan kepada social media.
Etika adalah samudera tempat berlayarnya “perahu” hukum. Apa jadinya perahu tanpa samudera? Kecuali sakat dan sia-sia!
Sudah lama diakui dan dijaga Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Dugaan pelanggaran disiplin diuji dengan norma disiplin. Forum ‘pengadil’-nya adalah MKDKI, akronim dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, yang independen dalam wadah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Keduanya dibentuk UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Dugaan pelanggaran hukum diuji dengan norma hukum, baik pidana ataupun perdata. Walaupun, jangan pula anda gagal membedakan mana resiko medis dengan mal-praktik medis. Forum ‘pengadil’-nya adalah peradilan umum mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Malah sekarang mulai berkembang mediator kesehatan.
Penjelasan di atas diharapkan menjadi pencerahan kepada publik dan mencegah membiaknya berita hoax atau pendapat sembarangan.
Jangan tergelincir pada lelaku gebyah uyah antara norma etik, norma disiplin dan norma hukum. Walaupun di sana sini ada arsiran dalam hal tertentu dan penting. Sebab itu perlu lawyer spesialis kesehatan.
Hemat penulis, dengan terikat pada 3 norma itu justru membuat profesi Dokter paling terkonsolidasi dan ketat dalam mekanisme tanggungjawab profesinya, dan kita perlu cermat alias tak ugal-ugalan dalam menilai pun menggugat kompetensi medis Dokter.
Tidak elok jika membahanakan pendapat status medis seorang, hanya berdasarkan opini keliru, yang alpa dengan fakta sebenar dan bukan dari hasil pemeriksaan medis yang sahih.
Bravo IDI. Tahniah dokter Indonesia yang telah independen dalam membuat pendapat medis.
Hemat saya, menjaga etika adalah lebih utama, pun dari hukum. Mematahkan jurus pura-pura sakit, klaim geger watak otak, atau pura-pura hilang ingatan seperti sinetron Korean.
Ini bukan hanya soal tuan personal budiman, tetapi demi menjaga independensi Dokter dalam melakoni kompetensi medis. Tugas yang dimandatkan konstitusi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 ikhwal hak atas layanan kesehatan. Itu tanggungjawab konstitusional Negara yang in concteto dilakonkan Dokter di garda depan. Sebab Negara –pun demikian eksekutif, legislatif, judikatif– bukan Dokter.
Demi menjaga profesional trust jagat kedokteran Indonesia, jagalah kompetensi Dokter dengan 3 macam norma yang mengikatnya.
Waspada-lah. Rawat-rawat-lah kepercayaan alias profesional trust, karena trust lebih cepat basi daripada nasi. Rawatlah the Whole Professional Trust dengan Zero Tollerance.
Sekaligus membuktikan dan konfirmasi betapa amat pentingnya wadah tunggal profesi Dokter dalam “satu tubuh” sebagai IDI.
Pelajaran lama hiruk pikuk tabrak tiang listrik, kiranya menciptakan bonus sejarah yang membuktikan bahwa amat penting monoloyalitas Dokter hanya kepada kompetensi medis. Yang berpendapat dan bertindak dengan basis Body of Knowledge, dan egalitarian hanya untuk kepentingan kemanusiaan. Inilah istimewanya profesi dokter.
Hati dan akal sehat patik membuncah bangga berbaur bahagia menjadi lawyer untuk asosiasi Dokter yang kompak dalam ‘satu tubuh’ wadah IDI.
Jangan belah dan terbelah duhai IDI, demi kepentingan publik yang lebih besar. Menjaga kesehatan rakyat.
Kiranya tepat, jagat kesehatan rakyat dipelihara oleh Negara.
Dokter dalam wadah tunggal IDI, bertindak melayani pencari kesehatan di garda terdepan. Takdir yang mulia. Mandatory yang indah.Tahniah. Tabik.**
(MUHAMMAD JONI, SH., MH: Advokat, Komunitas Sahabat Dokter)