Walau Langit Hendak Runtuh, Dokter adalah Dokter!

TRANSINDONESIA.co | Dokter adalah Dokter! Walau dia seniman cuaca, peneliti jempolan, atawa kawan anda yang budiman. Walau panglima kemenangan atawa kawannya paduka sulthan.

Penyidik KPK bukan dokter. Penyidik juga bukan hakim. Walau superbody memberantas kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) tindak pidana korupsi, sekali lagi KPK bukan Dokter. Lantas, akankah gambar pasien yang layu terkulai, benjol dan runtuh lantas, mengonfirmasi sang pasien sakit? Senyum mengembang serta merta tak sakit?

Untuk memastikan sehat atau tidak, ataupun menangkis seribu “jurus sakit” ala lihai Tersangka, adalah pas jika KPK meminta bantuan pemeriksaan medis dan pendapat medis Dokter. Itu kompetensi Dokter.

Kompetensi itu derajat sahih dari wewenang profesi. Urutannya: kapasitas, kapabilitas, kompetensi. Walau perawat atawa ners punya kapasitas dan kapabilitas, namun tak punya kompetensi medis seperti Dokter. Dokter Spesialis Anak (Sp.A) sekalipun tak punya kompetensi terhadap tindakan persalinan ibu sang bayi yang kini pasiennya.

Untuk menghargai kompetensi itulah KPK bekerjasama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk mendefenisikan siapa sedang sehat atau tengah dilanda sakit.

Pendapat Dokter menjadi dasar membuat tindakan Pro Justisia: dirawat atau ditahan. Atau pembantaran. Hemat saya, itu alasan sederhana mengapa organisasi profesi Dokter musti satu. Menjadi Satu IDI. IDI bukan serikat pekerja.

Syukurlah, lazimnya opini dan polemik langsung berhenti dengan terbitnya pendapat Dokter yang memiliki kompetensi medis. Di titik ini, Dokter musti dalam satu standar kompetensi. Satu asosiasi. Lagi, Satu IDI. IDI yang tunggal, sekali lagi IDI yang tunggal dalam ‘satu tubuh’ adalah asas yang sahih.

Untuk apa? Demi kepentingan kolektif atas pelayanan kesehatan, dan dengan setarikan nafas menjaga Profesional Trust Dokter sebagai tenaga medis.

Semisal ikhwal status kesehatan pejabat kawan sulthan, apa jadinya jika asosiasi profesi Dokter tidak tunggal? Bisa jadi defenisi sehat atau sakit diacak-acak dalam standar yang jamak. Pencari cuan membeli kemenangan akan pindah asosiasi ke sana kemari.

Demi kepentingan publik, terkonfirmasi betapa IDI musti wadah tunggal profesi Dokter. Ini hikmah dan tamaddun (peradaban) mengapa beralasan dan musti dipertahankan ‘satu tubuh’ asosiasi dokter dalam/sebagai IDI.

Jika jamak organisasi profesi dokter? Saya bisa pastikan, itu merugikan publik jika Satu IDI dikuncah, lagi. Jangan ambil resiko dan segera bertindak jika ada upaya membelah IDI.

Jika tidak tunggal, status kesehatan pasien, standar kompetensi medis, standar pendidikan kedokteran akan terbelah. Menjadi tragedi standar kedokteran. Terjadi kekacauan standar pelayanan kesehatan dan perlakuan medis. Itu sangat mengerikan jagat kesehatan! Yang rugi negara, masyarakat dan pasien.*

Bersambung ke bagian dua tulisan: Istimewa dalam Tanggungjawab

(MUHAMMAD JONI, SH., MH: Advokat, Komunitas Sahabat Dokter)

Share