Demonstran Tuntut Hukuman Lebih Berat bagi Homoseksual di Senegal
TRANSINDONESIA.co | Sekelompok laki-laki berkumpul di sekitar bendera lambang kelompok homoseksual yang dibakar di Dakkar, hari Minggu (20/2). Mereka meneriakkan kata-kata “Senegal tidak akan pernah menerima homoseksualitas,” sementara sebagian lainnya membawa poster bertuliskan “Senegal mengatakan tidak pada homoseksualitas” dan “Kami menuntut diakhirinya agenda LGBT.” Kelompok ini termasuk di antara ribuan orang yang secara berbondong-bondong datang ke Place de l’Obélisque untuk menyerukan hukuman yang lebih berat terhadap homoseksualitas.
Demonstrasi ini dilangsungkan oleh kelompok Muslim ultra-konservatif yang menegaskan bahwa homoseksualitas merupakan agenda yang dipaksakan Barat pada mereka dan mengancam nilai-nilai tradisional mereka.
Senegal, yang 95% warganya beragama Islam, sudah melarang “tindakan tidak senonoh atau tidak wajar diantara individu dari jenis kelamin yang sama.” Hal ini ditegaskan dalam aturan hukum pidana negara itu. Mereka yang melanggar dapat dihukum hingga lima tahun penjara dan denda antara 100.000 – 1.500.000 CFA – atau antara 2,5 juta – 37 juta rupiah.
Tetapi para aktivis anti-gay mengklaim pemerintah telah berbohong pada mereka, dan bahwa undang-undang itu sebenarnya tidak ada. Lainnya mengatakan hukuman itu tidak cukup dan bahwa kaum homoseksual seharusnya dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.
Sebuah RUU untuk meningkatkan hukuman penjara terhadap tindakan homoseksualitas antara 5-10 tahun, telah ditolak oleh parlemen pada Januari lalu.
“Kami hanya ingin agar pemerintah mengkriminalisasikan homoseksualitas sebagaimana mereka mengkriminalisasi pemerkosaan dan pencurian ternak,” ujar Ngoné Dia, seorang mahasiswa. Ia mengelapai Departemen Perempuan di And Samm Jikko Yi, suatu perkumpulan asosiasi Islam yang melangsungkan acara itu. Dari Wolof namanya diterjemahkan menjadi “Together for the Safeguarding of Values” atau “Bersama Menjaga Nilai-Nilai.”
Ditambahkannya, “Kami ingin mereka (kaum homoseksual.red) dipenjara, bahkan jika mungkin selamanya. Senegal adalah negara homophobia (negara yang tidak suka dengan homoseksualitas.red) dan kami bangga dengan hal itu.”
Lebih Separuh Negara Afrika Nilai Homoseksual Sebagai Kejahatan
Homoseksualitas dinilai sebagai kejahatan di lebih dari separuh negara Afrika. Banyak undang-undang yang diberlakukan berasal dari jaman kolonial ketika komunitas Inggris dan Arab membawa serta nilai-nilai anti-homoseksual. Tetapi sejumlah pakar antropologi menemukan bukti adanya homoseksualitas pada masa pra-kolonial di Afrika.
Di Senegal misalnya “góor-jigéen” yang dalam bahasa Wolof berarti “man-woman,” dulunya diterima dan bahkan dirayakan di komunitas masyarakat Senegal. Pada tahun 1935 pakar antropologi Inggris Geoffrey Gorer menulis “mereka tidak menderita secara sosial, sebaliknya mereka dicari sebagai pembicara dan penari terbaik.”
Namun kini warga Senegal melihat homoseksualitas sebagai impor dari Barat. “Orang-orang Eropa memperlakukan kakek-nenek kita dengan sistem perbudakan. Tetapi sekarang pemuda-pemuda Afrika sudah bangkit, kami tahu apa yang kami inginkan dan kini giliran kami membuat keputusan sendiri,” ujar Ibrahim Cisse, seorang pekerja konstruksi yang mengikuti demonstrasi hari Minggu. Ia memegang poster dalam bahasa Wolof yang jika diterjemahkan berarti “jika menangkap seorang homoseksual, bunuh mereka!”
Ditambahkannya, “Orang Barat perlu memahami bahwa ini adalah Afrika, ini Senegal, dan mereka harus menyimpan masalah itu sendiri. Kami tidak menginginkan ada homoseksualitas di sini. Dan saya tidak sendiri. Seluruh warga Senegal menentang homoseksualitas. Jadi jika mereka (kelompok homoseksual.red) tampil maka seluruh orang Senegal akan membunuhnya.”
Cisse mengatakan ia belum pernah membunuh satu pun orang gay, tetapi siap melakukannya jika ia bertemu salah seorang diantara mereka.
Ketika melawat ke Senegal, sejumlah pemimpin Barat menyerukan kepada anggota parlemen lokal untuk melonggarkan pembatasan tentang kelompok minoritas seksual. Ketika Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau melawat ke Senegal dan bertemu dengan Presiden Macky Sall misalnya, Trudeau menjadi berita utama ketika ia menyinggung isu kriminalisasi homoseksualitas. Sall kemudian mengatakan pada wartawan bahwa “kami merasa nyaman dengan aturan hukum kami.”
And Samm Jikko Yim, sebuah kelompok Muslim ultra-konservatif pada bulan Mei 2021 lalu melangsungkan demonstrasi yang sama dengan pekan ini, yang juga menarik ribuan demonstran. Beberapa minggu setelah acara itu sejumlah aktivis LGBTQ melaporkan peningkatan serangan terhadap komunitas mereka.
Presiden dan sekaligus pendiri kelompok hak-hak LGBTQ “Free Senegal,” Souleyman Diouf, mengatakan selain persekusi fisik, kelompok homoseksual di Senegal juga menghadapi kesulitan menemukan lapangan pekerjaan. Diouf mengidentifikasi dirinya sebagai biseksual dan menggunakan nama palsu untuk melindungi identitasnya.
Diouf mengatakan berhasil selamat dalam dua percobaan pembunuhan, yang membuatnya mengungsi ke Prancis. Tetapi ia masih menyimpan pesan-pesan dari mereka yang mengancam anak perempuannya yang masih berada di Senegal.
Masalahnya anak-anak remaja telah diradikalisasi oleh organisasi-organisasi teroris yang memiliki pengaruh di seluruh Sahel, tambahnya. “Saya berisiko dibunuh, termasuk berisiko di bunuh di Eropa. Bagi orang-orang seperti saya, ini hanya soal waktu,” ujarnya. “Tetapi hal itu tidak akan menghentikan saya memperkeras suara untuk mengatakan bahwa apa yang terjadi di Senegal masih sejalan dengan kerangka terorisme, bahkan dalam kerangka agama utama.”
Jika Senegal masih berada di jalur ini, tambahnya, kelompok minoritas seksual dapat menghadapi “genosida.” “Ini sangat disayangkan,” ujarnya. [em/jm]
Sumber: Voaindonesia