Diduga “Vaksin Kosong” Anak, Pemeriksaan Dokter Wewenang MKDKI
TRANSINDONESIA.co | Merebak viral warta penyuntikan vaksinasi pada anak sekolah yang diduga tak berisi penuh atau dalam bahasa media disebut “vaksin kosong”, Polda Sumatera Utara melakukan pemeriksaan.
Dokter G yang mengabdi pada profesi dan program kedaruratan vaksinasi, mustinya diperiksa lebih dahulu dengan norma disiplin kedokteran.
Mengapa? Sebab dokter terikat 3 norma: norma etik, norma disiplin dan norma hukum, seperti pendapat MK RI dalam Putusan Nomor 14/PUU-XII/2014, angka 3.14). Belaku untuk siapa? Semua dokter, baik dokter umum maupun dokter spesialis/sub spesialis.
Sebab itu, andaipun dokter diduga ada lalai dalam tugas medisnya, tak beralasan serta merta dibawa ke ranah hukum pidana. Batu ujinya adalah standar pelayanan medis dan norma disiplin kedokteran yang merupakan lex spesialist. Bukan premiim.remidium dengan hukum pidana.
Andaipun diduga melakukan kelalaian disiplin kedokteran, percayakan penanganannya kepada otoritas profesi. Bisa masuk ke yurisdiksi MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) dalam naungan KKI (Konsil Kedokteran Indonesia). Ataupun, jika diduga kelalaian norma etika, percayakan kepada mekanisme MKEK (Majelis Kehormatan Etika Kedokteran) di bawah naungan IDI (Ikatan Dokter Indonesia).
Dalam hal kelalaian medis kepada dokter ataupun dokter gigi, penanganan hukum pidana adalah upaya terakhir (the last resort). Jangan ujug-ujug di bawa ke ranah pidana.
Secara yuridis-konstitusional, pelayanan kesehatan adalah tanggungjawab Negara (vide Pasal 28H ayat 1 UUD 1945), yang bekerja di garda terdepan dikerjakan oleh dokter anggota IDI. Sebab itu, beralasan hukum negara termasuk Pemerintak dan Pemda cq.Pemko Medan memberikan perlindungan kepada dokter. Perlindungan hukum adalah hak dokter. Bukan menggiring mekanisme pidana. [Muhammad Joni, SH, MH, – Praktisi Hukum Kesehatan]