Pameran Lukisan Setunggal : 40 tahun Belajar Menggambar

TRANSINDONESIA.CO | Pada hari Jum’at pada tanggal 22 Oktober tahun 2021 saya dengan pak Aisul Yanto ngobrol ngalor ngidul apa saja tentang seni dan budaya. Saya menunjukan buku ” Karya Jiwa, Jiwa Karya”: sebagai kumpulan tulisan dan lukisan karya saya selama 40 tahun belajar menggambar. Di mulai dari tahun 1981 saat pameran bersama di Pendopo Balai Pelajar Magelang.

Saat itu saya kelas dua SMP bersama Agus Priyatno, Frederik Agung, Mardiyono, Diyuk Waruyadi, Panji, Zainal Mustofa dll sebagai anggota Sanggar Sungging Purbangkoro di bawah asuhan bapak Barkah Suripto menyelenggarakan pameran bersama. Sebenarnya saya sejak kelas 3 SD mulai senang dengan menggambar dengan melihat karya Agus Priyatno yang mampu menggambar penggembala kambing dengan baik. Juga karya Cacuk yang menggunakan pensil warna namun begitu berkesan dan mendorong minat saya belajar menggambar.

Pada kelas 5 SD agus dan Tjatiyo Wibowo menunjukan kemampuannya menggambar orang memancing dengan cat air. Waktu itu barang sangat mewah, apalagi cat air merk Guitar tentu tak terbeli dengan kondisi kemampuan orang tua saya. Pada saat kelas 6 SD agus menunjukan karyanya dengan cat minyak. Cat air saja tidak terbeli apalagi cat minyak. Ayah saya memiliki taste dan sense of art yang bagus. Ia mengajarkan saya dengan warna oker dan karung gandum sebagai kanvasnya. Ayah saya mengajarkan bagaimana memasang spanram dan memberikan dasar pda karung gandum tadi agar bisa kuat dan rapat pori pori kainnya.

Tatkala senang senangnya belajar melukis orang orang di sekitar saya kakak saudara saudara jg ibu saya tidak tertarik dengan gambar saya. Saat mencoba meniru wajah Bungkarno karya Dede Eri Supria sebagai sampul majalah Hai namun apa yang terjadi wajah itu malah mirip H. Adam Malik. Ketika menggambar kuda di atas awan yang menurut saya sudah lumayan bagus, namun diprotes saudara saudara saya karena tidak ada tanahnya.

Tatkala saya beri tanah malahan gambar kuda tersebut menjadi kacau. Saya sangat sedih kenapa mendengar omongan orang lain. Di lain waktu saya semalaman tidak tidur dan berupaya menggambar tukang adu jago. Itupun karena terpengaruh Agus yang memiliki kalender gambar lukisan lukisan ayam. Saya pernah juga merepro lukisan Basoeki Abdulah yang bertema pahlawan. Saya merepro potret dokter Soetomo dan Ki Hajar Dewantara. Ingin melujis Adi Soetjipto dan Jendral Soedirman tetapi tidak punya gambarnya. Saudara saya yang punya kalender berisi lukisan Basoeki abdulah tentang potret pahlawan dan gambar kuda saya minta tidak diberikan. Saya sangat terkesan dan ingin merepro lukisan Basoeki Abdulah potret Adi Soetjipto dan Jendral Soedirman sayang tidak pernah kesampaian.

Agus sebenarnya lebih sering bermain dengan Sigit dan Jaka Bintara daripada dengan saya di saat SD. Mereka anak anak pintar di kelas, termasuk menggambar. Mereka bertiga selalu yang mewakili lomba lomba antar sekolah.

Hal menggambar selain Agus, Tjatiyo Wibowo juga berbakat. Namun ketika Agus ingin masuk Sanggar Sungging Purbangkara di Musium Sudirman mengapa saya yang diajak bukan yang lainnya. Agus tahu saya bakatnya jauh di bawah mereka. Kemampuan orang tua sayapun juga tidak mampu membayar uang kursus. Saya sedih saat itu, namun ada tantangan bagi saya.

Tantangan tidak berbakat sekaligus tantangan tidak punya uang. Saya nekat saja ikut dengan apa maunya Agus. Kami berdua bersepeda, Agus saya boncengkan atau bersepeda masing masing. Pak Barkah Suripto tidak pernah memberi contoh, beliau membebaskan kami untuk menggambar apa saja. Dan memerintahkan kami langsung on the spot. Kami yang SMP membimbing adik adik yang SD. Setelah siang kami menunjukan karya karya kami dan beliau memberi masukan. Seingat saya satu tahun lebih kami tidak diajar yang lain kecuali membuat sketsa.

Tahun 1981 beliau mengagakan untuk persiapan pameran bersama antara guru dan murid murid Sanggar Sungging Purbangkara. Karya saya yang paking tua dalam dokumentasi saya adalah karya tahun 1981 dan hanya satu. Yang lain entah kemana. Dari data dan dokumentasi inilah saya mengambil tonggak belajar menggambar 40 tahun terhitung dari tahun 1981. Karya karya yang masih tersisa tahun 1983, 1984, 1985, 1986.

Selama masa pendidikan di Akpol dari tahun 1986 sd 1990 hanyalah kartun dan dekorasi dan itupun dokumentasinya tidak ada. Pada tahun 1990 saya bertugas di  Polresta Surakarta dan bertemu dengan Pak Dullah yang pernah menjadi pelukis istana presiden pada masa Bung Karno. Juga bertemu dengan pelukis Didik Suardi yang merupakan purnawirawan Polri. Pak Didik sangat antusias dan berapi api mendorong saya untuk melukis bahkan menjadi pelukis. Saya yang merasa sudah hilang semangat seakan berkobar lagi. Walaupun lambat namun saya terus melukis. Di telinga saya selalu terngiang ngiang kata pak Didik yang mengatakan :” ayo melukis, saya yang bintara saja bisa, kamu perwira harus lebih bisa”. Saya memang terus melukis dan melukis. Banyak yang senang namun juga banyak yang mencibir bahkan menganggap tidak perlu melukis.

Trans Global

Alasan BI Memilih Nama Uang NKRI

Mafia, Idola dan Berkuasa

Polda Lampung Sita Puluhan Senpi

Polisi tidak ada hubungannya dengan melukis, mereka yang tidak suka mengatakan demikian. Saya tidak peduli mereka akan bicara apa di telinga saya suara pak Didik lebih keras. Pada saat saya berdinas di Polda Riau, th 2009 sd 2012 saya melukis kurang lebih 1500 karya. Tahun 2015 sama sekali tidak melukis tetapi saya terlalu asik dengan menulis. Mas Padik dan pak Wahyu Usman main ke rumah saya dan mengajak pameran bersama di Galeri Cipta 2 di Tim saya mengikutkan karya karya saya tahun 2014 yang bertema candi candi. Pada saat pameran hadir mas Tato Kastareja dan mas Joko Kisworo sambil menunjuk ke lukisan saya mengatakan “ini kalau dilukis besar akan lebih sip”. Dalam hati saya kecil saja sudah males bagaiman yang besar. Mereka berdua mengatakan :” nglukis kok kecil kecil”.

Beberapa hari kemudian Tato mengirim saya kanvas ukuran 2mx 1.5 m ada 10 buah. Awal melukis saya ragu ragu sudsh 14 bulan tidak melukis. Saat satu jadi, dua dst malah seperti rem blong. Di samping melukis saya juga mulai menulis tentang seni budaya dan pariwisata. Dan juga memikirkan tentang masyarakat sadar seni budaya dsn pariwisata (Masdarwis). Pada tahun 2020 karya karya saya yang baru difoto oleh timnya Agus Boyo berjumlah 1300 an karya.

Pada tahun 2021 saya mencoba merangkum tulisan dan menyusun karya karya lama hingga yang baru dan tersusun buku yang berjudul : Karya Jiwa Jiwa Karya. Buku setebal 1500 an halaman tadi menjadi suatu catatan proses panjang belajar melukis saya selama 40 tahun.

Kembali ke hasil diskusi dengan pak Aisul tentang pameran “setunggal”. Setunggal bermakna satu dan sebagai pameran tunggal. Beberapa waktu yang lalu mas Tato memberi saya kanvas ukuran 12m x 3m. Kanvas itu pas dengan hari lahir saya 3 Desember.

Awalnya saya memang kesulitan mencari cara dan tempat di mana saya akan melukisnya. Pak Aisul mengatakan di Balai Budaya saja bisa di jepret di dindingnya. Ide yang bagus gayung bersambut dan saya memiliki gambaran tema bagi lukisan di kanvas tersebut.

Saya sangat menggemari cerita Mahabarata dan saya ingin menorehkan kisahnya pada Baratayudha. Yang akan saya lukiskan pertema walau dalam satu kanvas dari kisah:

1. Pandawa Dadu yang puncaknya pada pelecehan terhadap Drupadi, sumpah Pandawa.
2.Krisna duta, yang ditanggapi tidak etis oleh para Kurawa hingga tiwikrama Krisna.
3. Angkara murka Duryudana dan para Kurawa yang dibela Bisma yang Agung juga Guru Durna dan Raja Angga Karna.
4. Utara gugur di hari pertama Bharatayuda, Bisma gugur di tangan Srikandi, Abimanyu gugur, Gatotkaca Gugur, Raja Drupada gugur, Durna Gugur.
5. Karna tanding dan gugurnya Raja Angga Karna
6. Salya gugur
Dursasana gugur, Sangkuni gugur  dan Duryudana gugur
7. Putra Pandawa gugur bersama Srikandi dan Drestayumna di tangan Aswatama
8. Kutukan bagi Aswatama
9. Penobatan Yudistira sebagai raja Hastinapura
10. Pemusnahan bangsa Yadawa dan tenggelamnya Dwaraka/ Ndwarawati
Balarama/ Baladewa moksa dan Krisna gugur.
11. Parikesit
12. Pandawa

Secara konseptual memang nampak mudah dikendalikan namun tatkala melukiskan pikiran bawah sar lebih dominan bergerak dan menggerakan untuk mengekspresikan. Saya juga belum bisa membayangkan akan bagaimana dan seperti apa jadinya. Kita lihat saja nanti. Yang terpenting bagi saya berkesenian membuat jiwa merdeka, bahagia dan byuk byuk byuk mengekspresikannya.

Malam Tegal Parang 231021
Chryshnanda Dwilaksana

Share