TRANSINDONESIA.CO | Lugito, pria kelahiran magelang yang awalnya bukan sebagai pelukis. Tatkala ada ajakan melukis di Omah Eling Borobudur dan Kampoeng Semar, bakat melukisnya seperti dibangkitkan kembali. Kecintaan akan seni berkobar membuat banyak ide gagasan antara seni kontemporer dan klasik (Wayang Purwo) dapat dielaborasi dalam suatu ruang.
Gebyok pembatas ruang dari kayu pada rumah limasan atau joglo dijadikan arena perpaduan cerita wayang dan gaya modern. Pola awal yang dikerjakan Lugito dkk, adalah ala Piet Mondrian ditempel wayang. Dan ada gaya warna dan pembagian ruang ala Helmut Khan. Ada juga dengan gaya Jean De Buffet juga ala Koran Budi Ubrux. Yang semua latar belakang dari gaya seniman kontemporer ditempel tokoh tokoh wayang.
Seiring perkembangan waktu, apa yang dilakukan Lugito mengikuti suara hatinya ia mulai menemukan warna warna baru pada wayang wayang gebyoknya. Mulai ada ceritera sesuai penggalan penggalan kisah pewayangan. Seperti Bima mencari air suci “Tirta Perwita Sari”. Kisah kisah Raden Panji Kuning wayang beber bergaya pacitan. Wuku Jawa atau penanggalan waktu Jawa dengan simbol simbol wayang. Juga ada wayang yang dielaborasi dengan lukisan Marc Chaggal atau dengan warna warna ala pelukis Nasirun.
Perkembangan Lugito dalam menemukan jatidirinya pada wayang gebyok cukup signifikan. Ia juga mengembangkan wayang wayang humor. Wayang dengan pitutur luhur dari pepatah jawa. Dan banyak lagi yang telah ia lakukan dengan modifikasi atas wayang dan kisah kisah yang menjadi kesenangan atau klangenan masyarakat jawa.
Pengembangan wayang gebyog Lugito dilakukan lagi dalam konteks perjuangan Pangeran Diponegoro. Kisah peperangan Diponegoro yang digambarkan dengan model wayang beber yang dimodifikasi sesuai seleranya. Perkembangan atas teknik dsn gagasan pada karya Lugito yang awalnya dari meniru dan memodifikasi, kini mulai nampak karakternya yang bisa temukan sebagai model model wayang gebyok. Warna cerah warna pastel yang dielaborasi dengan gaya gaya yang bisa dipelajari dari beberapa seniman kontemporer.
Keberanian menorehkan ide dan gagasannya secara merdeka menjadikan dirinya semakin percaya diri dalam mengembangkan wayang gebyok.
Apa yang ditekuni Lugito menjadi suatu inspirasi untuk dapat dijadikan model seni Borobuduran. Apa yang dilakukan Lugito tidak mudah dan memerlukan ketekunan dan keberanian. SetIdaknya dia sudah 10 tahunan menekuni wayang gebyok. Karya karyanya ada di berbagai tempat yang bisa dilihat pada gebyok gebyok di Omah Eling dan Kampoeng Semar Borobudur, Angkringan Petruk Cibubur, dll.
Lugito tanpa sadar telah melakukan sesuatu yang baru bagi perkembangan seni tradisi dan kontemporer. Ia memang otodidiak bermodal kecintaan dan ketekunan. Pepatah mengatakan; “sopo sing tekun bakal tekan meski nganggo teken“. Siapa yang tekun akan sampai tujuan walau pakai tongkat.
Wayang Gebyok mungkin masih asing didengar namun ini dapat menjadi oase baru bagi pengembangan seni pewayangan. Mungkin saja dapat menjadi bagian dari pengembangan seni Borobuduran. Semoga!*
Awal Bulan Kemerdekaan 010821
Chryshnansa Dwilaksana