Pop Culture Vs Tradisional Culture, Symtom Konflik Peradaban

TRANSINDONESIA.CO | Oleh: Satrio Toto Sembodo

Globalisasi dan konektivitas berbasis internet communication technology (ICT) memang menjadi faktor pendorong perubahan secara global pada semua sendi kehidupan. Dapat dilihat dari realitas kehidupan masyarakat yang dipengaruhi oleh arus globalisasi dan pemanfaatan ITC pada urusan pribadi sampai dengan urusan publik.

Realitas itu juga menunjukkan bahwa kebiasaan dan budaya masyarakat bergerak maju dengan lahirnya kebisaan baru yang dahulu tidak terpikirkan. Bahkan pertumbuhan dan perkembangan kebiasaan baru itu begitu cepat menular di masyarakat. Menjadi sesuatu yang popular dalam gaya hidup, bahkan tidak sedikit yang bermertamorfosa sebagai tradisi baru dalam sisi nilai, simbol, gerakan, bentuk, yang berawal dari sesuatu kejutan budaya yang populer di  masyarakat (pop culture).

Pada masa lalu budaya tradisional selalu dianalogikan dengan indegenious culture, suatu budaya yang melekat pada corak atau tradisi suatu masyarakat asli yang sifatnya terbatas dan memiliki pembedaan cukup jelas serta mengakar pada masyarakat tertentu.

Budaya tradisional masyarakat Bali akan memiliki perbedaan dengan budaya tradisional masyarakat Yogya atau Badui. Demikian pula pada lingkungan masyarakat lain, budaya tradisional sangat eksklusive pada kelompok masyarakat tertentu, menjadi identitas tradisional kelompok yang bersifat representatif symbolic.

Sebaliknya pop culture atau budaya popular dapat dilihat dari tidak adanya batas wilayah penyebaran dan perkembangannya, cenderung bersifat inklusive, dan terkadang bersifat kejutan, musiman meskipun sifat komunalisme dalam bentuk komunitas tetap terbentuk.

Dalam era globalisasi dan konektifitas yang begitu luas, Pop Culture lebih bisa masuk dalam ruang kehidupan masyarakat di berbagai bangsa dan negara. Fans Club menjadi wadah komunalisme dalam bentuk komunitas penggemar, pengikut dan tidak sedikit menjadi fanatik. K- POP Fans Club, Bollywood Fans Club, Foot Ball Fans Club, Harley Davidson Fans Club, sampai pada Hal yang lebih bersifat ideologis – politis, dalam gaya berpakaian dan berperilaku. Prilaku yang tidak memiliki akar budaya asli sejarah komunitas, masyarakat adalah contoh Pop Culture yang mudah dilihat di tengah hiruk pikuk kehidupan masyarakat.

Selain aspek komunikasi berbasis internet communication technology maupun migrasi manusia antar wilayah dalam era semua terhubung dengan semua, pola marketing dengan diksi, fiksi, maupun visualisasi menjadikan Pop Culture dapat begitu cepat masuk dan berkembang dalam pola pikir, perilaku dan kebiasaan di masyarakat.

Kepentingan ekonomi dalam era industrialisasi pada era kapitalisme global juga menjadi faktor bagaimana Pop Culture selalu lahir dan dikembangkan di tengah masyarakat secara progresif dan dinamis.

Sebaliknya Traditional Culture yang menjadi akar identitas budaya asli suatu masyarakat  dengan karakter yang cenderung konservatif, monoton dan regresif, lambat laun menjadi redup dan tidak sedikit yang hanya menjadi monumen, simbol sejarah masa lalu yang dikenang oleh generasi baru.

Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan dan perkembangan masyarakat selalu mendorong berbagai perubahan di dalam pola pikir dan tata laku masyarakat, konflik peradaban (the clash of civilization) sebagai mana thesis Samuel Huntington dapat dilihat pada potensi konflik yang terjadi antara traditional culture dan pop culture.

Bagi masyarakat, bangsa dan negara yang tumbuh dan berkembang dari keberagaman budaya asli (traditional culture) sebagai akar identitas diri seperti Indonesia, the clash of civilization harus dilihat tidak sekedar pertarungan ideologi, politik dan ekonomi tetapi harus juga dilihat sebagai suatu pertarungan budaya traditional vis a vis dengan budaya pop.

Dalam era globalisasi dan konektifitas saat ini hal yang pasti bahwa arus pemikiran banyak orang dan transnational akan masuk dalam ruang pribadi dan publik. Indonesia sebagai negara yang terbentuk dari beragam traditional culture yang bersifat asli sebagai identitas kelompok dan nasional harus dapat menemukan strategi, kebijakan dan operasionalisasi yang konstitusional dan legitimate agar the clash of civilization yang lahir dari beragam budaya lintas bangsa dan negara tidak mencabut identitas traditional bangsa dan negara indonesia yang berasal dari budaya asli komunitas dan masyarakatnya.

Kita tidak ingin menjadi negara yang menutup diri dari pergaulan antar bangsa, tetapi kita tidak boleh juga menjadi negara telanjang dalam pergaulan antar bangsa. Kita harus tetap menjadi negara yang memiliki suatu karakter tersendiri yang berakar dari sejarah dan budaya nya sendiri, jangan sampai arah perjalanan bangsa ke depan kita menjadi bangsa yang latah dengan gaya dan budaya bangsa lain yang akhirnya tanpa sadar kita masuk pada arus thesis the clash of civilization.

Symtom konflik dari perkembangan Pop Culture yang tidak sedikit menggerus Traditional Culture di tengah tengah kehidupan masyarakat, setidaknya menjadi signal bahwa kita memerlukan suatu kesadaran, kohesivitas dan konsesus bersama untuk tetap memelihara jati diri budaya bangsa. Di tengah arus budaya antar bangsa yang tidak sedikit mengancam akar budaya nasional yang menjadi pondasi nasionalisme Indonesia. Dalam pidato hari lahir Pancasila 1 Juni 2021, Presiden Jokowi menyatakan, bangsa Indonesia sedang menghadapi ancaman transnational culture yang bersifat radikal, maka perlu upaya yang bersifat massif secara nasional untuk menjaga dan memelihara budaya tradisional. Karena kedaulatan NKRI tidak hanya sebatas pada kedaulatan wilayah, tetapi juga kedaulatan ideologis dan budaya. Dan kita semua bertanggung jawab untuk menjaganya.

“Sekali Indonesia, Selamanya Indonesia”

Yogya, Juni 2021

Share
Leave a comment