Signatory Negeri Pribumi
TRANSINDONESIA.CO | Oleh: Muhammad Joni
Berpikirlah tentang negeri. Lurus. Tidak abstrak. Nyata. Berskala besar. Tengoklah jalan berkelak kelok itu. Cermati pola alurnya. Polanya seperti pahatan tandatangan besar milik pembesar. Tandatangan emas timbul 3 dimensi. Megah berskala besar. Ditoreh di atas kertas nuansa hijau berkop danau Maninjau. Signatory dari infrastruktur kelok 44. Tandatangan siapakah kelok 44 itu?
Menikmati, (tak sekadar melewati) kelok 44 itu asyik. Panorama rancak ditemui setiap kedip. Siapa tak suka molek danau –yang kata kamus travellers– bak Swiss kedua. Perlu kiranya berdamai dengan saktinya.
Jangan heran jika Tour de Singkarak yang berskala dunia menjangkau kelok 44 dan panorama danau Maninjau menjadi jalur de Tour-nya.
Tour de Singkarak menjadi helat resmi dari Persatuan Balap Sepeda Internasional (Union Cycliste International). Saban tahun sejak 2009, TdS telah menjalin kerjasama dengan Amaury Sport Organisation yang menjadi penyelenggara Tour de France di Prancis.
Ahaa.., TdS masuk ranking ke 5 dunia dari jumlah penonton, setelah Tour de France, Giro d’Italia, Vuelta a Espana, dan Santos Tour Down Under. Siapa hendak menang sepeda yang ada tandatangannya?
***
Dari bumi Maninjau sabana, tak hanya molek alam sahaja. Idemditto budaya nonalam pula. Lebih dari budaya, peradaban adalah istilah akademisnya. Peradaban manusia ditentukan derajat memanusiakan manusia.
Buya HAMKA berasal dari Maninjau bertuah sana. Wakaf pikiran dan tulisan juncto novelnya mendandani jiwa manusia. ‘Merantau ke Deli’, menyebut salah satu judul saja. HAMKA memang pernah tinggal di Deli, sepulang ibadah haji. Novel itu patik koleksi, lagi.
Saat HAMKA menorehkan nivel itu, Deli ikon nusantara bagi globalisasi ekonomi. Kolonial Belanda membuka perkebunan di Deli. Toean kebon Neinhuys menanam tembakau, yang dilabelkan pohon berdaun emas. Adik kelas saya Emil Aulia yang novelis berkelas, menuliskan novel hukum kisah pembukaan kebon skala besar dengan titel ‘Berjuta-juta dari Deli’, bahasa Belandanya ‘Mileniun uit Deli’.
Kembali ke Maninjau. Nama nagari Maninjau, yang nasabnya terkait dengan nama danau. Takdirnya hadir molek sempurna mengkilau.
Sempurnanya jejak-jejak keindahan Tuhan. Di situs Danau Maninjau nan rancak menawan.
Elok megah. Ditengok sekelak dari sudut koordinat bertuah, dari bola mata yang bersyukur meruah. Saat mampir ke eumah senior bang BC –Bachtiar Chamsah.
Ayo kawan perantau diaspora sedunia, berkenan memilih waktunya mudik yang terpercaya sabana. Bila masanya tiba. Kalau sekarang, infak, zakat, sadaqoh, wakaf dan THR nya saja.
Maninjau menjadi alasan untuk mambangkik batang tarandam. Menyambung pertalian sekandung disambung-sambung. Saya, istri dan anak-anak sempat singgah ke rumah asri bang BC, yang masih dekat masjid Bayur, melalui sedikit jalan yang kiri kanannya pematang sawah.
Dari teras rumah, kami memandang danau nan elok megah sambil melahap gulai ikan berkuah kuning memerah. Atas jasa baik pengarah jalan tuan Ahmad Sani, mantan Ketum HMI Cabang Medan yang acap ke Maninjau asri. Melalak kami beberapa tahun lampau.
Percayalah, menemui Nagari Maninjau bakaliliang danau, pasti bersukaria kala terkepung sejuk hawa nan tak pernah rampung.
Idemditto dari puncak Lawang pengunjung bisa mencoba paralayang, seperti capung terbang. Tak bosan gerakan awan berarak langsung dipantau. Lupa kaki terpacak di puncak Lawang nan rancak memukau.
Menengok dari atas gambar hidup ranah Maninjau selingkar danau, pikiran terkuak mata membelalak. Alahmak. Ampun datok jo ninik mamak.
Masih dari puncak Lawang berpohon pinus, pun, disempurnakan suara bisik angin bersenandung. Yang disampaikan bagaikan alunan musik lama berirama saluong.
Tiupan sepoi angin di puncak Lawang menghasilkan pergulatan dedaun pohon. Berorkestrasi seperti melodi simponi. Sementara pucuk-pucuk pinus yang memanjat, lambaiannya membius pikiran ke frekuensi magrifat.
Terkesima skala besar dengan hamparan karya Ilahi Rabbi Gusti Agung. Dengan tenaga bola mata yang bersyukur. Dengan hati tak terkurung.
Majelis Pembaca, ketika patik melihat ke bawah danau jelita, bersiaplah untuk berdecak kagum sepanjang usia. Bayangkan saja dulu dengan indra mata dan mata yang lain.
Foto-foto dari berbagai sumber ini mewakili saja, bagi anda juragan inspirasi skala magnum opus.
Hadir di sana, serasa berada di daratan Alpen di benua sebelah sana. Ataukah itu Swiss kedua? Sungguh tak beda walau hampir sama. Atau Swiss yang menduplikasi? Swiss menyimpan aset elok dan berskala besar. Kalau saya sih gak punya akun bank di Swiss.
Hehe, itu hanya paragraf antusiastik yang terbit karena patuh pada verbod mudik. Selebihnya terkesima pada Minangkabau maimbau, juga puterinya yang emak anak-anak amba trah Tanamas.
Apakah Rao mansukh termasuk? Saya harus antusiastik membaca lagi narasi 3 penulis: Buya HAMKA (Tuanku Rao), Muhammad Radjab (Perang Paderi di Sumatera Barat 1803-1838), Ridjaluddin Shar (Tapak Harimau Paderi), novel histografi. Kalau ‘Berjuta-juta dari Deli’, dan ‘Merantau ke Deli’, sudah pasti.
Epilog narasi ini. Minangkabau ranah yang penuh intensitas. Juga inspirasi, pencetak tokoh negeri, penyair, ulama, diplomat, jurnalis, pendidik, cendikia, selain juara hal ikhwal kulineri. Satu contoh yang pas mendefenisikan Indonesia adalah negri pribumi. Maninjau, kelok 44, dan lebih banyak lagi, adalah signatory negeri pribumi. Tabik.*