Puasa dan Kesadaran “Filantropi” Islam: Manifestasi Filantropi Dalam Puasa

TRANSINDONESIA.CO | Secara teknis misi utama filantropi dalam ajaran Islam adalah pemberdayaan ummat dan peningkatan kesejahteraan, atau dalam redaksi yang lebih filosofis adalah mengurangi disparitas (kesenjangan) antara aghniya dan dhu’afa, serta ikut berbagi rasa dengan sesama. Hal ini berarti bahwa kedermawanan adalah watak dasar dari filantropi.

Filantropi bahkan menjadi salah satu etika dan akhlak Islami yang menempati pilar kedua setelah shalat. Hampir seluruh ayat dalam al-Qur’an selalu menyebutkan pentingnya kedermawanan seiring dengan perintah melaksanakan shalat. Kedermawanan dalam bingkai ajaran Islam bermakna kepedulian bagi golongan yang secara ekonomi, sosial politik dan kultural berada pada posisi yang kurang menguntungkan (tertindas). Kesadaran akan budaya Filantropi sebenarnya juga merupakan aktualisasai nilai Islam akan kepedulian sosial di lingkungannya, Karena (sekali lagi) Islam didasarkan pada ketaatan akan Tuhan (teosentris) dan selalu berhadapan dengan arus balik kepedulian sosial yang tinggi (humanisme). Kesalehan pribadi yang dibangun dengan puasa dan shalat berbanding lurus dengan kesalehan sosial yang pada sisi ini selalu mempunyai kerelasi positif dengan misi kemanusiaan universal.

Baca : Puasa dan Kesadaran “Filantropi” Islam: Relasi Puasa dan Filantropi

Doktrin kesalehan sosial yang menjadi pilihan umat Islam ketika ia berpuasa, dengan tegas mendapat legitimasi yang kokoh dari Al-Qur’an :”yang mengajarkan agar setiap pribadi muslim untuk terus berusaha menolong sesamanya meskipun dalam waktu susah dan senang ( QS 17 : 29).

Menurut yurisprudensi Islam (fiqh), kewajiban membudayakan sekaligus melaksanakan filantropi sebagai bentuk komitmen kemanusiaan dan ketuhanan terdapat dalam institusi institusi yang sering di sebut: zakat, infaq, waqaf dan sodakoh.
Manifestasi dari institusi institusi ini semkain mendapat apresiasai yang signifikan di kalangan umat Islam, terutama di bulan ramadhan. Tidak berlebihan jika ramadhan dengan ibadah puasanya menjadi “ladang subur” bagi perkembangan pelaksanaan filantropi Islam. Ini artinya bahwa bahwa sensifitas dan kepekaan umat Islam terhadap dimensi sosial mendapat tempat yang tinggi di bulan puasa, maka tidak berlebihan jika tesis bahwa ada korelasi positif antara puasa dan kesadaran berderma sebagai manifestasi filantropi Islam dapat teruji secara benar. Tinggal lagi masalahnya adalah bagaimana kesadaran membangun tradisi filantrolpi itu tidak saja berada pada tataran verbal dan formalistis tetapi lebih bernuansa subtantif , sehingga akar akar dimensi kemanusiaan umat Islam di bulan puasa ini tidak rapuh dan bersifat temporer.

Di bulan puasa juga merupakan momentum yang strategis untuk merekonstruksi Institusi Filantropi dan berderma dalam Islam sesuai dengan misi awal dari filantropi. Hal ini penting, karena jika puasa berdampak positif bagi tumbuhnya kesadaran membangun tradisi dan intitusi filantropi di kalangan umat Islam, maka out came yang diharapkan dari berkembangnya budaya filantropi seharunya juga berdampak pada peningkatan kesejahteraan umat dan meminimalisir disparitas yang masih banyak terjadi dikalangan umat Islam.
Wallahu a’lam

Oleh: Dr.Achmad Kholiq, MA
Dosen Ekonomi Islam UIN Syekh Nurjati Cirebon

Share