Johnson & Johnson Tunda Peluncuran Vaksin COVID-19 di Eropa

TRANSINDONESIA.CO | Beberapa jam setelah para pejabat kesehatan federal AS mendesak dihentikannya penggunaan vaksin COVID-19 buatan Johnson & Johnson setelah vaksin itu dikaitkan dengan penggumpalan darah yang jarang terjadi tetapi berbahaya, perusahaan farmasi raksasa AS itu pada Selasa (13/4) mengumumkan menunda peluncuran vaksin berdosis tunggal tersebut di Eropa.

“Kami telah bekerja sama erat dengan para pakar medis dan otoritas kesehatan, dan kami mendukung kuat komunikasi terbuka mengenai informasi ini kepada para profesional layanan kesehatan dan masyarakat,” kata perusahaan itu dalam suatu pernyataan tertulis.

Penundaan itu menjadi pukulan besar bagi upaya vaksinasi di Eropa yang telah berjalan lambat, yang diwarnai oleh masalah logistik serta kekurangan vaksin. Kampanye vaksinasi di Eropa juga telah terhambat oleh masalah peluncuran vaksin buatan perusahaan Inggris-Swedia AstraZeneca dan University of Oxford, yang juga dikaitkan dengan kasus-kasus penggumpalan darah yang jarang.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) dan Badan Pengawasan Makanan dan Obat-obatan (FDA) menyatakan enam perempuan berusia antara 18 dan 48 tahun yang menerima vaksin Johnson & Johnson telah mengalami penggumpalan darah yang dikenal sebagai CVST, thrombosis sinus vena serebral, dalam enam hingga 13 hari setelah disuntik. Salah seorang perempuan itu meninggal, sedangkan yang lainnya diopname dalam kondisi kritis.

Dr. Jane Woodcock, penjabat komisaris FDA, mengatakan kepada wartawan hari Selasa dalam pengarahan virtual bersama, penghentian sementara itu diperkirakan berlangsung hanya “beberapa hari” sementara kedua lembaga itu menyelidiki masalah tersebut. CDC dijadwalkan mengadakan pertemuan darurat Komite Penasihat mengenai Praktik Imunisasi pada hari Rabu untuk meninjau kasus-kasus tersebut.

Wakil Direktur Utama CDC Anne Schuchat mengatakan orang-orang yang menerima vaksin itu lebih dari dua pekan silam tidak perlu takut. Mereka yang menerima vaksin ini dalam sepekan ini yang mengalami gejala seperti sakit kepala parah, nyeri perut atau kaki, atau sesak napas, harus menghubungi penyedia layanan kesehatan mereka.

Mereka mencatat ada enam kasus yang terjadi di antara lebih dari 6,8 juta dosis vaksin yang telah diberikan.

Afrika Selatan mengikuti langkah itu pada hari Selasa (13/4) dengan menangguhkan pemberian vaksin COVID-19 buatan Johnson & Johnson.

Vaksin Johnson & Johnson dan AstraZeneca dikembangkan dengan menggunakan apa yang disebut adenovirus untuk membawa DNA ke sel-sel tubuh manusia yang membangkitkan sistem kekebalan tubuh untuk menangkal virus corona.

Kabar lebih baik mengenai vaksin COVID-19 muncul pada hari Selasa (13/4) dari Moderna. Perusahaan farmasi berbasis di AS ini menyatakan data dari uji klinis tahap akhirnya menunjukkan vaksinnya lebih dari 90 persen efektif dalam melawan infeksi virus corona, dan 95 persen efektif dalam melawan penyakit yang parah hingga enam bulan setelah dosis kedua diberikan. Moderna sekarang ini melakukan tes vaksinnya di kalangan orang-orang muda berusia antara 12 dan 17 tahun.

Suatu studi baru yang dilakukan penyedia layanan kesehatan berbasis di AS, Kaiser Permanente, mendapati bahwa kurangnya aktivitas fisik menimbulkan risiko lebih besar infeksi COVID-19 dan kematian. Studi, yang diterbitkan Selasa (13/4) dalam British Journal of Sports Medicine, mencakup hampir 50 ribu orang di AS yang telah didiagnosis dengan virus corona. Para peneliti menyatakan mereka yang tidak aktif secara fisik selama sedikitnya dua tahun sebelum pandemi dua kali lebih besar kemungkinannya dirawat di rumah sakit dibandingkan dengan mereka yang berolahraga secara teratur.

Para ilmuwan menyatakan faktor risiko terdahulu bagi infeksi COVID-19 yang parah mencakup usia lebih lanjut, laki-laki dan memiliki masalah kesehatan seperti diabetes, obesitas atau penyakit kardiovaskular. [uh/ab]

Sumber: Voaindonesia

Share