TRANSINDONESIA.CO – Manusia sempurna adalah manusia yang “Karim”; yang mulia, pemurah, lagi berbudi pekerti luhur. Artinya, siapapun yang meneladani sifat ini, bukan hanya dituntut untuk menekan kekikiran yang menyelimuti jiwanya, sehingga dia menjadi peramah dan pemurah. Namun, dia pun dituntut untuk menghiasi dirinya dengan simpul-simpul ketakwaan. Sebab, al-karam yang berarti “meraih puncak dalam berbagai aspeknya” adalah yang paling bertakwa.
Untuk meraih tingkatan itu, seseorang dituntut untuk meneladani Allah Al-Karim dalam hidupnya, yaitu dengan menanamkan keyakinan di dalam dirinya bahwa Allah-lah Pemberi terbaik, sehingga segala permintaan hanya ditujukan kepada-Nya. dia sangat yakin bahwa Allah akan mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW ”Sesungguhnya, Allah itu Mahahidup lagi Mahadermawan, Dia malu kepada hamba-Nya yang menengadahkan tangan meminta kepada-Nya, tanpa meletakkan kebaikan dalam tangan hamba-Nya itu.” (HR Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim)
Dia pun yakin bahwa Allah tidak akan pernah memutuskan harapan hamba-hamba-Nya yang serius mendekat dan memohon kepada-Nya. ”Jangan paling kan harapanmu selain dari Allah, karena yang Mahadermawan tidak akan pernah memupus harapanmu.” Oleh karena itu, lanjut Ibnu Atha’illah, ”Jangan mencoba menyampaikan hajatmu kepada selain Allah. Dia adalah Zat yang mengabulkan hajatmu, tidak mungkin hajat terkabul selain-Nya. Sebab, Dia adalah Pemilik dan Pengatur semua hajat manusia. Sesungguhnya, tidak akan ada seorang pun yang mampu melenyapkan keperluan untuk dirinya. Maka, bagaimana mungkin dia akan mampu memenuhi kebutuhan orang lain?”
Ada kisah menarik tentang seorang ibu berusia tujuh puluh satu tahun. Ketika ibu ini berusia empat puluh lima tahun, suaminya meninggal dunia dengan meninggalkan delapan orang anak. Tujuh tahun sebelum wafat, suaminya itu sudah jatuh sakit. Bayangkan, betapa rezeki ibu tersebut bersama anak-anaknya dan juga suaminya beres, tercukupi. Demikian juga ketika suaminya telah tiada. Tinggal lah dia bersama delapan anaknya, belum ditambah dengan kehadiran cucu-cucunya. Dari manakah rezeki mereka? Sungguh, Allah Ta’ala yang telah mencukupkan rezeki mereka.
Ada lagi, seorang ibu yang suaminya meninggal dunia dengan meninggalkan anak yang banyak. Sementara, sang suami tidak meninggalkan harta kekayaan yang banyak. Ketika ada seseorang yang prihatin melihat ibu itu dan bertanya kepadanya bagaimanakah dia akan menghadapi hidup setelah suaminya meninggal dunia, bagaimanakah dia menghidupi anak-anaknya. Ibu itu menjawab, “Suami saya bukanlah pemberi rezeki. Suami saya hanya perantara rezeki. Bahkan, suami saya pun pemakan rezeki, sama seperti saya. Bukankah Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah penjamin rezeki kita? Suami saya memang sudah tiada. Tapi, Allah akan selalu ada.” Masya Allah!
Sumber : Buku Asmaul Husna, karya Aa Gym, Jilid 2
KH. Abdullah Gymnastiar