Kisah Hikmah Jalaluddin Rumi dengan Seekor Sapi

TRANSINDONESIA.CO – Syamsuddin Ahmad Al-Aflaki berkisah tentang pengalaman unik yang dialami Jalaluddin Rumi, seorang sufi terkenal penulis kitab Matsnawi. Alkisah, seorang tukang jagal membeli seekor sapi di pasar, lalu dia membawanya ke tempat penyembelihan. Di tengah jalan tiba-tiba sapi tersebut lepas. Tukang jagal, dengan bantuan orang-orang yang ada di sana segera mengejar serta meneriakinya. Sapi itu marah besar, dia mengamuk dan makin cepat larinya sehingga tidak seorang pun bisa mendekat.

Di persimpangan jalan, hewan ini berpapasan dengan Jalaluddin Rumi, sedangkan di belakangnya orang-orang terus berlari mengejar. Aneh bin ajaib, saat melihat Jalaluddin, mendadak sapi itu menjadi tenang dan jinak, lalu datang menghampiri Jalaluddin. Kedua makhluk beda jenisnya ini pun kemudian saling berhadapan, seakan mereka sedang menjalin komunikasi dari hati ke hati. Sapi ini seakan-akan meminta perlindungan Jalaluddin agar dibiarkan hidup. Jalaluddin pun tampak paham akan apa yang diinginkan binatang tersebut, dia menepuk pelan serta mengusap-usap tengkuknya.

Tidak lama kemudian, tukang jagal beserta orang-orangnya datang menghampiri. Jalaluddin segera memohon agar tukang jagal ini mengurungkan niatnya, serta membiarkan sapi itu tetap hidup. Dia pun setuju dan merelakan sapinya pergi.

Di hadapan orang-orang, Jalaluddin Rumi berkata, “Jika seekor binatang yang tengah digiring ke tempat penjagalan, melepaskan diri lalu berlindung kepadaku, sehingga Allah berkenan memberinya umur panjang. Maka, apalagi dengan manusia yang berlindung kepada Allah dengan sepenuh hati dan jiwa, yang dengan kesungguhan dan ketulusan mencari keridhaan-Nya. Tentu saja Allah akan melindungi orang itu. menyelamatkannya dari siksaan api neraka, serta memasukkannya ke dalam surga untuk tinggal di sana selamanya.”

Kisah ini menyiratkan sebuah pesan bahwa kedekatan, pertolongan, dan perlindungan Allah Taala bisa kita dapatkan dengan belajar melindungi dan menolong makhluk Allah yang lain. Tentu tidak identik dengan perilaku fisik. Kita bisa menolong mereka dengan doa atau perhatian yang tulus. Mudah-mudahan, dengan melakukan hal tersebut, dari jiwa kita keluar perilaku yang santun, kasih sayang, menghargai, dan mau menolong.

Maka, Al Waliy adalah sebuah sikap yang harus tertanam dalam jiwa kita. Untuk menanamkannya, kita dituntut untuk terus meningkat kan kapasitas diri agar kita bisa menjadi jalan perlindungan dan kebaikan bagi orang lain. Lihatlah kedudukan seorang ibu bagi anak-anaknya. Dia melambangkan perlindungan yang tidak bertepi bagi anak-anaknya, sehingga dia pun memiliki kedudukan istimewa di hadapan Allah Ta’ala.

Jika kita mampu mengaplikasikan semua itu, kita akan merasakan kerinduan untuk bisa memberikan pertolongan dan perlindungan kepada siapapun. Oleh karena itu, mendistribusikan kebaikan bagi banyak orang seharusnya menjadi obsesi kita di mana pun berada. Sungguh, sebaik baiknya manusia adalah yang paling memberikan manfaat bagi orang lain. Layaknya cahaya matahari yang menerangi tanpa minta balas budi. Itulah kunci pembuka kecintaan Allah.

sumber : Buku Asmaul Husna jilid 2 Karya Aa Gym

KH. Abdullah Gymnastiar

Share