Hukum Vs Premanisme: Penyerangan dan Pengrusakan Simbol Peradaban

TRANSINDONESIA.CO – Hukum dan aparaturnya adalah simbol peradaban termasuk penegakkan hukumnya. Hukum sebagai kesepakatan yang memiliki kekuatan politik sosial ekonomi dan berbagai gatra kehidupan lainnya menjadi simbol beradabnya suatu bangsa dan negara.

Hukum sebagai simbol peradaban memiliki spirit untuk dapat diberdayakan:

1. Menyelesaikan konflik atau berbagai permasalahan yang kontra produktif secara beradab atau melalui tatanan atau aturan aturan yang telah disepakati yang tertuang dalam hukum acara.

2. Mencegah agar tidak terjadi konflik yang lebih luas. Hal ini merupakan suatu upaya bahwa efek atau dampak dari penegakkan hukum atay hasil penegakkan hukum tidak sebatas projustitia atau demi keadilan namun juga dapat dimanfaatkan bagi upaya upaya; a. Pencegahan b. Perbaikan infrastruktur dan sistem sistem pendukung bagi pelayanan kepada publik c. Peningkatan kualitas pelayanan kepada publik yang berstandar prima d. Pembangunan atau hal hal yang bersifat visioner problem solving dan penyiapan masa depan yang lebih baik.

3. Memberikan perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada korban maupun pencari keadilan. Hukum melayani bagi private, corporate, institusi, kelompok masyarakat maupun bagi negara.

4. Membangun budaya tertib atau budaya patuh hukum.

5. Adanya kepastian karena hukum merupakan panglima.

6. Mencerdaskan kehidupan bangsa karena merupakan bagian dari literasi dan edukasi.

Hukum dan penegakkan hukum seringkali tidak dapat berjalan sebagaimana semestinya. Pengabaian atas aturan penyerangan kantor kantor penegakkan hukum maupun petugas penegak hukum ini merupakan perusakan peradaban.

Ikon atau simbol hukum merupakan ikon atau simbol peradaban. Yang tatkala diserang dirusak apalagi menganiaya dengan cara brutal terhadap petugas di lapangan ini merupakan suatu hal yang brutal pembodohan dan merusak keteraturan sosial.

Bisa juga dikatakan bahwa ini kebiadaban. Seumpama ada hal yang tidak tepat atau hal yang mengganggu atau timbul rasa ketidak adilan ada mekanismenya yang mewadahi dan bukan main hakim sendiri.

Cara cara preman seringkali dipilih dan ujung ujungnya minta maaf dan akan berulang berulang. Apa yang dilakukan dengan gaya preman ini merupakan bentuk pelecehan atas peradaban kemanusiaan dan keteraturan sosial. Apa yang dilakukan dengan cara brutal turun kejalan merusak fasilitas publik ini jelas jelas melanggar ham atau hak orang banyak. Mengatasnamakan sesuatu apalagi rakyat seolah apa saja boleh dilakukan.

Hukum ini akan berjalan tatkala perangkat hukumnya aparaturnya lingkungan masyarakat dan infrastruktur dan sistem sistem nya saling mendukung. Tatkala masih ada dan banyak peluang memutarbalikkan dan mempermainkan hukum maka siapa yang kuat akan melibas dan menjadi pemenangnya.

Hukum mandul bahkan bisa mati. Hukum sebagai simbol peradaban akan banyak hal yang digerus terutama yang berkaitan dengan sumber daya. Pendominasian pengeksploitasian hingga pemdistribusian sumber daya akan menjadi potensi konflik. Tunggangan para preman ya hal hal primordial untuk mendapatkan legitimasi dan solidaritas. Premanisme mematikan hukum dengan keroyokan mengatasnamakan rakyat walau merusak keteraturan sosial.

Aparat penegak hukum dengan segala infrastruktur dan segenap sistem sistem pendukungnya memerlukan perlindungan dan back up sistem yang kuat untuk mampu menghalau atau menindak tegas premanisme.

Hal hal sepele saja tatkala penegak hukum menindak pelanggaran lalu lintas saja tatkala dilawan dimaki maki atau diabaikan atau bahkan diserang ini sudah pelecehan apa lagi sampai dianiaya sampai dibakar kantor atau dirusak kenderaan atau sistem sistem penegakkan hukum lainnya. Hal ini akan terus berulang tatkala tidak dimintakan pertanggungjawaban secara moral, secara hukum, secara administrasi bahkan secara sosial. Hukum memerlukan energi untuk dpat tegak berdiri dan ditaati. Inilah yang dikatakan negara harus menang dengan preman dan hukum tegak sebagai simbol kedaulatan kesatuan persatuan daya tahan daya tangkal bahkan sebagai daya saing.**

Chryshnanda Dwilaksana

Share
Leave a comment