TRANSINDONESIA.CO – Dalam bergaul kita harus sering melihat ke bawah. Dengan begitu rasa syukur akan tumbuh. Kalau kita melihat ke atas, syukur bisa berkurang. Padahal, “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat-Ku kepadamu, tetapi jika kamu kufur, maka azab-Ku pasti sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7).
Misalkan ada yang berkata, “Wah si itu sukses, punya mobil.” Memangnya punya mobil bahagia? Kalau dia memaksakan diri punya mobil, maka selama menyetir matanya bakal sering melihat meteran bensin, bisa jadi bangun tidur pun bensin yang pertama diingat.
Saya tidak berniat menyinggung siapapun. Tapi bagi yang begitu, berarti belum cocok. Lebih baik turunkan cc-nya, dari 1500cc kurangi saja angka nol-nya satu. Jadi 150cc. Untuk apa memaksakan diri? Orang yang punya mobil belum tentu bahagia. Dan apa urusan kita dengan mobil orang?
Begitu pula kalau sekarang ini saudara cocoknya tinggal di kontrakan, maka jangan mondar-mandir ke pameran rumah. Untuk apa? Atau teman seangkatan membeli motor baru, malah kita yang panas. Kita kan bukan knalpot.
Oleh sebab itu, dalam bergaul dengan duniawi, jangan melihat ke atas. Kalau melihat yang di atas, kita jadi sangat mudah tertarik dan menginginkannya. Kalau sudah begitu, kita jadi susah bersyukur, dan yang datang bukan nikmat tetapi azab.
Jadi, marilah saudaraku. Ayo! Jangan melihat ke atas. Seperti di sekolah atau di kampus. Jangan suka mencari-cari orang yang tampak keren. Kalau kita bergabung dengan orang-orang paling cakep, nanti efeknya juga kita yang jadi paling jelek. Ikut-ikut tren terkini. Semuanya jadi dipaksakan.
Sudahlah. Bisa stres sendiri kalau kita iri dengan kekayaan orang. Tidak usah silau. Jika ada orang di sekitar kita membeli barang apapun, yang membuat dia tampak keren, gagah, atau karena dia memang kaya, maka kita tenang saja. Tidak usah panas. Tidak ada urusan kita dengan pembagian Allah kepada kekayaan orang. Urusan kita mensyukuri apa yang Allah berikan pada kita. Itu yang membuka pintu nikmat.
Kalau ingin melihat ke atas sesekali, boleh. Tapi hal itu cukup kita lakukan sekadar untuk pengetahuan saja. Atau, kalau mau, lihat dan bandingkanlah diri kita dengan orang yang lebih banyak ilmunya. Karena kalau kita membandingkan ilmu ke bawah, nanti kita bisa selalu merasa paling saleh sendiri. Misalkan saudara yang sholat cuma tiga kali sehari, bergaul dengan yang hanya salat jumat, nanti bisa dipanggil ustad.
Jadi, untuk menjadi orang yang hidupnya cukup, kita tidak perlu melihat atau membandingkan dengan yang di atas. Tidak perlu. Lebih baik kita mengukur kepada saudara kita yang lebih prihatin. Yang rumah atau kontrakannya diapit gang sempit dan sungai, atau juga dengan yang tubuhnya tidak sempurna.
Amat baik, kalau sekali-kali kita luangkan waktu berkunjung ke panti asuhan, penjara, atau ICU. Supaya kita hidup dengan penuh rasa syukur terhadap nikmat yang telah diberikan Allah. Syukur mendatangkan nikmat. Dan apa yang kita ingin miliki, kalau tidak hati-hati standarnya lebih kepada nafsu.
Nah, apakah nikmat bisa datang karena ingin atau karena syukur? Sebetulnya tidak perlu banyak keinginan, tapi perbanyaklah bersyukur. Kalau hidup kita penuh syukur, Allah yang akan mengilhamkan keinginan. Inilah yang paling enak. Bila Allah mengilhamkan apa yang akan Dia berikan kepada kita, maka itu menjadi yang paling manis karena pasti kejadian.
Sebaliknya, akan jadi apes kalau kita menginginkan sesuatu yang tidak ada takdirnya. Mau ratusan tahun saudara jungkir-balik dan guling-guling, pasti tetap tidak akan bertemu. Dan, salah satu siksaan di dunia ini adalah menginginkan sesuatu yang tidak ada takdirnya.
Saudaraku. Jangan sampai kita mendekati azab. Mari lebih sering lagi melihat ke bawah. Semakin kita perbanyak syukur dalam hidup ini, supaya Allah SWT mengilhamkan apa yang akan diberikan atau ditakdirkan-Nya kepada kita. Semoga hari-hari kita ke depan, di dunia yang sementara ini, selalu diberi-Nya langkah yang paling manis.**
(Sumber buku : Ikhtiar Meraih Ridha Allah jilid 1)
KH. Abdullah Gymnastiar