Konsolidasi Aswaja dalam Kancah Nasional
TRANSINDONESIA.CO – Jagat politik di Indonesia sempat terhenyak tatkala mendengar kabar kepergian salah seorang tokoh di balik layar dalam kancah nasional, yakni K.H. Hilmi Aminuddin yang menjadi Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) periode 2005-2015. Sosok Hilmi dikenal sebagai tokoh pergerakan yang membina kaum muda di era 1980-an dan kemudian mendirikan partai politik berasas Islam (Partai Keadilan) pada masa reformasi 1998. Pada pemilihan umum 1999, PK tidak lolos electoral treshold (ET), lalu bermetamorfosis menjadi PKS, dan hingga kini cukup berpengaruh dalam konstelasi nasional.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menyampaikan dukacita atas meninggalnya Hilmi Aminuddin (Suara Muhammadiyah, 30/6/2020). “Kyai Hilmi adalah tokoh dan pendiri PKS yang gigih berjuang untuk politik Islam Indonesia pasca reformasi. Beliau sosok yang tawadhu dan terbuka dengan semangat ukhuwah yang tinggi,” ujar Haedar yang pernah menulis disertasi tentang gerakan Salafiyah ideologis di Indonesia pada 2006.
Dua hari setelah kepergian Kiai Hilmi, DPP PKS mengadakan tahlil dan doa bersama di markas dakwah yang diikuti seluruh anggota dan simpatisan secara daring (Kumparan, 2/7/2020). Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf al Jufri, Wakil Ketua MS Hidayat Nur Wahid, dan Presiden PKS Sohibul Iman ikut dalam acara takziyah bersama. Turut memberikan sambutan tokoh asal Jawa Timur, Prof. Dr. Ahmad Zahro (Pimpinan Ribath An-Najah, Tambakberas, Jombang). Selain acara doa takziyah di kantor DPP PKS, kegiatan serupa dilakukan pula di Aceh dan Jawa Timur.
“PKS selalu tersudut selama ini, (dituduh) Wahabi lah, ini lah, itu lah. Menurut saya itu hanya stigmatisasi yang kurang nyaman. Tapi sungguh, saya secara kemauan sendiri (mengklarifikasi) karena saya nggak rela kalau ada kezaliman itu,” ungkap Prof. Zahro yang juga menjabat Ketua Umum PP Ittihad Persaudaraan Imam Masjid seluruh Indonesia. Selanjutnya, Prof. Zahro menyatakan: “Ini kehormatan dan penghormatan saya untuk bisa terlibat dalam interaksi doa bersama dan terutama interaksi bagaimana cara kita berjuang, cara kita berdakwah membela Islam melalui PKS. Hati ini tidak bisa saya pungkiri bahwa PKS lah partai yang benar-benar komit membela Islam,”
PKS adalah salah satu contoh partai politik yang lahir pasca reformasi dan acap disalahpahami. Salah paham bermula karena PKS (dan PK) memilih berasas Islam, sehingga dipersepsi bertentangan dengan Pancasila. Salah paham berikutnya, bersumber dari keraguan: Islam aliran apa yang dipakai PKS untuk menjalankan aktivisme politiknya. Sohibul Iman menyebut kesalahpahaman yang selalu diulang-gencarkan menjelang pemilu lima tahunan itu sebagai stigma kebangsaan dan stigma keagamaan. Stigma kebangsaan bertujuan mendiskreditkan gerakan keagamaan (terutama Islam) dipandang bisa mengancam eksistensi keindonesiaan, sedangkan stigma keagamaan untuk menunjukkan bahaya gerakan transnasional terhadap orisinalitas pemahaman/tradisi. Ada lagi, stigma kemanusiaan yang dituduhkan bahwa gerakan Islam memakai jalan kekerasan (terorisme) dan tidak menghormati hak asasi manusia.
Stigma atau kesalahpahaman pertama (kebangsaan) diluruskan Hidayat Nur Wahid, bahwa UU Partai Politik Nomor 2 Tahun 2008 (juncto UU Nomor 2 Tahun 2011) membolehkan asas partai apapun asal tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945 (Pasal 8 ayat 1). Bahkan, UU Parpol (Pasal 8 ayat 2) juga membolehkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita Parpol itu, sekali lagi asal tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945. Asas Islam tentu tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945, bahkan dapat menjiwai dan memperkaya pemahaman tentang Pancasila dan UUD NRI 1945 dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Hidayat punya argumentasi tambahan sangat unik, dengan mengutip pidato Bung Karno di hadapan Gerakan Pendukung Pancasila pada 17 Juli 1954: “Jangan Pancasila diakui oleh sesuatu partai. Jangan ada sesuatu partai berkata Pancasila adalah asasku. PNI tetaplah pada asas Marhaenisme. Dan PNI boleh berkata justeru karena PNI berasas Marhaenisme itulah, PNI mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Tetapi jangan berkata PNI berdasarkan Pancasila. Sebab jikalau dikatakan Pancasila adalah satu partai ideologi, lalu partai-partai lain tidak mau.” Dalam pandangan Bung Karno, Pancasila adalah dasar negara, sehingga menempatkan Pancasila sebagai asas partai politik akan merendahkan (degradasi) kedudukan Pancasila. Terlebih lagi, gerakan reformasi 1998 telah menolak Asas Tunggal Pancasila yang diberlakukan regim Orde Baru terhadap parpol dan ormas karena menjadi alat kekuasaan otoriterian.
Tentang kesalahpahaman kedua yang bernuansa keagamaan, fakta sosial membantah semua kecurigaan itu. Selain pernyataan kedua tokoh nasional, Haedar Nashir dan Ahmad Zahro, banyak sekali fakta yang meluruskan stigma keagamaan. Orang nomor satu di PKS, yakni Ketua Majelis Syura Salim Segaf al-Jufri adalah cucu dari pendiri Jam’iyah al-Khairaat, organisasi Islam yang sejalan dengan tradisi Nahdlatul Ulama dan berkembang di wilayah timur Indonesia (Sulawesi, Maluku, Papua dan sekitarnya).
Presiden pertama PK, Nur Mahmudi Ismail, berlatar pendidikan santri Pondok Salafiyah Kediri, Jawa Timur dan dikenal akrab dengan Presiden Abdurrahman Wahid, sehingga diberi amanah sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan periode 1999-2001. Ketua Dewan Syariah Pusat PKS, Surahman Hidayat adalah alumni Ponpes Cijantung Utama, Ciamis dan Cipasung, Jawa Barat. Tokoh pendiri yang lebih senior seperti Hilmi Aminuddin pernah nyantri di Tebuireng saat masih kecil/remaja. Demikian pula almarhum Rahmat Abdullah (mantan Ketua MPP PKS) yang berlatar pendidikan Ponpes As-Syafi’iyah, Jakarta, murid langsung dari KH Abdullah Syafi’i ulama kharismatik Betawi.
Dari kalangan generasi lebih muda ada Ali Ahmadi al-Hafizh (Ketua Bidang Pembangunan Umat DPP PKS), alumni Ponpes Guyangan Trangkil Pati, Jawa Tengah yang berguru langsung kepada almaghfurullah KH. Maemun Zubeir. Lalu, Bukhori Yusuf (Ketua Badan Perencanaan DPP PKS dan anggota DPR RI) adalah alumni Ponpes Walisongo Pecangan Jepara, Jateng dan Ketua IPNU Jepara (1982-1986). Hj. Aan Rohana (mantan anggota DPR RI) adalah alumni Pesantren al-Ishlah Cirebon, Jabar. Salah seorang pengurus DPW PKS Jawa Barat sekaligus anggota DPRD Provinsi Jabar, Abdul Hadi Wijaya, adalah cicit (turunan kelima) dari Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari (Pendiri NU). Tak banyak orang tahu, darah biru NU ada di PKS.
Kegiatan tahlil dan doa takziyah suatu hal yang biasa untuk mengingatkan pada kematian (dzikrul maut), seperti dilakukan Hidayat Nur Wahid ketika isterinya (Kastina Indriawati) meninggal pada tahun 2008. “Saat itu kami melakukan doa bersama di rumah dinas Ketua MPR dipimpin oleh KH Hasyim Muzadi selaku Ketua PBNU,” ungkap Hidayat. PKS juga menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw di markas partai sejak beralamat di Mampang Prapatan hingga pindah ke Jalan Simatupang, Jakarta Selatan. Publik sudah mengetahui, tokoh utama PKS Salim Segaf rutin berziarah dan menghadiri acara haul tokoh-tokoh perintis dakwah di seluruh pelosok Nusantara.
Tidak hanya ritual dan seremonial, kader PKS juga melakukan kegiatan intelektual berupa kajian rutin kitab-kitab klasik seperti Tafsir al-Munir karya Syekh Nawawi al-Bantani, Fathul Muin (Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari), Al-Hikam (Ibnu Athoillah al-Askandari), Bidayatul Hidayah (Imam al-Ghazali) dan buku panduan Adabul Alim wal Muta’alim (KH Hasyim Asy’ari). Salah seorang pengasuh kajian rutin kitab Irsyad as-Sariy (bunga rampai karya KH Hasyim Asy’ari) adalah Mahmud Mahfudz, alumni Tebuireng, Jombang.
Namun, PKS sebagai entitas politik merangkul dan mengakomodir semua kalangan organisasi berpaham Ahlus Sunnah wal Jamaah, sehingga pengurus dan anggotanya banyak berlatar afiliasi NU, Muhammadiyah, PUI, Mathlaul Anwar, al-Irsyad, DDII, Persatuan Islam, Hidayatullah, al-Washliyah, Nahdlatul Wathan, al-Khairaat dan lain-lain. Sebagai kekuatan politik berpaham Ahlus Sunnah tentu saja PKS menolak pandangan dan sikap ekstrem dari pendukung Syiah, Khawarij, atau Mu’tazilah. Sudah menjadi rahasia umum, pengikut Islam ekstrem atau liberal justru berlindung di balik jubah partai-partai nasionalis sekuler. Mereka beruntung tidak terkena stigma keagamaan, bahkan berani mengklaim penyokong kebebasan berpolitik dan beragama.
Tokoh pahlawan nasional M. Natsir memiliki prinsip “Berpolitik dalam dakwah”, ketika di masa awal Orde Baru dilarang mendirikan partai Islam (Masyumi) oleh rezim Soeharto, sehingga harus mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) sebagai wahana perjuangan. Maka, saat ini di era keterbukaan, PKS menjalankan prinsip “Berdakwah di arena politik”, tentu saja dengan segala sisi kekurangan dan kelebihannya. Karena itu, PKS sangat mendukung perjuangan para tokoh lokal di daerah pelosok, seperti KH Dailamy yang memimpin Ponpes Abu Hurairah di Pulau Sapeken, Madura. Salah seorang cucu Syaikhona Cholil Bangkalan, yakni KH Toha Cholil pengasuh Ponpes Al-Muntaha al-Kholiliyah adalah Ketua Dewan Syariah PKS di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. PKS menjadi rumah bersama bagi komponen umat dan bangsa, sehingga aktivis NU, Muhammadiyah, Persis, PUI dan ormas lain bisa berkolaborasi.
Bila ditelusuri lebih dalam, stigma keagamaan itu muncul akibat iklim kompetisi yang tidak sehat. Beberapa pengamat dan surveyor politik sering mengemukakan teori tentang kanibalisasi suara partai-partai Islam (PPP, PKS, dan PBB) atau partai berbasis massa Muslim (PKB dan PAN). Padahal, jika dicermati hasil pemilu pasca reformasi sejak 1999 sampai 2019, teori itu terbukti keliru karena partai-partai Islam atau berbasis Muslim justru berkompetisi dengan partai-partai nasionalis.
Fakta elektoral mengungkapkan partai-partai nasionalis mencuri suara pemilih Muslim di basis utamanya, seperti PDIP di Jawa Timur (berhadapan dengan PKB) dan di Jawa Tengah (berhadapan dengan PPP dan PAN), Gerindra di Jawa Barat (berhadapan dengan PKS/PPP/PBB), Partai Golkar dan Demokrat di Indonesia bagian timur nyaris tiada lawan dari partai Islam. Fakta elektoral itulah yang sengaja disembunyikan dan ditutupi dengan sentimen keagamaan tradisionalis versus modernis. Energi umat terkuras hanya untuk merespon stigma keagamaan yang tak berdasar.
Peran gerakan Islam dalam sejarah Indonesia tak bisa dinegasikan siapapun, sejak berdirinya Jamiat Kheir (1901), Serikat Dagang Islam (1906) hingga Sarekat Islam dan Muhammadiyah (1912) serta Nahdlatul Ulama (1926). Hal itu ditegaskan pula oleh KH Bahauddin Nursalim (Gus Baha), salah seorang tokoh Syuriah NU. Gerakan Islam tidak hanya sibuk dengan aktivitas politik, bahkan jauh sebelumnya sudah menggerakkan aksi sosial/kemanusiaan. pemberdayaan ekonomi dan dakwah kebangsaan menumbuhkan jiwa nasionalisme melawan penjajahan.
Warisan sejarah itu merupakan jejak tak terhapuskan dari gerakan Ahlus Sunnah dalam politik Indonesia kontemporer. Peristiwa aktual yang patut dicatat ialah protes terhadap Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), seluruh ormas Islam dan ormas keagamaan serta eksponen nasionalis bergerak mengawal Pancasila sebagai dasar negara agar tidak ditafsirkan semau gue oleh pihak sekuler. Untuk menghindari tekanan publik yang meluas, RUU HIP ditunda pembahasannya, tetapi ternyata diajukan lagi RUU baru tentang BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).
Kini saatnya gerakan Islam dan seluruh komponen reformasi mengkonsolidasikan diri dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan politik agar Indonesia selamat dari jebakan oligarki dan kekuatan status quo yang ingin melanggengkan kekuasaan. Pembahasan Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) yang dipaksakan dan masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) di masa pandemi corona adalah contoh nyata kepentingan bercokol. Kita harus membangun agenda bersama menuju Indonesia berdaulat, maju dan sejahtera, sehingga tidak terperangkap stigma kebangsaan, keagamaan dan kemanusiaan yang memecah-belah.
Oleh: Sapto Waluyo (Center for Indonesian Reform)