MUI Keluarkan Taujihat Shalat Jumat Dua Gelombang Tak Sah

TRANSINDONESIA.CO – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan taujihat atau arahan yang menyatakan pelaksanaan shalat Jum’at dua gelombang (lebih dari satu kali) di tempat yang sama pada waktu yang berbeda hukumnya tidak sah, meski terdapat ‘udzur syar’i (alasan yang dibenarkan secara hukum).

“Orang Islam yang tidak dapat melaksanakan shalat Jum’at disebabkan suatu ‘uzur syar’i hanya diwajibkan melaksanakan shalat Zuhur,” ujar Ketua MUI KH Yusnar Yusuf yang membacakan Taujihat MUI tentang Salat Jumat di Era Tatanan Kehidupan Baru atau New Normal Life di kantor MUI Pusat Jakarta, Kamis (4/6/2020).

Saat ini banyak pertanyaan masyarakat terkait pelaksanaan shalat Jum’at di era kehidupan normal baru (new normal life) akibat Covid-19 yang diharuskan adanya jaga jarak fisik (physical distancing). Akibatnya, mengurangi kapasitas dan daya tampung masjid sebagai tempat shalat Jum’at yang kemudian memunculkan gagasan untuk melaksanakan shalat Jum’at lebih dari sekali dalam satu masjid.

Shalat Jum’at dua gelombang atau lebih di satu tempat tidak tepat menjadi solusi dalam kondisi kehidupan normal baru (new normal life), karena bisa menimbulkan kerepotan luar biasa (masyaqqah) bahkan bisa menimbulkan bahaya secara kesehatan. Misalnya untuk menunggu giliran shalat Jum’at gelombang berikutnya tidak ada tempat yang aman dan memadai untuk menunggu sehingga justru berpeluang terjadinya kerumunan yang bertentangan dengan protokol kesehatan.

MUI berpandangan bahwa solusi untuk situasi saat ini ketika masjid tidak bisa menampung jamaah shalat Jum’at karena adanya jarak fisik (physical distancing) adalah bukan dengan mendirikan shalat Jum’at secara bergelombang di satu tempat, tapi dibukanya kesempatan mendirikan shalat Jum’at di tempat lain, seperti mushalla, aula, gedung olahraga, stadion, dan sebagainya.

“Karena hal itu mempunyai dasar alasan syari’ah (hujjah syar’iyah) yang lebih kuat dan lebih membawa kemaslahatan bagi umat Islam,”ujar Yusnar.

Bagi jama’ah yang datang terlambat dan tidak dapat tempat di masjid serta tidak menemukan tempat salat Jum’at yang lain, atau dalam kondisi adanya alasan yang dibenarkan syari’ah (udzur syar’ie), maka wajib menggantinya dengan shalat Zuhur, sebagaimana disebutkan dalam Fatwa MUI di atas.

MUI dalam Musyawarah Nasional tahun 2000 yang dihadiri oleh Pimpinan MUI seluruh Indonesia telah menetapkan Fatwa Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Shalat Jum’at Dua Gelombang.

MUI berketetapan bahwa Fatwa tersebut masih relevan dan paling membawa mashlahat untuk menjawab permasalahan yang muncul saat ini.

Alasannya, fatwa tersebut mempunyai pijakan dalil syari’ah (hujjah syar’iyah) yang lebih kuat untuk konteks situasi dan kondisi di Indonesia dan merupakan pendapat ulama empat madzhab (al-madzahib al-arba’ah).

Selain itu, hukum asal dari shalat Jum’at adalah sekali saja dan hanya dilakukan di satu masjid di setiap kawasan serta dilakukan dengan segera tanpa menunda waktu.

Para ulama dari zaman ke zaman tidak memilih opsi shalat Jum’at dua gelombang atau lebih di masjid yang sama atau di tempat masjid yang sama, padahal mereka sudah membolehkan shalat Jum’at di lebih dari satu masjid (ta’addud al-Jum’ah) di satu kawasan, bila keadaan menuntut seperti yang telah diuraikan di atas.

Taujihat juga menegaskan bahwa pendapat yang menyatakan bolehnya shalat Jum’at dua gelombang atau lebih di satu tempat tidak relevan untuk diterapkan di Indonesia

“Pendapat tersebut didasarkan pada dalil syari’ah (hujjah syar’iyah) yang lemah dan menyelisihi pendapat mayoritas (jumhur) ulama,” ujar Yusnar.

Shalat Jumat dua gelombang dimungkinkan bagi negara-negara dimana umat Islam minoritas, misalnya di Eropa, Amerika, Australia, dan lain sebagainya. Di negara-negara tersebut umat Islam merupakan minoritas dan sangat sulit mendapatkan izin tempat untuk melaksanakan shalat Jum’at, serta tempat yang ada tidak bisa menampung jumlah jama’ah, sehingga tidak ada alternatif lain bagi mereka selain mendirikan shalat Jum’at secara bergelombang di tempat yang sama.

Kondisi tersebut terkategori sebagai kebutuhan mendesak (hajah syar’iyah) yang membolehkan hal itu dilakukan.

“Tapi hal seperti itu tidak terjadi di Indonesia, karena umat Islam mempunyai kebebasan untuk mendirikan shalat Jum’at di tempat manapun yang memungkinkan didirikan shalat Jum’at,” kata Yusnar. [met]

Share