TRANSINDONESIA.CO – “Mohon maaf signal jelek. Kamu sih hanya beli pulsa tidak beli signal sekalian”. Ungkapan plesetan tentang jejaring atau network menjadi umpatan kejengkelan entah diperuntukkan kepada siapa.
Saat sistem daring merambah ke segala gatra kehidupan pertanyaan dan pernyataan tentang kekuatan signal kuat menjadi issue utamanya. Signal absurd tiada yang mampu melihat apalagi meraba namun dapat dirasakan saat komunikasi diaktifkan. Signal sering kali menjadi janji yang juga jarang ditepati. Signal bagai daya kesaktian dari sistem sistem elektronik di era digital. Tanpa signal sehebat apapun aplikasi back office hingga gadgetnya hanya menjadi onggokkan benda tanpa nyawa.
Signal bagai roh pengisi kehidupan era digital. Namun signal sering terabaikan dicari saat dibutuhkan, saat lancar seakan tiada jasa karena kata gambar menggantikan perhatian padanya. Signal dicari tatkala kata dan gambar tiada lagi tersambung dan suarapun mulai mengalun dengan resonansi kabur kangenin. Desahan suara tiada lagi bermakna pesan pun tiada menyentuh indera bahkan menjadikan terusiknya telinga dan mata.
Signal itu aliran darah bagi sistem sistem on line. Bahkan namanyapun dengan sebutan IoT semua serba dengan signal. Apa arti sesuatu yang canggih tanpa signal maka bagai raga tanpa nyawa. Signal dibangun di mana mana berbasis satelit merajai jagad maya tara. Mampu menjembatani seluruh penjuru dunia menembus ruang dan waktu. Apapun bisa dlm sekejap on time real time dan on time.
Signal urat nadi artificial intellegence? Ya dia tak berfungsi tatkala signal tiada daya. Signal bergetarpun meruntuhkan wibawa apalagi menghilang semua bagai gelap melanda. Signal tidak boleh cuil sedikitpun. Ia harus hidup sepanjang hayat dikandung badan. Signal bagai dawai jembatan hati memasuki taman kehidupan virtual di balik layar. Signal kecintaan pengguna media walau seringkali dilupakan saat semuanya lancar goncar. Barulah ditangisi saat tiada.**
[Chryshnanda Dwilaksana]