Perppu Corona Dalam Pusaran Inkonstitusional

TRANSINDONESIA.CO – Sangat terkejut. Begitu yang saya alami ketika mencermati Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) ini. Bukan semata karena judulnya yang terlampau panjang. Tapi proses kelahiran dan kandungannya. Menyeret Perppu dalam pusaran Inkonstitusional.

Perppu ini bernomor 1 Tahun 2020. Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/ Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/atau Stabiltas Sistem Keuangan.

Mari kita lihat dari sisi proses kelahirannya. Pemerintah tidak boleh sembarangan dalam melahirkan Perppu. Dalam Pasal 22 (1) UUD 1945 disebutkan “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, menyebut ada tiga syarat sebuah kondisi dianggap “kegentingan yang memaksa”.

Pertama, Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; Ketiga, Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa, sebab akan memerlukan waktu yang cukup lama. Padahal, situasi yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Timbul persoalan besar disini. Soal syarat kedua, misalnya. Adakah kekosongan hukum sehingga Perppu Nomor 1 Tahun 2020 atau kerap disebut Perppu Corona diterbitkan?

Sebenarnya ada landasan hukum yang dapat digunakan pemerintah dalam menghadapi pandemi ini, yakni Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Isi UU ini jelas dan detail. Bisa sebagai payung hukum dan pedoman dalam mengambil kebijakan penanganan wabah covid-19.

Alasan mendesak dengan harus membuat UU tanpa melalui prosedur biasa pun tidak terpenuhi. Sampai hari ini, DPR masih ada. Masih bersidang dan belum memasuki masa reses.

Yang lebih membuat saya sangat kaget adalah isinya. Banyak pasal yang sangat membahayakan perjalanan bangsa dan negara ini. Mari kita lihat beberapa pasal dimaksud.

Pertama, Pasal 12 ayat 2 menyatakan bahwa Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.

Hal ini telah menghilangkan kewenangan serta peran DPR dalam membahas APBN. UUD NRI Tahun 1945 Pasal 23 ayat 1 juga telah menyatakan bahwa kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun, bukan Peraturan Presiden.

Kedua, Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa Anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ini bertentangan dengan prinsip supremasi hukum dan prinsip negara hukum yang berkeadilan. Padahal, perubahan pertama UUD tahun 1999 sampai perubahan keempat tahun 2002, menjamin tegaknya prinsip-prinsip supremasi hukum.

Ketiga, Pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

Ini tidak sesuai dengan prinsip dasar keuangan negara dan meniadakan adanya peran BPK untuk menilai dan mengawasi.

Secara umum jelas sudah, Perppu Corona ini sangat berpotensi besar melanggar konsitusi. Bahkan proses lahir dan kandungannya terseret dalam pusaran Inkonstitusional.

Tak heran jika ada tokoh masyarakat yang menggugat Perppu ini ke Mahkamah Konstitusi. Dan sikap partai saya juga teramat sangat jelas, menolak dengan tegas Perppu ini. Apalagi akan dijadikan UU.

Saya dan rekan-rekan di Fraksi PKS akan terus berjuang agar Perppu ini dibatalkan. Meski kami hanya sendirian di parlemen. Sebab, harga yang akan dipertaruhkan teramat mahal. Yakni nasib bangsa dan negara ini ke depannya.

Ahmad Syaikhu [Anggota DPR RI Fraksi PKS]

Share