TRANSINDONESIA.CO – Oleh: Muhammad Joni
Kalau mudah, mengapa dibuat rumit? Mengulas substansi hukum Omnibus Law RUU Cipta Kerja memang berat; biar lawyer saja! Karena akumulasi Undang-undang (UU) dan pasal-pasal yang di-Omnibus Law-kan, ribuan. Malah bertambah.
Semula Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut 1.194 pasal, ehh, Sekretaris Menko Perekonomian mengoreksi menjadi 1.228 pasal. Pun, pasal diturunkan dalam banyak ayat; redaksi kalimat, frasa berisi konsep norma yang dicerna “berat”. Membacanya kening mengernyit. Namun bisa dipahami mudah dengan tamsilan.
Omnibus Law bagaikan tamsil air sungai yang deras mengalir. Menerobos sekat. Menyingkirkan ragam aral menyumbat. Melempangkan aturan formil yang berkelok dan prosedurnya zigzag. Omnibus Law hendak mengubah aturan rumit dan berbelit menjadi mudah dan memudahkan.
Analog air mutlaq; air yang suci lagi menyucikan. Interupsi sebentar, cegah-lah air deras berdebit meruah itu menghantam danau mungil yang indah; sumber gizi dan rizki bagi warga lokal sekitar ekosistem danau bertuah.
RUU Cipta Kerja bagaikan air sungai deras mengalir yang mengubah 79 Undang-undang. Mengamanatkan 516 peraturan delegasi: 493 Peraturan Pemerintah (PP), 19 Peraturan Presiden (Perpres), 4 Peraturan Daerah.
Jika memeriksa “zooming” RUU Cipta Kerja, khususnya paragraf 9 mengenai Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), koq hanya mencakup 4 UU saja? UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU 20/2011 tentang Rumah Susun, UU 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, dan UU 17/2019 tentang Sumberdaya Air yang seumur jagung.
Jika Omnibus Law mengoreksi zigzag prosedural dan konflik normatif dari UU sektoral secara menyeluruh dan tuntas-final, hallo.., mengapa kluster PUPR hanya 4 UU yang di-Omnibus Law-kan?
Bagaimana cerita diagnosanya paragraf 9 PUPR hanya pada 4 UU itu? Jangan sampai hanya tambal sulam pasal skala ribuan bertitelkan Omnibus Law belaka.
Jika memelototi perubahan UU 1/2011 dalam RUU Cipta Kerja, masih parsial dan minimalis! Sebab, hanya mengubah 14 pasal saja: Pasal 26, Pasal 29, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 42, Pasal 53 (perihal perencanaan dan perancangan rumah, perencanaan PSU, kemudahan perizinan, hunian berimbang).
Kisruh aturan hunian berimbang pun tidak diatur tuntas.
Terus, pasal penyediaan tanah: Pasal 107, Pasal 109, Pasal 114, tidak ada peruntukan tanah untuk hunian juncto bank tanah eksplisit perumahan yang selama ini diusulkan.
Terakhir, pasal perubahan menjadi sanksi administratif: Pasal 134, Pasal 150, Pasal 151, Pasal 153. Tidak pula ada pengaturan sengketa developer/produsen-konsumen diselesaikan, agar tak tergesa ke PKPU (penundaan pembayaran utang) pun kepalilitan.
Penting diungkapkan RUU Cipta Kerja yang mengubah UU 1/2011 itu juga berisi perintah aturan delegasi atas 8 pasal UU dengan PP (tidak dengan Peraturan Menteri), yaitu Pasal 26, Pasal 29, Pasal 33, Pasal 36, Pasal 42, Pasal 53, Pasal 150, Pasal 153.
Interupsi lagi, bagaimana dengan nasib Peraturan Menteri PUPR yang sudah ada jika konsisten dengan amanat perubahan UU 1/2011 ke (R)UU Cipta Kerja? Misalnya Permen PUPR tentang Perjanjian Pendahuluan dan PPJB, pun tentang PPPSRS?
Perubahan UU 20/2011 dalam RUU Cipta Kerja pun tak banyak mengubah UU Rumah Susun yang tak sedikit persoalan aturan yang patut direvisi, pun kekosongan huku yang musti diisi.
Namun RUU Cipta Kerja itu hanya mengubah 17 pasal UU 20/2011 yakni: Pasal 16 (kewajiban 20% dan hunian berimbang), Pasal 24 (pemisahan rusun, gambar dan uraian), Pasal 28 (administratif pembangunan rusun), Pasal 29 (rencana fungsi dan pemanfaatan), Pasal 31 (pengubahan rencana fungsi dengan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat), Pasal 32 (Perizinan Berusaha terkait rencana fungsi dan pemanfaatan serta pengubahannya diatur dengan PP), Pasal 39 (wajib mengajukan permohonan Sertifikat Laik Fungsi ke Pemerintah Pusat), Pasal 40 (kewajiban PSU), Pasal 43 (jual beli sarusun belum selesai dan syarat PPJB), Pasal 56 (pengelolaan rusun).
Terus, mengubah 7 pasal sanksi dalam UU 20/2011 menjadi sanksi administratif: Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 117. Resolusi konflik produsen-konsumen rusun/apartemen yang acap sengit, tidak di-Omnibus Law-kan.
Patut dicermati, RUU Cipta Kerja menghapus 2 pasal UU 20/2011: Pasal 30 (wajib meminta pengesahan pemda tentang pertelaan) dan Pasal 33 (izin rencana fungsi dan pemanfaatan serta perubahan diatur Perda).
Mengapa? Akankah pengesahan dan izin yang sangat teknis dari pelosok nusantara, hendak ditarik ke Jakarta?
Bagaimana pelajaran dari One Single Submission (OSS) untuk industri properti/perumahan?
Soal lain yang musti diketahui Pemda, developer dan REI (karena mengubah postur regulasi), adanya delegasi UU membuat PP (tidak ada dalam bentuk Permen). Yang berarti peluang menata ulang corak substansi aturan Pasal 16, Pasal 24, Pasal 26 (disahkan Pemerintah Pusat, yang bisa saja PP atau Perpres). Juga, Pasal 29, Pasal 39 (SLF ke Pemerintah Pusat), Pasal 40, Pasal 43, Pasal 56 (PP dan Perizinan Berusaha Pemerintah Pusat), Pasal 109, Pasal 110, Pasal 112, dan Pasal 113.
Apa implikasinya pada postur tata aturan perumahan rakyat dan penyelenggaraan urusan (konkuren) bidang perumahan rakyat?
Idemditto, akankah mengubah tata aturan (industri) properti/realestat? Sebab, sektor properti dengan 170-an usaha turunan, aha.., masih melekat rezim hukum UU 1/2011 dan UU 20/2011.
Jika menelaah BAB XI Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja, dalam Pasal 162 ayat (2) dinormakan bahwa Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan berwenang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan UU yang dilaksanakan oleh menteri atau kepala lembaga dan pemda. Ayat (4) mendelegasikan ketentuan lebih lanjut pelaksanaan urusan Presiden itu diatur dengan PP, sama sekali tidak dengan Peraturan Menteri (Permen).
Kiranya, hal itu menjadi ciri “sentralisasi” wewenang Pemerintah Pusat yang semula Perda dan Permen menjadi PP. Diperkuat dengan Pasal 163 ayat (2) bahwa peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja diatur dengan PP dan/atau Perpres.
Akankah postur aturan kebijakan yang semula overload Permen yang hanya beleid-regel menjadi overload aturan Standar –prosedural-teknis dalam bentuk materi muatan PP?
Sebab itu, stakeholder PUPR level nasional, baik produsen dan konsumen, pun organisasi profesi, musti fokus mencermati.
Menjadikannya agenda advokasi regulasi, apalagi begitu banyak dan segera disiapkan Standar (NSPK) dalam bentuk PP pula.
Perlu diketahui, delegasi aturan biasanya melekat dengan delegasi tugas dan wewenang. Karena amanatnya dalam bentuk PP (bukan Permen –yang beleid regel), maka hipotesis saya urusan, tugas dan wewenangnya belum tentu melekat pada kementerian/lembaga.
Akankah kondisi ini akan menyisihkan urusan konkuren kementerian/lembaga dalam UU Pemerintah Daerah?
Mencermati pasal-pasal perubahan RUU Cipta Kerja, hanya pengaturan ulang yang parsial, belum menyeluruh (a whole) dan menjawab industri properti.
Lebih kepada kemudahan prosedur, belum kompleks sebagai substansi regulasi properti. Belum membentuk rezim hukum baru perihal perumahan (dan kawasan permukiman) komersial yang terpisah UU 1/2011 dan UU 20/2011.
Walaupun ada menyisipkan pengaturan Satuan Rumah Susun untuk Orang Asing (Pasal 136-138), bank tanah dan penyediaan lahan, namun masih minimal dan parsial.
Pembaca, untuk mengokohkan sektor properti/realestat –yang tidak sekadar perumahan rakyat dan rumah susun, tapi mengaliri 170-an usaha turunan— serta untuk mengisi kekosongan aturan dalam RUU Cipta Kerja, maka opini ini terus “maju tak gentar” mendorong prakarsa pun inisiatif RUU Properti/Realestat.
Agar airnya deras mengalir jernih mengisi keringnya aturan “kawasan” sektor/industri strategis yang berhimpun dalam asosiasi dibawah panji-panji Realestat Indonesia.
Boleh saja bersemangat untuk memudahkan (prosedural) dan kemudahan usaha dengan RUU Cipta Kerja, namun peta jalan menuju (R)UU Properti-Realestat, sebenar-benar perlu, lho!
Salam literasi properti. Tabik.*