Dibalik Sejarah Tanggal Merah Imlek
TRANSINDONESIA.CO – Tanggal merah atau hari libur Nasional Imlek bukan hanya turun dari langit semata, namun ada perjuangan kala itu. Bersama tokoh Tionghoa Suhu Acai tahun 2000 silam. Tugas saya adalah buat konsep surat pengantar audiensi ke seluruh Fraksi di DPR, Ketua DPR, MPR, Departemen Agama bahkan ke Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur)-Presiden ke-4.
Tugas ku, disamping membuat konsep surat juga membawa tokoh-tokoh Tionghoa tersebut, serta lobby lobby kepada birokrat agar bisa beraudensi.
Bermula, 17 Oktober 2000 YLKTI berkirim surat kepada Menteri Agama RI, intinya berharap agar pemerintah berkenan
menjadikan Imlek menjadi hari besar/libur Nasional. Pada 22 Januari 2001, Menteri Agama lewat surat nomor B.VI/2/BA.00/161/2002 memberikan jawaban bahwa berdasarkan kajian dan pertimbangan Menteri Agama yang disampaikan kepada Presiden RI, KH Abdurrahman Wahid, usulan YLKTI itu bisa disetujui bahwa Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).
Hal itu diperkuat dengan SK Menteri Agama No 13/2001 tanggal 19 Januari 2001 bahwa Imlek sebagai hari libur fakultatif selama satu hari bagi masyarakat Tionghoa di wilayah Indonesia. Hari dan tanggal Imlek ditetapkan dengan keputusan Menteri Agama RI berdasarkan masukan dari lembaga yang mewakili masyarakat Tionghoa Indonesia, termasuk dari YLKTI.
Kemudian, menyusul keluar SK Menteri Agama No 14/2001 tanggal 23 Januari 2001 untuk menetapkan hari dan tanggal perayaan Imlek Tahun 2552.
Pada SK ini disebutkan, memperhatikan surat Ketua Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa Indonesia (YLKTI) No 059/YLKTI/I/2001 tanggal 19 Januari 2001, maka diputuskan bahwa hari libur fakultatif Imlek Tahun 2552 jatuh pada tanggal 24 Januari 2001.
Beberapa bulan kemudian, tanggal 23 Juli 2001, keluar SK Menteri Agama bahwa berdasarkan data yang dihimpun dari Ditjen
Pembinaan Agama Islam, Ditjen Bimas Kristen, Ditjen Bimas Katolik, Ditjen Bimas Hindu dan Budha, dan Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa Indonesia (YLKTI), ditetapkan hari-hari libur Nasional, di antaranya adalah Imlek 2553 Tahun Cina yang jatuh pada tanggal 12 Februari 2002.
Liku liku panjang
Suhu Acai dan Gus Dur
Pertengahan tahun 2000 silam, di sebuah rumah bernomor 35 di Jl. Pluit Timur Raya, Jakarta Utara, yang diketahui sebagai tempat
kediaman seorang paranormal keturunan Tionghoa: The Eng Tjai atau akrab disapa dengan Suhu Acai.
Setiap harinya, rumah berpagar rendah warna putih itu memang acap disambangi masyarakat–sebagian besar warga keturunan
Tionghoa–yang ingin berobat atau sekadar berkonsultasi tentang masalah yang mereka hadapi.
Tak ada hal istimewa lain yang dapat dilihat lebih jauh mengenai rumah tersebut. Apalagi jika dibandingkan dengan rumah-rumah lainnya di kawasan itu, yang rata-rata berukuran lebih besar dan berdesain mewah dengan pagar-pagar tinggi yang kokoh melindungi kemewahan itu sendiri, rumah No 35 itu terkesan amat sederhana.
Kalaupun ada hal lain yang cukup menarik, adalah kegiatan ritual Tionghoa yang selalu dilakukannya pada waktu-waktu tertentu dalam
setiap tahunnya. Setiap hari, sejak 1999, Suhu Acai, berpraktik melayani anggota masyarakat yang datang bersambang ke rumahnya.
Pada suatu ketika, di pertengahan 2000 silam, secara mendadak dalam kepala paranormal ini tebersit pemikiran tentang perlunya menangani kebudayaan Tionghoa di Indonesia secara komprehensif, seiring dengan bergulirnya semangat reformasi di tanah air.
Dari pemikiran itu, muncul ide membentuk sebuah yayasan yang kemudian diberi nama Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa
Indonesia, disingkat YLKTI. Ada banyak ide yang hendak dikembangkan lewat yayasan ini.
Salah satu yang diangankan adalah bagaimana agar masyarakat Tionghoa bisa merayakan Imlek seperti halnya masyarakat lain bisa merayakan hari-hari besar masing-masing.
Pemikiran ini, agaknya disemangati oleh keputusan pemerintah melalui Presiden
Abdurrahman Wahid yang tertuang dalam Keppres No 06/2000 tentang tata cara pelaksanaan upacara keagamaan Cina.
“Alangkah indahnya jika Imlek juga dinyatakan sebagai hari libur nasional,” kata Suhu Acai kala itu.
Dalam benak Suhu Acai, “Jika kebudayaan Tionghoa sudah dianggap sama dengan budaya lainnya yang ada di Indonesia–sehingga bisa muncul di muka umum–mengapa hari raya Imlek yang merupakan hari raya masyarakat Tionghoa juga tidak dianggap sama statusnya
dengan hari besar lain yang ada di sini?”
Dari situlah, ide itu segera dilempar ke teman-teman yang kerap bertandang ke rumahnya. Mengingat gagasan itu akan sulit terwujud tanpa ada dukungan dari komunitas lain di luar Tionghoa, Suhu Acai mencari dukungan tak saja dari masyarakat Tionghoa, tapi juga ormas Islam, Budha, Hindu, Konghucu, dan ormas serta LSM lain. Gayung bersambut, tak kurang dari 136 LSM dan ormas memberikan dukungan.
Lebih dari itu, Suhu Acai juga getol menjalin lobi dengan para politikus di gedung DPR/MPR. Sejumlah kesibukan pun dilakukan para
pengurus YLKTI untuk menggolkan Imlek menjadi hari besar dan hari libur nasional, di antaranya:
26 Oktober 2000: YLKTI bekerja sama dengan puluhan LSM dan ormas mengadakan seminar di Hotel Royal Jakarta bertema Mencari Dukungan agar Imlek
Dijadikan Hari Libur Nasional.
27 November 2000: Pengurus YLKTI beraudensi dengan Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (F-KKI) DPR RI, diterima sekretaris Fraksi Usmawan dan
bendahara Fraksi LT Sutanto. Usmawan mengatakan akan menyampaikan keinginan itu ke fraksi-fraksi lain di DPR, untuk bisa
disampaikan ke pemerintah.
28 November 2000: Pengurus YLKTI beraudensi dengan Komisi VII DPR RI, diterima KH Hanief Musli Le dan Ahmad Mubazir Mahfud dari Fraksi Kebangkitan
Bangsa.
5 Desember 2000: Pengurus YLKTI beraudensi dengan Fraksi PDIP, diterima Siti Soetami, Ismamun Notosaputra, AA Sagung Hartini, Rusman Lumban Tarwan, I Made Rajag, Anak Agung Sagung Hartini, dan Imam Suroso.
YLKTI juga beraudensi dengan pengurus Partai Demokrasi Kasih Bangsa, Golkar, dan Komisi VI. Selain itu, secara pribadi dalam
berbagai kesempatan Suhu Acai juga bicara dengan Presiden KH Abdurrahman Wahid dan Wapres Megawati Soekarnoputri.
17 Desember 2000: Dihadiri Ketua MPR Amien Rais, YLKTI bersama puluhan LSM, ormas, tokoh agama, dan tokoh masyarakat melahirkan Deklarasi Sahid, di Hotel Sahid, Jakarta.
Deklarasi itu melahirkan tiga butir pemikiran:
Pertama, masyarakat Keturunan Tionghoa di Indonesia adalah juga anak bangsa yang mempunyai hak yang sama dan kewajiban yang sama sebagaimana warga negara Indonesia lainnya.
Kedua, Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa Indonesia (YLKTI) adalah pelopor pertama yang memperjuangkan Imlek supaya menjadi hari besar
nasional/hari libur Nasional.
Ketiga, demi persatuan dan kesatuan anak bangsa, kami mengusulkan kepada Presiden Republik Indonesia agar tahun 2002 dan seterusnya hari raya Imlek dapat ditetapkan menjadi hari besar Nasional/libur Nasional.
Perjuangan YLKTI tidak sia-sia. Pemerintah memutuskan Hari Raya Imlek sebagai hari besar Nasional dan hari libur Nasional. Sehingga masyarakat keturunan Tionghoa di seantero Indonesia dapat merayakan dengan khusuk.
Gong Xi Fat Cai
Selamat Tahun Baru Imlek ke 2571.
[Naek Effendi Pangaribuan]