Catatan IPW: Polri Tak Asyik 2019

TRANSINDONESIA.CO – Indonesia Police Watch (IPW) menilai institusi Kepolisian Negara RI tidak asyik. Pasalnya, hanya asyik sendiri melebarkan organisasinya dengan eforia hanya menambah Jenderal di sana sini hingga bertabur bintang tanpa menuju era Polri digital 4.0.

“Presiden Joko Widodo harus mendorong Kapolri Jenderal Pol Idham Azis agar segera mengarahkan Kepolisian menuju Polri 4.0. Sehingga Polri tidak asyik sendiri melebarkan organisasinya dengan eforia penambahan jenderal di sana sini, hingga jumlah jenderal Polri membludak seperti sekarang ini,” kata Ketua Presidium IPW, Neta Syahputra Pane dalam catatan akhir tahun 2019 di Jakarta, Ahad (22/12/2019).

Ia pun menilai, sangat ironis jika Presiden akan menghapus sejumlah eselon di departemen, sementara Polri asyik melebarkan organisasinya, seperti menjadikan Brimob dan Humas dipimpin jenderal bintang tiga dan penambahan Kapolresta dipimpin Kombes.

Di era milenial sekarang ini lanjutnya, Polri perlu segera menata organisasi dan personilnya, dengan mengedepankan IT (Ilmu Teknologi) sehingga secara bertahap kepolisian menuju Polri 4.0.

“Saat ini konsep lama Polri sudah sangat ketinggalan zaman dan menjadi beban berkepanjangan bagi organisasi. Rasio 1:750 milik Polri yang mengacu pada rasio PBB (Persatuan Bangsa Bangsa) sudah tidak rasional lagi,” nilai Neta.

Neta menyebut alasan tersebut dikarenakan negara negara maju dan modern tidak lagi memakai rasio PBB yang dinilainya telah ketinggalan zaman.

“Justru jumlah polisi dikurangi secara signifikan, dan kekurangan personil ditutupi dengan IT. Sehingga CCTV menjadi mata kepolisian dimana mana,” ungkapnya.

Dikatakannya, dengan CCTV dimana mana, polisi modern bisa bereaksi cepat dan 15 menit tiba di TKP (tempat kejadian perkara) bila terjadi gangguan keamana atau Kamtibmas.

Saat ini kata Neta, Polri harus menjadikan teknologi sebagai andalan dalam melindungi masyarakat.

Dengan berkembangnya konsep Polisi 4.0, kepolisian di negara negara maju tidak lagi menggeber rekruitmen polisi secara besar besaran. Tapi rekrutmen secara terbatas.

Sementara Polri setiap tahunnya merekrut 9.500 anggota baru, yang 300 di antaranya untuk Akpol.

“Akibatnya, terjadi penumpukan personil kepolisian. Jumlah Kombes yang menganggur kian banyak. Belum lagi jumlah AKBP yang menganggur lebih dari tiga kali lipat. Akibat hal ini saat lengser sebagai Kapolri, Tito Karnavian minta maaf akibat banyaknya jumlah Kombes nganggur saat ini,” ucapnya.

Semua itu sambung Neta, terjadi akibat Polri belum mengubah konsepnya sebagai polisi modern. “Kata kata modern hanya dijadikan retorika dan belum dilaksanakan secara benar dan serius,” katanya.

Neta menyayangkan, kesadaran untuk mengembangkan Polri 4.0 sampai saat ini belum tercipta. Akibatnya, organisasi Polri kian tambun dan sulit bergerak serta tidak lincah dalam melindungi masyarakat.

“Dalam kondisi ini, jalan pintas pun diambil para elit Polri. Banyaknya jumlah Kombes disikapi dengan penambahan sejumlah struktur baru, dengan pangkat Brigadir Jenderal, Inspektur Jenderal, hingga Komisaris Jenderal,” terangnya.

Selain itu tambah Neta, para jenderal Polri didorong bertugas ke luar institusi kepolisian. Sehingga jenderal polisi kian banyak dan ada dimana mana. “Indonesia pun seakan menjadi negara polisi. Di sisi lain anggaran Polri yang terus membengkak setiap tahun tersedot untuk tunjangan dan fasilitas para jenderal yang terus bertambah jumlahnya,” ujarnya.

Neta meminta situasi buruk di Polri ini harus segera disudahi. Reformasi Polri harus dikembalikan kekhithanya agar melahirkan Polri yang efisien, efektif, profesional, modern, dan terpercaya. “Bukan Reformasi Polri yang melahirkan jenderal dimana mana,” tambahnya.

Sebab itu Neta meminta Presiden Jokowi sebagai Panglima Tertinggi harus segera mendorong Kapolri melahirkan Polri 4.0. Selain itu untuk menyikapi kelebihan Komisaris Besar Polisi (Kombes) dan Ajudan Komisaris Besar Polisi (AKBP), penerimaan Akademi Kepolisian (Akpol) juga perlu dimoratorium dua atau tiga tahun sekali ke depan.

Lalu, ditawarkan pensiun dini kepada para Kombes yang sudah “mentok” non job. Setelah itu organisasi Polri dirampingkan dan kinerja kepolisian ditata ulang menuju polisi yang efisien, efektif, Profesional, Modern dan Terpercaya (Promoter) dengan IT dan CCTV dimana mana sebagai pengganti polisi manusia.

Dan makin banyaknya polisi manusia di lapangan, persoalan bukannya cepat selesai tapi makin banyak persoalan baru dan rumit, yang membuat konsep Promoter Polri diragukan banyak pihak.

“Untuk tahun 2020, Polri perlu serius menata organisasinya, mengevaluasi SDM dan alutsistanya untuk kemudian dibuat grand desain menuju polisi modern yang Polri 4.0. Sehingga Polri Promoter benar adanya dan bukan sekadar Promoter yang diplesetkan menjadi ‘Promosi Orang orang Tertentu’,” pungkas Neta. [SFN]

Share