KPK Respons Pernyataan Mendagri Soal OTT Kepala Daerah

TRANSINDONESIA.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons soal pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang menyebut bahwa operasi tangkap tangan (OTT) terhadap kepala daerah oleh KPK bukan prestasi hebat.

“Ada lebih 120 kepala daerah yang diproses KPK dalam kasus suap, pengadaan, perizinan ataupun pencucian uang. Sebanyak 49 diantaranya diproses dari OTT, terbanyak tahun 2018 22 OTT dan 2019 sembilan OTT,” ucap Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, seperti dikutip dari Antara, Selasa (19/11/2019).

Ia menyatakan jika tak ada pengungkapan kasus korupsi daerah, bukan tak mungkin banyak pihak akan berpikir kondisi sedang baik-baik saja.

“Bahkan terkait pendanaan dalam kontestasi politik tidak menjadi perhatian yang serius,” ujar Febri.

Oleh karena itu, kata dia, KPK juga secara seimbang menindak dan mencegah. Menurut dia, ada tiga upaya pencegahan utama yang dilakukan KPK terkait hal tersebut.

“Pertama, menggagas program koordinasi dan supervisi pencegahan di seluruh daerah. Kedua, usulan penguatan APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah). Ketiga, pencegahan di sektor politik, termasuk terkait pendanaan politik,” tuturnya.

Ia menegaskan upaya pencegahan itu dilakukan, selain agar risiko korupsi bisa lebih ditekan, KPK juga berharap masyarakat lebih menikmati anggaran yang dialokasikan ke daerah.

Selain itu, ucap dia, yang terpenting adalah agar biaya proses demokrasi yang tidak murah ini tidak justru menghasilkan korupsi yang akibatnya bisa jauh lebih buruk pada masyarakat.

“Kami mencoba berprasangka baik, pernyataan tersebut lebih sebagai upaya pemetaan masalah dan otokritik yang sedang dilakukan Kemendagri terkait korupsi kepala daerah,” kata dia.

KPK pun mengharapkan Kemendagri nantinya juga secara serius dapat menjadi pendamping yang kuat untuk mencegah korupsi di daerah.

“Tiga hal pokok upaya pencegahan yang digagas KPK tersebut sangat membutuhkan kontribusi konkret dari Kemendagri dan instansi terkait lainnya. Dengan catatan, jika kejahatan telah terjadi dan buktinya cukup, penegak hukum tidak boleh kompromi apalagi membiarkan kejahatan terjadi, apalagi tindak pidana korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa,” ujarnya.[ANT]

Share