Sekjen FKMTI, AM Natakusumah : 100 Ribu Kilometer Perjalanan Yang Belum Berujung
TRANSINDONESIA.CO – “Ketika kami berdua, saya bersama (alm) Budiman Sophian ditugaskan pada 2016 untuk terlibat dalam upaya pembebasan 15 orang sandera yang ditahan oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan, 10 orang diantaranya berhasil dibebaskan dalam kurun waktu sebulan, sisanya pun bertahap. Kini, sudah dua tahun kami ikut mendampingi korban mafia tanah dalam menyelesaikan kasus-kasus mereka, 100.000 kilometer perjalanan sudah ditempuh namun kejelasan dari kasus-kasus itu pun masih belum teraba hingga kini,” ujar Agus Muldya Natakusumah-Sekjen Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) saat ditemui di Residence 6 Jl Seha Jakarta Selatan pada kamis (17/10/2019), usai bertemu dengan Rahmat Salam, Asisten Daerah (Asda 1) bid Bidang Pemerintahan, Hukum dan Politik Pemkot Tangsel di Kantor Pemkot Tangsel.
“Padahal perintah Presiden Jokowi sangat jelas, agar selesaikan segera konflik tanah antara warga dengan negara dan antara warga dengan pengusaha”, lanjut Agus menambahkan.
Namun apa yang direspon oleh Pemerintahan Tangsel sendiri terkesan mengabaikan apa yang diperintahkan oleh Presiden itu sendiri. Contoh nyatanya ketika Rusli Wahyudi anggota FKMTI ingin mengakses informasi mengenai status girik yang dimilikinya, menemui jalan buntu hingga sampai harus menempuh jalur Pengadilan Komisi Informasi Publik Daerah Provinsi Banten hanya untuk mengakses informasi apakah ada atau tidak catatan jual beli Girik C 913 di Kantor Kecamatan Serpong, Kota Tangsel.
Bukannya lantas memenuhi permintaan lembaga tersebut, setelah Rusli Wahyudi mengetahui bahwa Girik C 913 tidak ada catatan jual belinya, pihak Kecamatan yang diwakili oleh Jaksa dari Kejari Tangsel malah mengajukan banding ke PTUN Prov Banten.
Putusan PTUN Banten pun memperkuat hasil putusan Pengadilan KIP Banten yaitu memutuskan dan memerintahkan pihak Kecamatan Serpong membuat keterangan tertulis tidak ada catatan jual beli girik atas nama The Kim Tin.
“Sebenarnya materi yang kami ajukan hal sederhana, hanya bertanya apakah Girik C 913 a/n The Kim Tin ada catatan jual belinya. Lantas apalagi yang disembunyikan oleh Kecamatan Serpong. Mereka banding untuk kepentingan siapa? Mafia Perampas Tanah”, ujar Agus terheran-heran.
“Persoalan perampasan tanah oleh sindikasi mafia tanah itu rapih kerjanya. Sertifikat seperti SHGB yang dikeluarkan oleh BPN sebagai lembaga resmi penerbit sertifikat jadi pegangan bagi lawan pihak yang dirampas tanahnya itu asli, bukan palsu. Kalau palsu amat mudah buat menggulungnya. Justru karena asli itu sertifikat, sering kali pihak yang dirugikan dalam hal ini korban mafia tanah tidak berdaya ketika berhadapan dengan pihak yang merugikannya di pengadilan. Mereka (para pengembang) maupun instansi pemerintahan yang berkaitan dengan masalah selalu punya dalih, ke pengadilan saja untuk penyelesaiannya”.
Lebih lanjut Agus menambahkan bahwa ketika saat berperkara di pengadilan, bukti sah tidaknya penerbitan Sertifikat HGB adalah Warkah (riwayat atas tanah).”Dibanyakan kesempatan mereka berdalih bahwa Warkahnya tersebut hilang, atau belum diketemukan. Sehingga dengan alasan itu, maka penelusuran lebih lanjut sering menghadapi jalan buntu.
Kasus Girik C 913 Rusli Wahyudi adalah salah satu dari korban Mafia Perampas Tanah, di Provinsi Banten banyak kasus sejenis. Selain persoalan yang dihadapi oleh Rusly Wahyudi yang terkenal dengan Kasus Girik C 913 Lengkong Gudang Timur juga ada kasus dimana SHM milik Ani Sri Cahyani di Bintaro Jaya Sektor 9 terbit juga SHGB a/n Jaya Property. Selain SHM milik Ani Sri Cahyani, di wilayah Bintaro pun ada kasus serupa yang juga melibatkan PT. Jaya Real Property yaitu tanah yang digunakan untuk kepentingan Bintaro Jaya Xchange Mall milik Alin Bin Embing seluas 11.320 m2.
Kejadian yang dialami Alin bin Embing hampir sama dengan Rusli Wahyudi, hanya bedanya Rusli tidak menguasai fisik Girik C 913 sedangkan Alin bin Embing, giriknya dikuasai. Namun saat diadakan penelusuran lewat warkahnya alasan pun sama: Warkah hilang, belum ditemukan.
Jika menyebut kasus lain secara nasional, ada beberapa kasus yang juga ditangani oleh FKMTI sebut saja kasus tanah milik ahli waris Alm John Pisanis yang berada di Jl. MT Haryono. Alm John Pisanis sebagai penduduk kawasan Senayan yang direlokasi ke wilayah Tebet karena pembangunan venues Asian Games 1962 (Komplek Stadion GBK) dan mendapat hak penempatan No 40/Kut/S62/Kprs dan diperkuat oleh Setneg/PPKGBK lewat surat No.B79/PPKGBK/Dirut/05/2010 tanggal 10 Mei 2010. Juga mendapat keterangan dari Lurah Kebon Baru Tebet no 1962/1.755.3/13 tgl 21 Nov 2013 dgn NOP PBB 31.71.070.004.020.0003.0 seluas 2.956 m2. Untuk mengembalikan haknya, atas petunjuk BPN harus diukur ulang kembali atas perintah Kepolisian karena tumpang tindih dengan HGB 1666 a/n PT.Mustika Chandraguna (Sinar Mas Grup) seluas 7.955 m2 yang telah memasang papan kepemilikan di atas tanah tersebut.
Hasil dari pengukuran ulang oleh Polda Metro Jaya dan BPN Jakarta Selatan pada 9 Juli 2015, tanah yang dipagar oleh PT. Mustika Chandraguna terbukti seluas 10.699 m2 padahal haknya hanya 7.955 m2. Jumlah lebihnya seluas 2.744 m2 mendekati luas tanah milik ahli waris John Pisanis sebesar 2.956 m2.
Akhirnya kasus ini pun di SP3-kan oleh Polda Metro Jaya. Kendala lainnya adalah kewajiban membayar PBB yang tertunggak sejak 2005 dan berusaha dilunasi 2013 dihalang-halangi karena tidak diterbitkannya SPPT a/n Alm J Pisanis oleh instansi terkait.
Kasus lain yang mencuat di wilayah Lahat Sumatera Selatan dimana lahan transmigrasi lewat Keppres th 1982 diperkuat oleh SK 3 Menteri dan SK Gubernur diatasnya keluar HGU yang dikeluarkan oleh BPN Kabupaten Lahat th 1993.
Jika diperhitungkan kerugian masyarakat setempat diperkirakan 3 Trilyun karena tidak bisa menggarap tanah yang telah dimilikinya. Hasil kerugian itu jika dihitung dari hasil pengolahan lahan dibikin plasma kelapa sawit seluas 4200 ha dimana tiap hektarnya mampu menghasilkan 2 ton perbulan, dan sudah 16 tahun dikuasai. SHGU utk atas nama (Sinar Mas Sejahtera-grup Sinar Mas).
Respon atas pengaduan korban mafia tanah selama dua tahun terakhir ini ada sejumlah kemajuan didapat. Itu karena sekarang, institusi negara yang dipersiapkan untuk menampung pengaduan masyarakat pun sudah demikian banyak. Sebut saja ada Komisi Informasi Publik (KIP), Komnas Ham dan Ombusman.
“FKMTI pun mendampingi dan mengedukasi para korban mafia tanah itu menempuh jalur-jalur tersebut. Termasuk juga mendampingi hingga ke KSP (Kantor Sekretariat Presiden) hingga Kantor Menko Polhukam”.
Bahkan begitu intensifnya Pengurus FKMTI mendampingi korban mafia tanah, Kasus Girik C 913 Rusli Wahyudi pun dihadirkan dihadapan Tim Saber Pungli Kantor Kemenkopolhukam pada (30/8) dengan menghadirkan Kasie Pemerintahan Andi Suhandi (saat itu). Saat ditanya oleh tim Saber Pungli, Andi pun membeberkan bahwa benar fakta bahwa banyak tanah di Kelurangan Lengkong Gudang Timur bermasalah, tumpang tindih.”Dari 80 hektar yang bermasalah, 50 hektar selesai sisanya 30 hektar masih bermasalah”.
Akibat dari terbukanya Andi mengungkapkan hal itu, sejak Februari 2019, yang bersangkutan dinon-aktifkan dari Kasie Pemerintah diganti oleh ASN yang bertugas sebagai Satpam di lingkungan Kecamatan Serpong.
Apa yang dilakukan Andi itu sejalan dengan apa yang diharapkan oleh Presiden Jokowi namun justru karena respon informatifnya dia dalam membantu korban mafia tanah maka kedudukannya pun terancam.
Kepala Sekeretariat Satgas Saber Pungli Brigjen (Pol) Budi Susanto dalam kesempatan itu menjelaskan bahwa banyaknya konflik lahan yang dialami oleh warga karena kurang transparannya Pejabat BPN, “Aturan sudah sangat jelas, untuk menghindari tumpah tindihnya surat kepemilikan tanah”, uar Budi Susanto.
Agus Muldya pun semakin bersemangat memaparkan data-data korban mafia tanah lain yang berada di tangannya. “Contoh kasus lain adalah yang dialami oleh Drg Robert Sudjasmin dkk. Menang lelang negara atas Risalah No 338 dengan objek tanah di Kel Pegangsaan pada tahun 1990. Satu tahun kemudian digugat oleh pihak Sumarecon karena sama-sama mengaku menang lelang negara namun dengan Risalah berbeda Risalah No. 388 dimana lokasi tanah yang dimaksud cukup jauh berbeda yaitu di Kel Petukangan”.
Setelah berperkara di pengadilan, Putusan MA-RI No. 538 K/Pdt/1991 Risalah Lelang No.388/1980·1990 tanggal 15 Maret 1990 dirubah menjadi No.338 . Sehingga tanah lelang negara yang awal dibeli oleh Robert dengan Risalah Lelang No.338 di Kel Pegangsaan Barat jadi milik Sumarecon group. Padahal, saat menebus lelang itu, Robert Sudjasmin membayar hingga Rp 600 juta (jika dikonversikan dengan emas saat itu senilai 50 kg emas).
Perjuangan Robert Sudjasmin dalam mempertahankan haknya mengakibatkan istrinya menggugat cerai dan kini istrinya pun meninggal. Bahkan dia sempat dijadikan tersangka dengan tuduhan pencemaran nama baik namun sudah diralat setahun lalu.
Mimpi Robert Sudjasmin untuk mendirikan rumah sakit bersama kawan-kawannya termasuk alm Dr Sarengat pun pupus, dan uang untuk menebus lelang negara itu merupakan hasil patungan para dokter koleganya untuk mendirikan cita-cita mulia mereka, mendirikan rumah sakit bersama.
Jika, Robert Sudjasmin masih gigih memperjuangkan haknya hingga kini itu tak lebih dari perasaan tanggung jawab pada tugas yang diembankan kawan-kawannya itu. Satu yang membuat Robert tak habis pikir, bagaimana mungkin Risalah Lelang Negara No. 338 yang dibelinya itu dianggap salah ketik. Bagaimana institusi sekelas Departemen Keuangan bisa tidak teliti memasukkan nomornya.
Agus Muldya pun sadar, langkah mereka mengedukasi publik korban mafia tanah itu bukan perkara mudah. FKMTI bukanlah mediator atau pengacara bagi para korban itu. Penguraian masalah mereka bisa berlangsung, jika itu dilakukan bersama, antara FKMTI dan mereka para korban itu.
“Apa yang kami lakukan tak ubahnya seperti menuangkan air putih kepada bejana yang berisi air kotor. Semakin sering air putih itu dituang lama-lama air yang kotor itu pun akan kembali putih”.
Persoalan kisruh tanah di Indonesia, sejatinya ada pada institusi penerbit bukti kepemilikan yang syah atas tanah, BPN. Meski oleh Undang-Undang mereka dilindungi untuk tidak secara gegabah memberikan keterangan tentang riwayat asal-usul tanah karena dikhawatirkan akan bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk tujuan yang tidak baik.
Namun, patut ditambahkan tentang pihak-pihak yang bisa mengakses info atas Warkah (Riwayat atas tanah) tersebut yang selama ini bisa diakses oleh Kepolisian, Pejabat Yang berwenang dengan urusan pertanahan, Pengadilan namun perlu ditambahkan lagi yaitu Pejabat Perbankan yang ditunjuk. Agar ketika sebuah Sertifikat diagunkan oleh seseorang/lembaga maka Perbankan bisa juga mendapat kejelasan dan bukti fisik bahwa tanah yang diagunkan selain tidak sengketa, juga letak persil dan keadaan fisiknya benar lokasinya.
Jika hal ini tidak dijaga, dikhawatirkan kasus BLBI Jilid 3 akan terjadi, dimana ketika Sertifikat Hak atas tanah yang diagunkan ternyata maladmistrasi dan ada dugaan bodong maka apa yang ditakutkan itu bisa saja terjadi.
“Yang harus kita ingat, ketika kita berpulang menghadap Sang Khalik, tanah yang dibutuhkan sebagai tempat peristirahatan kita hanya berukuran 2×1 m saja. Jangan sampai persiapan untuk yang 2×1 itu sampai harus merugikan hak orang lain berpuluh bahkan ratusan hektar. Apa nggak ngeri nanti pertanggungjawabannya”, penutup obrolan Agus Muldya di sore itu.[MIZ]