Pindah Ibukota NKRI?
TRANSINDONESIA.CO – RAMAI wacana yang tergopoh-gopoh hendak memindahkan ibukota negara. Ups, tunggu dulu. Soal itu bukan hanya urusan membangun kawasan sebagai pusat untuk menjalankan pemerintahan. Namun juga soal hukum, bahkan konstitusi, yang beririsan dengan sejarah perjuangan dan sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Benar, bahwa pemindahan ibukota ini bukanlah perkara mudah.
Secara hukum, saat ini sudah ada dan masih berlaku UU No.29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU 29/2007).
Tersebab itu, NKRI yang terdiri atas lembaga-lembaga negara sesuai konstitusi, yang dalam berbagai Undangundang mengenai lembaga negara seperti Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK) telah memilih kedudukan hukum di ibukota negara. Bukan ibukota pemerintah. Termasuk Bank Indonesia (BI) dan lembaga negara tambahan lainnya berkedudukan di ibukota negara. Belum lagi lembaga sejenis yang melakukan pilihan hukum atas domisili pada ibukota negara.
Setidaknya ada tiga isu hukum dalam wacana pemindahan ibukota negara, yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lain, apalagi diabaikan.
PERTAMA. Ibukota NKRI dilegalisasi dalam bentuk UU 29/2007, karena itu kajiannya tidak hanya berskala teknis dan serba fisik semisal kejenuhan spasial penataan ruang, kekumuhan, urbanisasi, ragam problema sosial metropolitan. Namun ikhwal ibukota NKRI adalah isu hukum, bahkan isu hukum yang tak biasa karena berlatar sejarah perjuangan, alibi sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Sekali lagi, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diperjuangkan dan disebabkan faktor kohesi adanya kesamaan sejarah, sebagai alasan historis yang valid dari anak bangsa membentuk NKRI.
Tersebab itu, ibukota negara inheren dan terkait isu konstitusi yang memilih sebagai negara kesatuan yang berbentuk republik. Bagaimanapun perumusan konstitusi dan ideologi negara, tidak lepas dari latar sejarah bangsa itu sendiri. Sebab itu jangan “rabun jauh” sejarah dalam hal ikhwal membangun opini parsial dan teknis fisik perihal pemindahan ibukota negara.
KEDUA. Merujuk UU 29/2007, Ibukota NKRI adalah Propinsi DKI Jakarta, bukan Kota Jakarta yang secara hukum berbeda dengan segenap implikasi hukumnya. Termasuk ikhwal kedudukan hukum (domisili) lembaga-lembaga negara dengan segala segi konsekwensi hukumnya pula.
Sebab ibukota negara bukan hanya ibukota pemerintah apalagi hanya dipahami kawasan tempat menyelenggarakan “pusat pemerintahan”.
Pemerintah tidak idemditto Negara. Sebab negara bukan hanya eksekutif. Karena itu ibukota NKRI terkait langsung dengan kedudukan hukum (domisili) lembaga-lembaga negara dalam kerangka NKRI. Termasuk pula lembaga negara tambahan (state auxiliary body) seperti bank sentral, sehingga perlu diluruskan pemahaman bahwa ibukota negara cq ibukota NKRI tidak bisa diminimalisir hanya ibukota pemerintahan, apalagi hanya dipahami sebagai pemindahan kawasan tempat menyelenggarakan “pusat pemerintahan” dalam arti penyediaan tanah dan infrastuktur, gedung dan perkantoran serba fisik semata.
KETIGA. Ibukota Negara yang dalam UU 29/2007 dipergunakan frasa “ibukota Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia”.
Sebagai Ibukota NKRI maka konteks dan konsep hukum NKRI bukan hanya semata-mata bersifat teknis dalam pengaturan struktur ataupun bentuk dan atau susunan organisasi.
Akan tetapi dengan alasan yang lebih mendasar berkenaan dengan eksistensial NKRI yang menghargai keberagaman, historis yang panjang, perjuangan yang keras serta kehendak bersama (konsensus) seluruh rakyat Indonesia, termasuk dahulu daerah swatantra dan kesultanan yang tulus ikhlas bergabung menjadi Republik Indonesia yang dalam konstitusi disebut NKRI.
Karena itu ikhwal ibukota NKRI jangan dikerdilkan hanya sekadar isu minimalis pemindahan ibukota pemerintahan apalagi hanya pemindahan kawasan tempat menyelenggarakan “pusat pemerintahan” yang berdimensi serba fisik semata sehingga dianggap hanya seperti membangun kota baru privat yang acap dibangun oleh pengembang swasta. Itu dua hal yang sangat berbeda.
Selain itu, jangan rabun jauh sejarah dan abaikan konsensus berbangsa dan bernegara.
Jangan-jangan akar persoalan sosial metropolitan Jakarta dengan segenap aspeknya bukan kausal Propinsi DKI Jakarta sebagai ibukota NKRI.
Bisa jadi akar soal beranjak dari postulat kesenjangan pembangunan antar daerah, soal perimbangan keuangan pusat dengan daerah, takrif keadilan hak menguasai negara atas sumber daya alam dan energi, atau karena masih belum sempurnanya otonomi daerah. Tabik. **
[Muhammad Joni SH, MH, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris The HUD Institute]