Jikalahari Minta Kapolri Evaluasi Polda Riau Tak Tetapkan Korporasi Tersangka Karhutla
TRANSINDONESIA.CO – Jikalahari Riau menyatakan kekecewaannya terkait Polda Riau yang telah menetapkan 12 tersangka pembakaran hutan dan lahan namun tidak satupun korporasi menjadi tersangka sepanjang 2019.
“Padahal data lapangan menunjukkan telah terjadi kebakaran di dalam areal korporasi,” kata Made Ali Koordinator Jikalahari di Pekanbaru, Selasa 26 Maret 2019.
Menurut Made, mengutip pantauan satelit Terra-Aqua Modis sejak Januari 2019 hingga hari ini ditemukan 684 hotspot dalam areal konsesi korporasi HTI maupun perkebunan kelapa sawit, dengan tingkat kepercayaanlebih dari 70 persen. 279 titik di antaranya berpotensi menjadi titik api di areal korporasi yaitu PT Sumatera Riang Lestari (117), PT Rimba Rokan Lestari (74), PT Perkasa Baru (24), PT Multi Eka Jaya Timber (12 titip api), PT Arara Abadi (11), PT RAPP (8), PT Nasional Sagu Prima (6), PT Dexter Timber Perkasa Indonesia (3).
Berikutnya PT Bhara Induk (2), PT Rimba Rokan Perkasa (2), PT Siak Raya Timber (2 titik) dan satu titik di masing-masing PT Bina Daya Bintara, PT Mitra Hutani Jaya, PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa, PT Perawang Sukses Perkasa Industri dan PT Satria Perkasa Agung.
Untuk perkebunan kelapa sawit, potensi titik api berada di PT. Trisetia Usaha Mandiri (4 titik), PT Riau Sakti United Plantations (2), PT Sedora Seraya (2) dan masing-masing 1 titik di PT Tabung Haji Indo Plantation dan PT Sarpindo Graha Sawit Tani.
“Temuan Jikalahari di lapangan menunjukkan areal korporasi yang terbakar yaitu PT Sumatera Riang Lestari di Rupat, PT Satria Perkasa Agung di Rokan Hilir, PT Rimba Rokan Lestari di Bengkalis dan PT Surya Dumai Agro di Dumai,” katanya.
Lalu kenapa Kapolda Riau berani menentang perintah Kapolri dan Panglima TNI. Dan apa motif Polda Riau mengabaikan fakta bahwa korporasi telah melakukan tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan?
Padahal pada 13 Maret 2019 Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian meninjau lokasi bekas kebun karet warga terbakar di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis.
Kedua petinggi TNI dan Polri itu, justru menyatakan penegakan hukum selain pada masyarakat, juga harus pada perusahaan yang diduga kuat melakukan pembakaran lahan, untuk keperluan perluasan lahan dan lalai dalam menjaga lahan mereka.
“Bahkan sepanjang 2019, Polda Riau merilis ada 12 orang ditetapkan tersangka dengan total luas kebakaran 23,75 ha. Polres Rohil menangani tiga tersangka luas kebakaran 7,95 hektare, Polres Bengkalis dan Polresta Pekanbaru menangani masing-masing satu orang dengan luas kebakaran 0,5 hektare. Polres Dumai memproses 5 tersangka yang membakar lahan seluas 12,5 ha dan 2 tersangka diproses Polres Meranti dengan luasan 3,2 hektare,” katanya.
Dari 12 kasus karhutla, ada 2 kasus yang sudah dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum. Fenomena Polda Riau tidak pernah lagi menetapkan korporasi sebagai tersangka dan mengistimewakan korporasi setelah tahun 2016 saat Polda Riau menghentikan perkara 15 korporasi pembakar hutan dan lahan.
“Sejak saat itu, kebakaran di dalam areal perusahaan dianggap bukan lagi kejahatan. Ini berbahaya bagi penegakan hukum yang hanya menjerat warga. Jika ini dibiarkan korporasi akan kian leluasa merusak dan membakar lahannya,” kata Made Ali.
Oleh karena itu, dia berharap Kapolri segera mengevaluasi Polda Riau karena telah berlaku diskriminatif dalam penegakan hukum karhutla, yaitu mengistimewakan areal kebakaran hutan dan lahan di dalam areal korporasi.[SBR]
Sumber: antaranews