Apa Lebih Dahsyat, Mudik Darat dan Danau Toba?

TRANSINDONESIA.CO – Hari ini Jumat, 8 Syawal 1439 Hijriah. Sudah sepekan Idul Fitri. Sholat Jumat tetap ditegakkan, tak ada istilah perai, tak ada fiqih libur. Seperti halnya hukum tak pernah tidur.

Sejak Eid Mubarak, 8 kali putaran revolusi bumi kepada matahari, sudah berapa banyak tenaga angin tepi galaksi bergerak. Bumi bernafas, langit menaungi. Semesta bertenaga, wabil khusus demi makhluk planet bumi

Kita? Kadang, menyingkirkan duri di jalan saja kita enggan, walau surplus tenaga banyak makan nasi rendang dan bebas bernafas lagi senang.

Pencarian korban tragedi kapal karam di Danau Toba.[IST]
*

Khatib sudah naik mimbar. Berkhutbah. Membaca rukun: ayat-ayat, doa dan shalawat. Tanpa teks, intonasi suaranya datar, tenang dan cenderung gemulai. Ekspresi pun standar  alakadarnya. Diksi dan kalimat tanpa gelegar.

Patik asyik memperhatikan, mengharapkan khutbah selesai, bergegas pulang dengan membawa enzim bahagia endorphin. Sudah tugas Jumat, puaskan batiniah dan ruhaniah. Puas sejak  malam Jumat.

Indra dengar saya tetiba terkubak. Mata hendak membelalak paling membelalak. Dahsyat!!!Tahukah anda apa yang membuatnya lebih dahsyat???

Khatib bersuara yang kali ini kurasakan penuh tenaga. Walau intonasi dan biramanya idemditto sederhana.

Patik menengok sang khatib, “bumi ibarat sebiji telur di dalam baskom berisi air”.

Saya terpantik ujarnya. “Bumi diikat oleh gunung yang berkaki di bumi. Gunung yang dahsyat”.

Khatib bertutur lagi, “Malaikat bertanya kepada Allah, apa yang  lebih dahsyat dari gunung?”

Allah menjawab, “Yang lebih dahsyat dari gunung adalah besi”. “Besi bisa memotong gunung”.

Pikiran saya meloncat ke tanah Papua, alat berat mengeruk lereng, melubangi perut bumi, mesin besi mengerat gunung-gunung, melahap   batu permata, dan menatalaksana wajah tanah,  menjadikannya kota baru dengan penduduk baru.

**

“Adakah yang lebih dahsyat dari besi”, tanya Malaikat lagi.

“Ada, api lebih dahsyat dari besi”, jawab Tuhan.

“Adakah yang lebih dahsyat dari api?”, tanya Malaikat sekali lagi.

“Ada, air lebih dahsyat dari api”.

Ini mungkin sebabnya, benarkah mudik jalan darat lebih aman? Faktor dahsyat  air, alasan moda angkutan kapal laut, penyeberangan dan perairan sungai juga danau musti lebih prioritas diamankan. Begitu komentar lugas kawan saya Tulus Abadi, boss YLKI. Hallow Menteri Pehubungan.

Tanya jawab berlanjut lagi, masih perihal apa yang lebih dahsyat.

“Apakah yang lebih dahsyat dari air?”  “Angin lebih dahsyat dari air”, lanjut khatib.

Mendengar itu saya bungkam. Membatin koreksi diri. Ya Ilahi Rabbi, ampuni kami,  bagaimana ngeri dahsyatnya tenaga kolaborasi air dan angin.

Patik teringat warta berita Danau Toba dan tragedi KM. Sinar Bangun rute Tigaras-Sumanindo yang lagi lara. Kawan karib patik Bahtiar Sinaga, Ketua MD KAHMI Simalungun pasti sibuk dan lelah. Semoga dia afiat dan kuat tenaga di Tigaras sana.

Lanjut lagi khutbah khatib di mimbar Al Mukmin. “Adakah yang lebih dahsyat dari angin?”

Pikiran saya menjulang. Mungkin insan manusia lebih dahsyat dari angin? Mungkin ilmu pengetahuan?  Mungkin teknologi? Mungkin uang? Mungkin walikota? Mungkin politisi? Mungkin public interest lawyer? Saya meracau.

Sang khatib menuntaskan tanya jawab dari mimbar Jumat. Patik menyiapkan diri mendengar jawaban  mengesankan paling dalam.

“Yang lebih dahsyat dari angin adalah…., infaq”.

“Infaq yang diberikan tangan kanan yang tak diketahui tangan kiri”, saya tersentak. Amaliah serasa kurang. Perkakas memori cerdas merekam kalimat ini sebagai inspirasi. Hendak kutulis nanti usai makan siang. Usai ramadhan, patik mengurangi bobot karbohidrat, perbanyak reguk air alkali Milagros dan menu berserat.

Saya ingat lagi, betapa makhluk insan manusia dari alam sana ingin kembali ke dunia hanya untuk infaq-sadaqoh. Hendak menjadikannya payung naungan peneduh pembuat sejuk.

Itu mengajarkan kita, agar sungguh-sungguh ikhwal amaliah infaq-sadaqoh.

Bersadaqoh-lah sejak subuh syafie. Segerakan, berlombalah alahai infaq-sadaqoh dengan gegas terbit matahari, walau hanya dengan seulas senyum tulus. Begitu ajaran guru mengaji patik tatkala Tsanawiyah Jamaiyah Mahmudiyah Li Thalabil Khairiah di Tanjungpura, Langkat, belakang sebelah kanan Mesjid Azizi, yang dibangun era jaya Kesulthanan Islam Melayu Langkat.

Sudahkah anda lebih dahsyat hari ini?  Walau hanya dengan senyum. Senyum yang dahsyat.

Kekira, kita musti lebih banyak berinfaq-sadaqoh kepada alam, kepada danau, tak rakus mengeksploitasi.

Sudahkah kita surplus senyum kepada alam? Kepada Danau Toba,  yang dengan tubuh moleknya, berabad-abad membuat khalayak senang dan plesiran. Maaf tuk sang khilaf. Ampun tuk tak santun. Allahu’alam. Tabik.

[Muhammad Joni, Reportase dari Masjid Al Mukmin @Kelapa Gading]

Share
Leave a comment