Golkar Dalam Pusaran Politik 2019: Catatan Buat Tulisan Denny JA

TRANSINDONESIA.COOleh : Dr.Syahganda Nainggolan-Sabang Merauke Circle

Denny JA (DJA) sudah membuat tulisan tentang Golkar dalam 3 tulisan, yakni “Menunggu Branding Golkar Paska Setya Novanto : PLT atau Munaslub” , “Idrus Marham dan Prospek Partai Golkar” dan “Menjelang Munaslub Golkar Coopetion: Idrus Marham versus Airlangga Hartarto”.

Dalam tulisannya tersebut DJA menyampaikan bahwa golkar antara lain sebagai berikut: 1) Golkar akan bangkit dengan “rebranding” dengan mengangkat success story kepala2 daerah dari Golkar dalam pembangunan daerahnya.

Strategi ini terkait untuk mengisi kelemahan pemerintahan Jokowi, di mana tingkat ketidakpuasan publik semakin luas, khususnya soal ketimpangan sosial.

2) Tokoh sentral Golkar saat ini adalah Idrus Marham. Idrus akan berhasil membesarkan Golkar kembali dengan kemampuannya sebagai “coalition builder”. Idrus hanya butuh konsultan “Branding”. 3.) Jika terpaksa ada munaslub, kompetitor Idrus hanya Airlangga Hartarto. Sebaiknya mereka tidak berkompetisi, melainkan “Coopetion”, sebuah strategi sinergi.

Partai Golkar

Munaslub ini bisa saja tidak terjadi jika Novanto bebas dalam pra peradilan atau faksi faksi yang berhadapan melihat biaya Munaslub terlalu mahal.

Tulisan DJA ini penting untuk diberi catatan. Pertama urusan Golkar ini menyangkut pertarungan besar nasib bangsa ini ke depan. Kedua, DJA mungkin membiaskan analisa agar “hidden agenda” pertarungan besar ini tidak dibaca secara jeli dari pihak pihak yang berkepentingan.

Analisa DJA berfokus pada Golkar dan aktor yang akan menyelamatkan Golkar sebagai sebuah partai. Analisa ini meniadakan (menyembunyikan) 1) mengapa Novanto, yang diprediksi terlindungi oleh Jokowi dan atau Luhut Binsar Panjaitan selama ini gagal melawan KPK? 2) untuk apa Golkar ini digoyang sedemikian dahsyat menjelang   pilpres 2019?

Jika analisa yang tersembunyi ini dimasukkan sebagai variabel, maka analisa baru mungkin menihilkan semua analisa yang dilakukan DJA dalam tulisannya. Mengapa?

Pertama, fokus analisa

“kekalahan” Novanto melawan KPK. Kita melihat bahwa kedekatan Jokowi, Presiden RI, dengan Novanto adalah sangat nyata. Tangan kanan Jokowi, Luhut Binsar Panjaitan, Menko Maritim, bahkan sudah terkesan menggaransi Novanto aman dari KPK. Hal ini disampaikan LBP dihadapan rapimnas Golkar bulan mei lalu.

Bahkan pimpinan komisi 3 DPR, Bambang Soesetyo, secara gamblang mendukung  Densus Tipikor Polri, yang dalam persepsi publik sebagai penggembosan terhadap eksistensi KPK. Dan juga DPR secara menyolok melemahkan KPK dengan pansus KPK selama ini.

Secara kasat mata, kekuatan kekuatan politik yang ada, baik di dpr, eksekutif  maupun partai diasumsikan telah mencapai sebuah kesepakatan bahwa Novanto aman, KPK dikerdilkan dan beberapa UU (seperti UU Ormas dan UU Pemilu) disepakati.

Lalu kenapa semua berbalik? Kenapa KPK yang diisukan sudah dikooptasi rezim Jokowi tiba tiba mampu menyerang balik Novanto? Mengapa KPK membuat ketar ketir anggota dpr yang ikut perampok uang e-ktp?

Tentu saja jawabannya adalah adanya dukungan dari kekuatan yang lebih besar dari kekuatan persekutuan DPR-Novanto-Rezim Jokowi. Jika kekuatan itu tidak lebih besar, maka pasti Novanto tetap aman dalam kedudukannya selama ini.

Pertanyaannya adalah apakah kekuatan itu bersumber dari kekuatan lokal ataukah kekuatan asing?

Merujuk pada jejak digital pandangan Bambang Soesatyo dan professor Romli Atmasasmita, kekuatan ini cenderung kekuatan asing. Dalam kritiknya pada LSM mitranya KPK, yakni Indonesian Corruption Watch (ICW), Romli memastikan bantuan barat dalam jumlah uang yang cukup besar untuk ICW dalam jangka yang panjang.

Dengan demikian kita melihat bahwa persoalan Novanto dan Golkar ini bukan persoalan sederhana, ini adalah pertarungan di luar batas eksistensi internal Golkar, apalagi sekedar Idrus versus Airlangga Hartarto, sebagaimana tulisan DJA.

Hal kedua yakni untuk apa Golkar di goyang? Pertama, Golkar adalah partai dengan 14,6 % suara pada pemilu 2014. Kedua, Golkar adalah partai yang paling mungkin diperebutkan oleh pihak pihak yang akan ikut bertarung dalam pilpres 2019 nanti. Ketiga, adanya kebangkitan Orde Baru saat ini.

Setelah disahkannya UU Pemilu 2019, di mana pilpres harus diajukan oleh partai atau gabungan partai dengan Presidential Threshold (PT) 20 %, merujuk pemilu 2014, PDIP dan Gerindra telah melakukan konsolidasi yang gesit. Pdip dengan suara di atas 20 %, tidak memberi isyarat mendukung kembali Jokowi di 2019, sampai saat ini. Sementara Gerindra memastikan tetap mendukung Prabowo dengan segala kekurangan yang ada, misalnya Prabowo semakin tua dan diisukan kesulitan dana logistik.

Partai demokrat, kelihatannya juga tertutup terhadap munculnya tokoh nasional baru di luar keluarga SBY. Padahal keluarga SBY, baik AHY maupun bu Ani, yang mulai digadang gadang sebagai capres ke depan popularitasnya tidak mumpuni.

Alhasil, figur figur baru di luar partai di atas hanya bisa melihat Golkar sebagai alternatif.

Siapakah pihak pihak yang mungkin ikut bertarung pada 2019 nanti, yang memerlukan Golkar?

Dari figur yang popularitasnya mampu untuk menjadi calon presiden menyaingi popularitas Jokowi dan Prabowo hanyalah Anies Baswedan dan Gatot Nurmantyo.

Selanjutnya, yang penting dicatat adanya kebangkitan “orde baru” saat ini. Kebangkitan ini bersumber dari keyakinan bahwa semasa  rezim Jokowi berkuasa, serangan terhadap Islam dan rezim Suharto sangat kuat. Dan itu dimaknai pula sebagai munculnya kembali kekuatan komunis PKI. Sehingga, sebagai anti tesa, kekuatan “orde baru” harus bangkit kembali, dengan simbolik persatuan Islam dan militer.

Jadi, jawaban untuk apa Golkar di goyang, secara singkat adalah untuk memberi peluang pada Capres baru di luar Jokowi dan mengembalikan Golkar kepada kekuatan “orde baru.”

Dengan demikian maka analisa DJA yang menempatkan Golkar dan pertarungan yang sedang terjadi pada fokus eksistensi internal, mengalami bias. Sebaliknya, guncangan besar bagi Golkar saat ini adalah pusaran politik 2019. Golkar akan menjadi kekuatan baru bagi calon presiden penantang Jokowi nantinya. Untuk keperluan itu analisis tokoh terbatas pada Idrus dan Airlangga merupakan “misleading”. Serta analisa mahalnya biaya munaslub menjadi tidak relevan. Apalagi kekuatan asing yang mungkin terlibat dimasukkan sebagai variabel penting dalam analisa.[]

Share